CP 30: MORNING

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika sebelumnya Sadam membawa Barry ke unit apartemen dan mengizinkannya tinggal di sana, sekarang berbeda cerita. Ia justru membawa seorang wanita ke sana. Wanita yang baru saja sah menjadi istrinya. Bahkan saat menyetir, Sadam tidak henti mengamati cincin kawinnya yang tersemat di jari. Itu adalah pertanda bahwa sekarang dirinya tidak lajang lagi. Maka sah-sah saja Sadam membawa Sara bersamanya.

Lima hari menjelang pernikahan Sadam, Barry berinisiatif sendiri untuk pindah. Sementara mencicil rumah sendiri sebelum menikah nanti. Siapa sangka? Sadam pikir Barry akan mendahuluinya, tetapi ternyata dialah yang mendahului sang sahabat. Wow! Dalam sekejap mata, Sadam sudah menambah gelarnya, yaitu seorang suami.

Keduanya baru saja tiba di apartemen. Petang yang menjelang mengantar mereka tiba di tempat tujuan. Setelah kemarin bermalam di rumah Malik, sekarang kehidupan mereka sebagai suami-istri benar-benar akan dimulai. Kendati demikian, tetap tidak ada 'malam' seperti pengantin lainnya. Baik Sadam dan Sara masih sama-sama canggung jika melakukan hal lebih jauh dari sekadar berbagi ranjang dan tidur berhadapan.

"Kamu yakin nggak apa-apa di sini dulu? Barry gimana?" tanya Sara saat mereka tiba di unit.

"Nggak usah mencemaskan dia. Aman."

"Ya, tetap aja. Tadinya dia tinggal di sini."

Sadam terkekeh sebentar. "Lebih baik kita cemaskan makan malam sekarang. Tadi, sih, nggak mau makan di luar."

"Kamu bisa masak? Masaklah," kata Sara dengan enteng seraya menjatuhkan tubuh ke sofa. Sepasang matanya mengamati Sadam yang masih berdiri tidak jauh dari ruang tengah. "Jangan bilang, kamu bakal menekankan bahwa seorang istri harus pintar memasak?"

"Nggak, lah. Aku bisa masak. Nanti aku masak untuk kita." Lelaki berkacamata dengan kemeja biru tua mendekat dan tersenyum lebar di depan Sara. Bahkan ia sampai berjongkok segala. "Pantes aja tadi kamu nggak bantu-bantu mama di dapur. Kamu nggak bisa masak."

"Ngeledek?"

Sadam lagi-lagi terkekeh. Setiap ia bersuara, rasa-rasanya Sara selalu membalas dengan ketus. "Kamu mirip sama Kiara. Dia nggak bisa masak juga, lho. Tapi, sekarang lumayan bisa karena belajar dari Mbak Nadira. Aku bisa masak, walaupun nggak sejago Mas Raja. Tenang, kamu nggak akan kelaparan."

"Emangnya, tuh, dapur udah banyak stoknya?"

"Dapurku selalu banyak stok makanannya. Aku ini bukan lelaki yang malas memenuhi asupan energi."

Tanpa membalas Sadam, Sara hanya melengos dan berbaring di atas sofa. Gurat lelah di wajahnya tampak kentara. Seharian mereka membersihkan rumah dan membuat daftar barang-barang yang harus dibeli untuk mengisi rumah baru. Soal pekerjaan untungnya Sara mengesampingkan dulu. Sadam agak takjub karena Sara benar-benar serius mengurus tempat tinggal mereka.

Bahkan Sara dengan tegas memilih sendiri apa yang harus ada di rumah. Juga memberikan kesempatan pada Sadam untuk membeli apa yang dibutuhkan olehnya. Bagaimana bisa Sadam tidak jatuh cinta? Ketika mendapatkan pasangan yang juga memberikan kesempatan padanya untuk menyuarakan pendapat.

"Aku mandi duluan, ya. Kamu istirahatlah sebentar," kata Sadam setelah sekian detik mengamati wajah sang istri.

Sara yang sudah memejamkan mata hanya bisa mengangguk takzim. Membiarkan Sara istirahat, Sadam bergegas ke kamar. Rasa gugup kembali melanda lelaki itu. Walaupun beberapa bulan ke belakang, ia dan Sara kerap bertemu, tetapi begitu menjadi teman serumah, menjadi suami-istri, Sadam malah makin deg-degan.

Pertama kali terbangun dan melihat Sara di sampingnya, Sadam merasa seperti mimpi. Perempuan cantik yang biasa terlihat jutek, begitu damai dan tenang saat tertidur. Bulu matanya lentik, hidung kecil yang mancung, bibir kemerahan tanpa sapuan lipstik, alis rapi yang sedikit tebal. Sadam menikmati pemandangan pagi yang tidak biasa tersebut.

Berkutat di kamar mandi selama hampir lima menit lebih, karena Sadam tidak suka mandi terlalu lama, lelaki itu keluar setelah urusannya selesai. Ia sudah rapi dengan piyama dan bergegas keluar seraya mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Dilihatnya Sara masih berbaring di sofa.

"Sayang?" sapa Sadam sesaat setelah bersila di karpet, menatap Sara yang tertidur pulas. "Capek banget kali, ya?"

Awalnya Sadam ragu-ragu dengan apa yang ada di pikirannya sekarang, tetapi jika tidak dilakukan, Sara bisa terjatuh ke lantai kalau membuat pergerakan. Ia bangkit dan mendekati Sara, memandanginya sesaat sebelum bergerak mengangkat tubuh wanita itu. Ringan sekali.

"Maaf, ya. Aku pindahin karena takut kamu jatuh," ucap Sadam meski Sara tidak merespons.

Iya, Sara tidak merespons dengan perkataan. Namun, wanita itu membuat pergerakan kecil, mengalungkan tangannya di leher sang suami. Sadam agak kaget, tetapi berhasil fokus menguasai diri. Dengan hati-hati ia meletakkan tubuh Sara ke atas kasur, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh sang istri.

Sebelum beranjak keluar ia berkata, "Aku bikin makan malamnya sekarang aja, ya. Nanti kalau kamu bangun, aku hangatkan makanannya." Lagi-lagi, Sara tidak menjawab. Sadam tersenyum sekilas seraya mengelus lembut sisi kanan kepala Sara sebentar. Lantas lelaki itu beranjak keluar dari kamar. Menutup pintu pelan-pelan agar istrinya tidak terbangun.

Padahal Sadam ingin sekali makan malam berdua dengan Sara malam itu. Namun, ia tidak bisa memaksa. Sara terlalu lelah, butuh istirahat. Selain itu, Sadam juga ingin membicarakan sesuatu yang terlewat. Saking sibuk mengurus persiapan pernikahan, mereka lupa membahas tentang perjalanan bulan madu.

"Bulan madu?" Sara menggeleng seraya merasakan pipinya agak memanas. "Bisa-bisanya mama sampai kepikiran ke sana."

Benar! Rencana bulan madu adalah ide Ayudia. Dialah yang melontarkan pertanyaan tentang perjalanan tersebut kepada anaknya. Padahal Sadam dan Sara tidak pernah memikirkan hal tersebut.

"Kalau gue bahas besok, Sara bakal ngamuk nggak, ya? Pasti dia nggak mau pergi bareng gue," gumam Sadam seraya mengenakan celemek.

—oOo—

Bias sinar mentari membangunkan Sadam dari tidur nyenyak. Ia meraba tempat di sisi kanan. Kosong. Padahal semalam ada Sara di sana. Bahkan sampai Subuh tadi, Sadam masih memeluk pinggang sang istri. Untung Sara tidak memprotes. Barangkali Sara tidak mau menolak suaminya terus menerus.

"Ke mana dia?" gumam Sadam seraya mengucek mata dan bangkit dari tempat.

Matanya masih mampu melihat tanpa kacamata, tetapi Sadam memang lebih sering menggunakannya. Pagi itu Sadam bangkit tanpa mengenakan kacamata dan melepas baju piyama sehingga bertelanjang dada ke kamar mandi. Membasuh wajah adalah hal pertama yang harus dilakukan. Pagi ini sialnya ia tidak bisa disambut dengan wajah cantik Sara yang terlelap.

Keluar dari kamar mandi, Sadam bergerak menuju dapur. Terlihat Sara tengah duduk di kursi pantry. Mengoles selai ke selembar roti tawar. Ada dua piring berisi roti dan segelas susu. Barangkali itu untuknya.

Iseng, Sadam mendekat saat Sara hendak memasukkan roti ke mulut. Ia dengan cepat mengambil lebih dahulu gigitan pertama, membuat Sara kaget. Hampir terjatuh dari kursi jika Sadam tidak menangkap pinggangnya.

"Morning, Sayang." Sadam menyapa seraya memamerkan senyum paling manis yang dimilikinya.

"KENAPA KAMU NGGAK PAKE BAJU?!" Sara memekik dan mendorong Sadam sampai terbentur tepian meja pantry. "MASIH PAGI, JANGAN BIKIN EMOSI!"

"Aku tiap pagi sering begini. Biasakan dirimu," kata Sadam dengan tenang.

Tak takut kalau Sara akan mendorong atau menghajarnya lagi. Dengan enteng Sadam meraih segelas susu dan meminumnya sebentar. Sesuai perkiraan, Sara melotot kaget.

"Itu punyaku! Kalau mau, bikin sana," cetus Sara seraya merampas gelas susu hangat.

"Sebenarnya aku nggak minum susu saat pagi hari. Aku lebih suka kopi. Tolong buatkan untukku, bisa, Yang?"

“Kenapa harus aku yang bikin? Mandirilah.”

Kalau suami lain, barangkali sudah marah-marah. Namun, Sadam tidak mau marah. Ia terkekeh sebentar dan menepuk puncak kepala Sara berkali-kali. "Coba dulu. Sana," titahnya. Kali ini tidak mau ditolak.

"Pakai bajumu dulu, Sadam. Kalau nggak, aku nggak akan menuruti kemauan kamu."

"Iya, nanti aku pakai. Sekarang buatkan aku kopi."

Masih pagi, tetapi Sadam sudah disambut wajah jengkel Sara. Walaupun begitu, rasa-rasanya ia hanya ingin menanggapi dengan tawa. Bikin Sara kesal rupanya memiliki efek lain bagi pria itu.

"Kamu harus terbiasa denganku. Begitu juga aku. Kebiasaan-kebiasaan kita, satu sama lain, pelan-pelan bakal kelihatan juga," imbuh Sadam. Ia mendekatkan wajahnya ke telinga perempuan itu. "Ini baru telanjang setengah dada. Gimana kalau full naked? Kamu nggak akan pingsan, 'kan?"

Sesuai dugaan lagi, Sara melotot ke arahnya. Ke mana Sara yang selalu merasa bahwa dirinya akan menang setiap berhadapan dengan Sadam? Bahwa dirinya tidak akan tergoda dengan Sadam? Sebab sekarang Sara tidak bisa menyembunyikan pipinya yang kemerahan.

"Baru gitu aja langsing blushing. Kamu beneran Mbak Sara yang aku kenal, 'kan?" tanya Sadam.

"Harusnya aku yang tanya kayak gitu. Selama ini kamu cuma akting, ya? Diam-diam ternyata ... kamu banyak omong juga." Sara berdecih sesaat.

"Kalau udah nyaman sama orang, aku banyak bicara."

Kalimat Sadam membuat Sara menoleh. Meski tidak disuarakan, tetapi Sadam paham bahwa tatapan istrinya seperti butuh penjelasan.

Sadam menjawab, "Emangnya salah kalau nyaman sama istri sendiri? Nggak, 'kan?"  





Hi, Oneders! Akhirnya Sara update lagi nih di Wattpad. Hehe.

Tapi ...

Kamu mau baca Sara dan Sadam versi udah tamat nggak? Bisa banget, lho! Cuma di KaryaKarsa.

Sadam dan Sara baru saja tamat di KaryaKarsa, jadi kamu bisa baca marathon.


Terima kasih❤🖤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro