9. Pesan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak masuk akal. Arik bukan pelakunya!

Lika memainkan pensil tanpa minat. Pandangannya fokus ke papan tulis yang sedang dicoreti Pak Yunus, guru matematika kelas 11 yang memiliki suara sangat pelan. Pikirannya melayang jauh melebihi sekumpulan variabel, konstanta dan koefisien yang tertulis di sana. Percakapan dengan Resya dan Julian kemarin terus berputar di kepala. Dia tidak pernah berpikir Arik akan melakukan hal-hal negatif seperti itu. Selama mengenalnya, Lika merasa cowok itu dipenuhi hal-hal positif; senyum manis, sikap baik, dan tutur kata terjaga.

Bagaimana bisa Resya dan Julian menuduh Arik sebagai pencuri dan bagian dari komplotan Thi?

Tidak masuk akal, pikirnya.

Lika sendiri tidak tahu kenapa pihak sekolah kesulitan melacak dan menangkap komplotan Thi. Seolah komplotan itu terjaga apik dengan anggota yang solid satu sama lain.

Pihak sekolah memang tidak melaporkan kasus ini ke polisi. Itu akan membuat nama baik sekolah tercemar. Akan tetapi, gosip tidak enak tentang kasus pencurian itu sudah sampai di telinga masyarakat. Artinya, komplotan Thi harus segera dibasmi kalau sekolah ingin tetap mempertahankan posisi sebagai sekolah favorit di kota.

"Silakan kalian cari materi tambahan di internet lalu rangkum di buku tulis." Suara Pak Yunus terdengar jelas di heningnya kelas. Fenomena kelas hening selalu terjadi dipelajaran Pak Yunus karena suara pria paruh baya itu pelan.

Lika memutuskan berhenti berpikir dan mulai menjalankan tugas. Cewek itu mengeluarkan ponsel dari saku rok dan membuka aplikasi pencarian di internet. Dia menoleh pada Jihan yang duduk di sampingnya.

"Lo mau nebeng baca di ponsel gue?"

Handphone Jihan android, tetapi sudah jadul. Kalau melakukan pencarian di internet lamanya minta ampun. Apalagi tampilan layarnya tidak mendukung. Itu membuat pekerjaan Jihan terhambat. Karena itu, Lika sering meminjamkan ponsel jika tugasnya sudah selesai.

Namun, kali ini Jihan menggeleng dengan senyum tipis. Wajahnya memerah. Satu tangannya mengeluarkan ponsel dari saku seragam. Lika terbeliak saat menyadari ponsel itu berbeda. Bukan ponsel berwarna putih dengan layar retak, tetapi ponsel berwarna hitam dengan layar kinclong.

"Gue bisa pake ponsel gue," katanya malu-malu.

Lika terbeliak. "Ponsel baru!" pekik Lika girang dengan suara pelan.

Jihan mengangguk. "Gue pikir ini waktu yang tepat beli ponsel yang lebih bagus. Biar bisa fokus belajar dan nggak ngerepotin lo terus."

Lika tersenyum dan mengangguk. Senang akhirnya Jihan bisa belajar dengan baik. Cewek itu rajin dan pintar. Sayang kalau potensinya yang bisa dibentuk lewat proses pembelajaran terhambat karena fasilitas.

Apa ponsel kredit?

Tebakan itu muncul di dalam kepalanya dan cepat-cepat dihempas jauh. Ini karena "Jihan membeli ponsel" seolah tidak mungkin. Lika selalu merasa waktu untuk Jihan membeli ponsel masih sangat jauh. Sebab, kalau tidak salah ingat, Jihan bilang kondisi keluarganya sedang tidak mampu untuk membelikannya ponsel.

Tit! Tit! Tit!

Suara bel istirahat berbunyi, membuyarkan semua benang kusut di kepala. Lika mendengar kelas berubah riuh dan teman-temannya beranjak dari posisi masing-masing. Kondisi ini kontras dengan kondisi sebelumnya. Pak Yunus menutup kelas, tetapi hanya diperhatikan sebagian murid. Beliau beres-beres buku miliknya dan pergi meninggalkan kelas.

Jihan menyikut tangannya, membuat Lika menoleh dengan satu alis terangkat. Sahabatnya itu menunjuk pintu masuk dengan senyum menggoda. Di sana ada Arik. Melongok ke pintu dengan dengan senyum lebar dan satu tangan melambai. Dua tangannya membentuk gerakan makan dan menunjuk ke arah kantin. Lika tersenyum cerah, tetapi pandangannya tertuju pada gelang di tangan cowok itu. Tipenya sama persis seperti yang ditujukkan Resya. Lika bisa melihatnya dengan jelas karena warna gelang itu kontras dengan warna jaket yang dipakai Arik. Sebuah keraguan kembali menyeruak ke dalam benaknya. Namun, wajah cerah Arik dan senyum manisnya menghapus semua perasaan itu. Mendung di kepala terhempas entah ke mana. Senyum itu membuat Lika yakin kalau Arik pasti bukan pencuri ponsel. Gelang di tangan Resya pasti bukan milik Arik.

Cewek itu segera membereskan meja dan berjalan mendekat setelah sebelumnya berpamitan pada Jihan.

"Hai," sapanya.

"Pelajaran Pak Yunus, ya?"

Lika mengangguk dan mengangkat kedua bahu, tanda pasrah. Mereka mulai berjalan menuju kantin, bergabung dengan murid lain yang memenuhi koridor kelas.

Arik terkekeh renyah. Suara itu membuat getaran halus merambat di dada Lika. "Pasti lo ngantuk. Suara Pak Yunus pelan banget kalau lagi jelasin materi. Apalagi lo duduk di belakang."

Lika menunjuk kedua mata "Untung gue punya mata tajam, jadi bisa paham apa yang Pak Yunus jelasin."

Arik terkekeh lagi dan mengulurkan tangannya ke atas kepala Lika, mengacak rambut cewek itu dengan gemas. Lika tersipu. Itu kebiasaan manis yang disukainya dari Arik. Jantungnya selalu berdebar dan bibirnya spontan membentuk senyum. Sesampainya di kantin, mereka mengambil tempat duduk di dekat taman.

"Gimana motor lo?" tanya Lika saat mereka berdua sudah duduk berhadapan.

Arik tersenyum lebar. "Udah oke.  Sori kemarin kita nggak jadi nonton. Kalau sore ini nonton, gimana? Mau?"

Lika mengangguk mantap. "Asal jangan ada masalah lagi sama motornya."

"Siap, Kapten!" kata Arik bercanda.

Lika tersenyum, mengedarkan pandangan ke seisi kantin yang ramai, berniat melihat-lihat stan makanan, tetapi tergemap saat melihat Delta di pintu masuk. Cowok itu menatap seisi kantin bersama temannya. Gestur tubuh Delta seperti biasa. Tampak tidak peduli dengan sekeliling dan fokus pada hal yang dilakukan. Lika segera mengalihkan pandangan, menghindari kemungkinan pandangan mereka bertemu. Sadar dengan ketidaknyamanannya, Arik ikut menatap ke arah pintu kantin dan bersuara saat paham situasi Lika.

"Lo yakin mau bantu Delta buat nyari si pelaku?"

Lika terkesiap mendengar ucapan tiba-tiba Arik. Dia menatap cowok itu dengan alis bertaut lalu mengangguk. "Iya. Emang kenapa?"

Arik mengerling ke arah Delta. "Gue nggak terlalu percaya sama cowok itu."

Lika menganalisis ekspresi Arik. Siapa tahu cowok itu menunjukkan tanda-tanda kalau dia pencuri ponselnya. Namun, tidak ada kilat mencurigakan di wajahnya. Arik biasa saja. Lebih mirip cowok yang ingin melindungi cewek yang disukainya alih-alih diri sendiri.

"Gue bakal hati-hati," kata Lika.

"Tentu. Lo harus hati-hati. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi gue, oke?"

Lika mengangguk mantap. "Siap, Komandan!"

Arik mendorong kursi yang didudukinya lalu berdiri. "Lo mau minum sama makan apa? Gue pesenin."

"Um, es jeruk sama mi ayam."

"Oke. Bentar, ya." Arik melepas jaket dan menyimpan ponsel di atas meja. Dia melesat ke stan minuman dan mi ayam.

Lika mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sosok Delta entah ada di mana. Merasa lega, punggungnya kembali rileks. Cewek itu memperhatikan Arik yang dengan lihai memesan ini itu. Sesekali cowok itu menyapa teman dari kelas lain, mengobrol singkat, menunjuk ke arahnya, lalu fokus ke tukang dagang.

Arik bukan pencuri, putus Lika penuh keyakinan. Cowok sebaik dan seramah Arik tidak akan mencuri.

Namun, ada satu hal yang Lika heran tentang si pencuri ponselnya adalah; bagaimana dia bisa dengan mudah meraih ponselnya padahal benda itu ada di dalam tas. Apa benar pencurinya itu komplotan Thi? Apa pencuri yang Lika tahu selama ini beraksi dengan orang lain, dan bukan sendirian?

Ting.

Ponsel Arik menyala dan memunculkan pemberitahuan. Lika meraih benda itu ke arahnya, bermaksud untuk mengantisipasi orang tidak bertanggung jawab yang berniat mengambilnya. Tanpa sengaja, dia membaca pemberitahuan itu. Ada sebuah pesan dari grup percakapan Thi.

Thi?

Alis Lika mengernyit, seolah peka dengan kata itu. Dia menajamkan mata, sebisa mungkin membaca satu pesan yang muncul.

Anonim2-4: Si Delta sama Lika serius lagi cari pelaku pencuri ponselnya?

Deg!

Lika terbeliak saat namanya diungkit dalam percakapan. Debar jantungnya berubah tidak konstan.

Apa ini? Grup percakapan komplotan Thi?

Jadi, screenshot grup percakapan Thi soal kasus Resya yang beredar itu bukan berita bohong? Grup percakapan itu benar-benar ada.

Namun, apa ini?!

Arik...

"Nih, punya lo!"

Suara Arik membuat Lika spontan mematikan layar ponsel dan menatap cowok itu. Arik menyimpan semangkuk mi ayam dan es jeruk di meja.

"Pas, kan?"

Lika mengangguk kaku.

Arik kembali ke stan makanan untuk mengambil makanannya dan duduk kembali di kursi. Dia nenatap Lika dan heran saat melihat wajah cewek itu memucat. Kedua alisnya menyatu. "Kenapa?"

Lika menelan ludah, mengendalikan diri, mencoba untuk tidak mengeluarkan suara putus-putus. "Nggak apa-apa."

"Kebiasaan deh, suka gugup nggak jelas," ejek Arik dengan senyum manis menghiasi wajah.

Lika tertawa sumbang sebagai respons. Kepalanya berpikir keras. Senyum Arik barusan tidak membuatnya tenang, malah sebaliknya.

Apa Arik adalah rekan dari pelaku pencuri ponsel? Dia anggota komplotan Thi?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro