CP 29: OUR DESTINY

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mertua. Satu kata yang sebelumnya tidak pernah terlintas dalam pikiran Sara. Akan tetapi, sekarang ia benar-benar memilikinya. Menikah di usia tiga puluh tahun memang pilihan Sara, tetapi masih saja rasanya seperti mimpi. Seharian bersama sang suami, menjelang gelap ia dibawa ke rumah mertuanya, lalu bergabung dengan keluarga besar sang suami. Benar-benar hal yang sangat baru baginya.

"Sadam udah bicara ke Mama tentang rencana kalian sementara waktu untuk di sini dan unit. Kalau Mama berharap kalian akan di sini selama mungkin, tapi sepertinya kalian juga harus mengurus keperluan rumah. Untung Kiara, Deka, dan Kaka dekat. Jadi rumah bisa ramai," kata Ayudia saat mengajak Sara berbicara di kamar Sadam.

"Iya, Ma. Rumahku nggak seramai di sini, jadi agak beda melihatnya. Apalagi anak-anak menyambut kami dengan bahagia. Aku jadi ingin berlama-lama di sini."

Ayudia mengulas senyum selebar mungkin di hadapan sang menantu. "Tentu kami senang karena sekarang menantu di rumah ini bertambah. Kebahagiaan papa dan Mama serasa lengkap melihat Sadam akhirnya berkeluarga. Raja bersama Nadira, Kiara dan Deka, lalu kamu menikah dengan Sadam."

Sebagai menantu terakhir dalam keluarga Malik, Sara disambut dengan sangat baik. Kedua saudara Sadam, Raja dan Kiara, tidak kalah baik. Mungkin juga karena baru awal pernikahan. Namun, Sara memantapkan diri agar terus menjaga hubungan baik dengan mereka. Terlebih kedua menantu lain, Nadira dan Deka ternyata cukup gampang diajak berbicara. Mereka akrab dalam hitungan jam.

Itu kali pertama Sara datang ke rumah Sadam. Mulai saat ini ia harus mengakrabkan diri dengan anggota keluarga besar Malik. Menyesuaikan diri dengan orang-orang yang sebenarnya sudah lama Sara kenal, tetapi tidak cukup akrab. Bahkan saat Halim berkata ingin menjodohkannya dengan Sadam, Sara agak sedikit kaget. Sebab, ia tidak benar-benar dekat dengan pria itu dan keluarganya. Sara takut banyak cobaan di depan sana.

Cobaan yang pastinya akan datang. Orang bilang, jika masih baru-baru umur pernikahan, mungkin akan banyak hal-hal manis yang terjadi. Seiring berjalan waktu, badai akan datang menghantam. Tergantung dari keduanya, apakah bisa bekerjasama dalam menghadapi badai tersebut. Maka, rumah tangga mereka akan selalu bisa bertahan.

"Nah, sekarang kamu sudah jadi anaknya Mama juga. Jangan sungkan dan anggap saja Mama seperti mama kamu, ya. Kita sudah jadi keluarga, Sara," ucap Ayudia membuyarkan lamunan Sara.

"Pasti, Mama."

"Kamu mandi dulu, gih. Setelah itu kita makan malam bersama. Kaka dan Aya pasti senang karena ada anggota baru di keluarga ini. Kamu harus sabar ngadepin mereka kalau udah rewel," cetus Ayudia. Setiap berbicara, wanita itu selalu mengakhiri dengan senyuman singkat.

Sempat Ayudia menepuk-nepuk punggung tangan Sara sebelum keluar dari kamar. Kini hanya menyisakan Sara seorang diri. Kedua matanya mengamati ruangan tersebut. Seperti yang Sara duga, kamar Sadam sangat jauh berbalik dari kamarnya sendiri. Sadam terlalu rapi dan bersih untuk Sara yang tidak doyan bersih-bersih, berantakan. Aroma kamar khas sekali dengan parfum Sadam. Sepertinya aroma Sadam juga menempel pada sprei yang diduduki oleh Sara.

Di depan ranjang tersedia lemari berukuran besar berwarna cokelat. Ada rak kecil setinggi dada orang dewasa di sebelah kanan ruangan. Berisi buku-buku dan miniatur fotografi. Lalu, di sampingnya ada laci kecil dengan kaca gelap. Sedangkan di sisi kiri terbentang jendela lebar yang dilengkapi gorden biru gelap.

Sara menjatuhkan tubuh dan berbaring telentang di kasur. "Ini takdir yang udah dipilih Tuhan buat lo, Sara," katanya untuk diri sendiri. "Lo harus siap menjalaninya, apa pun yang terjadi. Sekarang lo nggak sendiri, tapi ada Sadam. Suka atau nggak, dia udah jadi suami lo dan lo punya hak serta kewajiban, sama seperti dia."

Kata-kata Sara bukan hanya sembarang ucap. Ia selalu diperingatkan oleh Wilona, diberikan wejangan lebih tepatnya. Sara mungkin bisa melakukan hal lain untuk suaminya, tetapi tidak untuk memasak dan mengurus rumah. Ia paling payah dalam hal tersebut. Untungnya Sadam memberikan izin untuk bekerja, entah sampai kapan. Satu hal yang pasti, suatu saat Sadam pasti akan membatasi izin bekerja untuknya. Pasti.

"Loh, kamu belum mandi?" tanya Sadam tiba-tiba masuk ke kamar. Ia membawa tas besar berisi pakaian Sara.

"Mau tiduran dulu. Capek banget hari ini. Kita bersih-bersih rumah aja sampe mau tiga jam," Sara menjawab seraya memejamkan mata.

"Mau aku bantu pijit nggak?" tanya Sadam, lagi.

"Nanti aja, deh. Mau mandi dulu." Kedua mata Sara terbuka. Betapa kaget perempuan itu saat melihat Sadam sudah duduk di dekatnya, lalu memandangi Sara yang masih berbaring dari jarak begitu dekat. "Kamu bikin kaget aja!"

"Bangun, gih. Mandi. Mau aku gendong aja sekalian?"

"Jangan berisik! Aku bisa sendiri. Aku mandiri." Sara bangkit dari tempat. Berdeham sesaat setelah tatapannya bertemu dengan kedua mata Sadam.

Kaki telanjang perempuan itu menyentuh lantai. Sara bergegas untuk ke kamar mandi. Sebelum tiba di sana, ia melihat Sadam melangkah ke lemari, mengambil sesuatu dari sana. Begitu mendapatkannya, ia mendekati Sara. Lelaki tersebut menyerahkan handuk kering untuk sang istri.

"Pakai ini," kata Sadam seraya mengangsurkan handuk.

"Oh, ya. Aku lupa. Terima kasih."

"Mbak ...." Sadam mengucapkannya dengan hati-hati. "Maksudku Sara." Dengan senang hati ia mengoreksi. Dari dahulu Sara memprotes dipanggil 'Mbak'.

"Kenapa? Ada yang ingin kamu katakan? Katakan aja sekarang sebelum aku masuk. Kalau obrolan ini akan panjang, tahan dulu. Nanti aja setelah aku selesai mandi."

Senyum Sadam terlukis sesaat ketika menggeleng. "Aku cuma mau bilang, kalau aku tau kamu adalah perempuan mandiri. Sejak dulu kamu memang bisa melakukan apa pun sendiri. Bahkan kamu berjuang dan mengurus D'Amore dengan serius. Tapi, sekarang kamu punya suami, jadi aku ingin kamu melibatkan aku dalam apa pun itu urusanmu. Aku mau kamu bisa mengandalkan aku juga, jadi nggak harus melakukan semuanya sendirian."

Kalimat panjang dari Sadam membuat Sara terdiam sesaat. Dahulu mungkin Sara beranggapan bahwa akan tetap bisa mandiri meski setelah menikah. Akan tetapi, baru-baru ini perempuan itu sadar setelah banyak menyaksikan dan mendengar dari mamanya. Wilona memang wanita kuat dan mandiri, tetapi bersama Halim ia selalu ingin dilindungi dan menjadi begitu rapuh. Selalu merengek seperti anak kecil manja di depan suaminya.

"Itu aja yang mau aku omongin," imbuh Sadam, "mandilah! Nanti bajumu aku bantu rapikan."

"Sadam?" panggil Sara sebelum lelaki itu sempat  berbalik. "Kamu yang bilang kalau kita harus bekerjasama dalam pernikahan ini. Jadi, kita sudah seharusnya menjalankan pernikahan seperti suami-istri ...."

Kalimat Sara tertahan saat Sadam tiba-tiba mendekat, lalu memeluk Sara. Itu adalah pelukan kedua mereka. Tindakan Sadam yang di luar dugaan selalu membuat Sara terkejut. Lalu, perasaannya akan berkecamuk, berdebar-debar tidak karuan. Sara mengangkat tangan yang masih memegangi handuk, lalu membalas pelukan Sadam.

"Kita akan menjalani takdir ini," gumam Sadam, masih enggan melepaskan pelukan. "Cinta bisa datang belakangan. Kamu percaya, 'kan?"

Tanpa berucap, Sara hanya membalas dengan anggukan samar.

—oOo—

Meja makan di rumah keluarga Halim tidak pernah seramai apa yang sekarang terjadi di keluarga Malik. Biasanya Sara hanya makan malam berempat atau sendirian di butik. Namun, sekarang di meja makan keluarga suaminya, tidak ada empat orang atau satu orang saja. Mereka makan beramai-ramai.

"Om Adam, Om Adam! Gendong!" Itu suara Kaka, anak Kiara dan Deka.

Sara yang sedang membantu Nadira menata lauk, pun menoleh ke sumber suara. Bocah laki-laki itu dalam sekejap sudah berada dalam gendongan Sadam. Sesekali tergelak karena digelitik oleh sang om. Tepat di ruang tengah, Deka menemani Ayana dan Malik berbincang. Raja muncul dari anak tangga, membawa putra bungsunya, dan bergabung dengan mereka.

"Rumah emang selalu ramai begini, Mbak?" tanya Sara pada Nadira.

"Kalau lagi kumpul bareng emang lebih ramai. Tiap hari karena Kaka dan Aya sering ke sini, rumah papa jadi cukup ramai. Kamu harus tau, Ra, kalau papa dan mama pengin rumah kayak gini. Ramai karena anak, menantu, dan cucunya." Nadira mengakhiri penjelasan dengan senyuman lebar.

"Soalnya kata papa, beliau udah tua. Pengin lihat pemandangan yang indah-indah." Tiba-tiba Kiara muncul dari dapur seraya membawa sepanci sup. "Mbak Sara harus tahan kalau anak-anak udah ribut."

Nadira menanggapi lagi. "Suatu saat kita bakal paham apa yang dipikirkan serta dirasakan mama dan papa. Kelak jika sudah seusia mereka dan memiliki anak yang telah dewasa, kita akan paham."

Ucapan Nadira dijawab Sara dengan anggukan. Walaupun itu masih sangat jauh dalam pernikahan Sara yang baru saja dimulai. Sepasang matanya bertemu dengan tatapan Sadam yang entah sejak kapan melihat dirinya. Sara menunduk dan segera berlalu ke dapur saat Sadam tersenyum lebar. Mulai sekarang Sara juga harus terbiasa dengan senyum tulus suaminya.

Hi, Oneders!

Update lagi, nih~

Ga bosen-bosen, yuk baca Sara dan Sadam dj KaryaKarsa. Sudah mau sampe bab 40, lho!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro