[21] Korosi Ilusi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Oh, tidak. Ya Tuhan! Lukamu cukup dalam, Akemi. Kepalamu harus dibalut." Reverie, gadis Italia yang sesungguhnya sangat menakuti hal semacam darah itu menelan saliva susah payah. Persatas mewajibkan setiap siswanya untuk mengikuti ekstrakurikuler. Reverie yang hanya ikut-ikutan orang pun terpaksa mengikuti Palang Merah Remaja.

Pada awal-awal tahun pelajaran, Reverie mengeluhkan banyak hal, menyesali keputusannya, dan berniat hengkang dari organisasi itu, secepatnya. Kesenian tampak lebih ringan, sepertinya. Oh, jika masih tidak sesuai, Reverie akan mendirikan klub sastra atau jurnalisme saja. Namun, siapa sangka, praktik menyebalkan perihal balut-membalut itu ternyata ada gunanya, sekarang.

Ezra melepaskan jaket hitamnya. "Apa ini bisa digunakan?"

"Yes, please! Meskipun tidak sebanding dengan kesterilan kasa dan perban, ini lebih dari cukup untuk sekadar menghentikan pendarahan dan mencegah terjadinya lebih banyak infeksi." Masih dengan celotehan tanpa henti, juga tangannya yang sesekali bermain di udara untuk penghayatan—sebagaimana kebiasaan orang Italia yang selalu totalitas dalam menjabarkan sesuatu hal—Reverie membebat kepala Akemi, telaten. "Selesai. Kau mungkin akan merasa pusing sesekali, tetaplah bertahan selama kita menyelesaikan perjalanan ini dan berhasil pulang, oke?"

Kurva itu terbentuk dari kedua sudut bibir Akemi yang ditarik ke atas. "Terima kasih banyak. Aku sangat tertolong."

"Aku masih memikirkan bagaimana harimau tadi memilih untuk menghancurkan pintu lebih dahulu. Dia merasa terdesak? Tunggu. Harimau itu hendak memangsa kita, bukan? Jika memang itu tujuan utamanya, mengapa tidak hancurkan saja pintu kayunya sebelum kita tiba?"

Mendengar pertanyaan Ayesha membuat Sean ikut tertarik untuk membicarakannya. "Entahlah. Salah satu kemungkinan yang ada adalah ... harimau itu baru bisa aktif di saat ada mangsa yang memasuki kawasannya. Kehadiran manusia bisa saja menjadi pemicunya."

Kalimat Sean menggantung gamang. Akemi masih mempertahankan senyuman manisnya. "Imajinasimu benar-benar liar, ya, Sean. Apa para ilmuwan selalu punya pemikiran semacam itu?"

"Tidak ada. Omong kosong. Dia hanya tidak waras," sambar Ezra, tak terima.

"Ha! Begitulah seorang amatir yang selalu iri terhadap berbagai pesona idolanya." Sean menjentikkan jari, merasa di atas angin. Detik berikutnya, Sean kembali memasang tampang serius. "Tapi aku tidak bercanda. Harimau itu ... terlihat seolah tengah menjaga pintu itu ... atau bahkan sesuatu di baliknya?"

Tak mau membuang waktu lebih banyak lagi, Alan lekas meraih tanduk putih itu. Dibayangi tatapan was-was dari kelima orang lainnya, Alan memasukkan tanduk itu pada ceruk di sisi pintu kayu. Tak terjadi apa-apa. Alan memutar pangkal tanduk yang menggantung, lalu memutarnya hati-hati. Terdengar suatu retakan. Pintu kayu bergetar, lalu hancur menjadi keping-keping.

Untuk ketiga kalinya, mereka disedot portal. Gelap. Setelah beberapa guncangan yang membuat mual, keenamnya pun mendarat di atas daratan cukup curam yang dipenuhi kerikil dan ilalang. Begitu membuka mata, tampaklah letupan magma di bawah pijakan batu mereka. Serempak, mereka merapat ke dinding batu yang tak lain adalah titik di mana portal tadi memuntahkan mereka. Reverie menjerit tertahan. Beberapa kerikil terjatuh dan dilahap lautan magma.

Sean menengadahkan kepala. Dinding batu yang menjadi sandaran punggung mereka ini tidak kelihatan ujungnya. Mustahil jika hanya mengandalkan pijakan rapuh di sekitar untuk memanjat naik. Mereka seperti tengah berada di dalam perut gunung berapi yang aktif. Di sekeliling hanya ada dinding batu yang melingkari mereka.

Sementara itu, satu-satunya pijakan yang memiliki tingkat keamanan lebih tinggi adalah suatu pijakan di seberang mereka. Di sana tampak seperti ada lubang gua yang terus menjorok menembus dinding batu. Akan tetapi, untuk mencapai sana, mereka harus menyeberangi lautan magma. Oh, ini akan sangat mudah jika mereka mempunyai Baling-Baling Bambu Doraemon.

Dengan napas memburu, mereka mengamati sesuatu yang tampak terbang rendah di atas kepala. Tampak seperti segenggam awan hitam. Partikel di lapisannya bergerak memisahkan diri, membentuk serangkai kalimat: Manipolazione del Illusione.

"Manipulasi ilusi!" pekik Reverie, langsung menerjemahkannya tanpa perlu instruksi lagi, panik.

Awan hitam itu kini melebur, luluh menyelami magma. Belum sempat mencerna sederet informasi yang dijejalkan paksa dalam waktu relatif singkat, tiba-tiba saja sudut mata Ezra menangkap pergerakan sesuatu di dekat kakinya. Saking cepatnya, Ezra tak sempat mengelak. Ilalang liar menjerat kaki kanannya. Sungguh. Tak ada yang bisa memprediksinya ketika ilalang itu mendadak saja bertambah panjang beratus-ratus kali lipat dari sebelumnya, elastis seperti karet, lalu melemparkan Ezra ke pijakan seberang, persis di hadapan gua itu berada.

Namun ... tidak. Ezra tidak selamat begitu saja.

Dari pijakannya, muncullah dinding berbahan beton yang transparan, membentuk bangun ruang kubus tanpa atap, sempurna mengungkung Ezra di dalamnya. Pada waktu bersamaan, di seberang sana, ilalang liar juga membelit kelima orang lainnya. Hanya saja, mereka berlima tidak dilemparkan ke dekat gua, melainkan malah terhempas di atas permukaan awan hitam yang lebih besar dari segumpal awan yang tadi. Kelimanya, persis-berada-di-atas-kolam-magma-yang-meletup-letup.

Sean mengernyit. Permukaan awan ini seperti zat padat pada umumnya. Bukan material gas. Tiba-tiba terdengar suara berat seseorang yang menggema.

"Top in giù significa una serie di modelli. Completa, quindi il cloud consegnerà i tuoi cinque amici nell'insediamento della grotta."

Masih dengan raut muka pucat pasi, Reverie menerjemahkannya dengan berteriak, "Atas ke bawah berarti sederet pola. Selesaikanlah, maka awan itu akan mengantarkan kelima temanmu pada gua penyelesaian." Reverie menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Pola? Kurasa, itu ditujukan untukmu, Ezra. Jika kau berhasil menyelesaikannya, kemungkinan kita akan selamat."

Otak Sean berpikir cepat. Tidak. Ada yang jauh lebih penting untuk diurus. Tatapan Sean dilayangkan pada Ezra di seberang. "We're okay, Ezra. Nothing is happened. Kami bisa menunggu dengan tenang. Bagaimana denganmu? Kau baik-baik saja?"

Napas Ezra terengah-engah. Tidak bisa. Mulutnya terasa dikunci. Keringat sebesar biji jagung mengucur dari pelipis Ezra. Belum habis kecemasannya, belasan kardus mendadak saja jatuh dari atas. Berdebum memenuhi kotak kubus. Sebagian kardusnya menimpa kepala Ezra. Bukan suatu hal yang menyakitkan. Akan tetapi, yang jauh lebih Ezra takutkan adalah suasana di sekitarnya. Dari ujung keempat dinding yan membatasi pergerakan Ezra, timbullah selapis dinding lain yang menjadi atap kubus.

Ezra sempurna dihimpit, tanpa celah. Ini persis seperti kejadian di petang itu ....

Di atas awan hitam, Sean tambah panik. Sebisa mungkin, Sean mengontrol nada suaranya. "Uhm, jika memungkinkan, katakan saja apa pun yang ada di sana, Ezra. Mengenai pola itu, misalnya. Kau bisa bertanya padaku jika ada kesulitan. Santai saja. Biasanya juga begitu, 'kan? Anggap saja itu materi Matematika Wajib yang seringkali kau tanyakan padaku bagaimana penyelesaiannya, oke?"

Di tengah kesunyian yang mengambang, sepercik cairan merah mengenai punggung tangan Ayesha. Mendadak, dari pijakan lapisan awan muncul sebidang cermin yang terus naik, hingga tingginya seperti pria dewasa. Ayesha mengamati pantulan dirinya sendiri di sana. Lamat-lamat. Entah berasal dari selaput awan atau apa, bayangan hitam pekat yang mengelilingi cermin itu kini pindah dan berpusar di tubuh Ayesha. Perlahan tetapi pasti, kedua matanya berubah gelap, bukan lagi manik hitam yang mengkilat, melainkan bentuk visual spektrum warna absen cahaya.

"A-ayesha?" panggil Sean, pelan.

Detik berikutnya, Ayesha menghantamkan tinju pada permukaan cermin. Tiada henti. Retakan memanjang di sana-sini. Hingga akhirnya, sekeping pecahan cermin memental ke arahnya. Ayesha lekas menangkap beling itu, lalu diarahkan tepat ke arah gurat hijau kehidupan itu bersemayam di pergelangan tangannya. "Akhiri ...."

"Tidak! Apa yang kau lakukan? Hentikan! Itu berbahaya, Ayesha."

Dengan tangan bergetar karena emosi yang meledak-ledak dari dalam diri, Ayesha tak berniat mengurungkan aksinya sama sekali. Karena kondisinya yang kurang stabil, Ayesha meleset. Pecahan tajam cermin itu hanya menyayat pangkal jari, juga telapak tangannya. "Berakhirlah. Alasan kau terlahir di muka bumi ini sudah melarikan diri, tak merasa bertanggung jawab, bahkan untuk sekadar menyapa sekalipun. Omong kosong soal mereka yang pasti kembali, suatu saat nanti. Tak ada gunanya. Untuk apa kau masih mempertahankan eksistensi semu milikmu di sini?"

Sean menggenggam pergelangan tangan Ayesha, melindunginya. "Sha, hentikan .... Tolong, lihat aku."

"Jangan menghalangiku! Kau tak tahu sama sekali tentangku. Masih berlumuran darah, baru menghirup napas pertama, dengan tumpukan sampah busuk yang memenuhi ... kau takkan pernah mengerti. Asing di duniamu. Tak pernah menemukan tempat untuk berpulang. Dibuang .... Mau sampai kapan rasa itu menyiksa? Biarkanlah aku menderita di dasar neraka saja, sekaligus."

Tidak. Sean menyadari sesuatu. Yang berdiri di hadapannya ini bukanlah Ayesha, melainkan alam bawah sadar Ayesha-nya sendiri yang sudah mengambil alih tuas kendali atas dirinya. Sudut hati Sean berdenyut nyeri begitu mendapati bahwa di balik kerasnya Ayesha, ia tak lebih dari seorang gadis rapuh. Sean menahan ujung pecahan beling yang sudah ditodongkan Ayesha ke arah urat nadinya sendiri. Tak peduli dengan rasa perih yang menjalar ketika beling itu menyayat dalam, dan darah yang mulai bercucuran dari telapak tangan, Sean masih bergeming di posisinya, menatap kedua mata gelap Ayesha, lekat-lekat. "Hei, aku di sini. Masih di sisimu. Apa yang kau risaukan?"

Kegelapan pekat di kedua bola mata Ayesha perlahan pudar. Ayesha mengerjap, tak menyadari tetes air mata lolos menjelajahi pipi tirusnya. Suasana kembali tenang.

Cengiran lebar dipersembahkan Sean. "Bagaimana, Ezra? Tidak ada masalah?"

Ezra menelan saliva-nya susah payah. Tenggorokannya terasa perih. "Kardus ini memuat angka yang bisa disetel, seperti kode sandi. Aku harus meneruskan pola dari deret angka yang muncul di dinding kubus. 2, 7, 4, 9 ...."

Rasa mual kembali menghampiri. Ezra menghentikan kalimatnya.

Di atas awan, Akemi menyentuh lengan jaket Ezra yang digunakan untuk membebat kepalanya. "Oh, Reverie .... Balutan ini sepertinya melonggar."

"Biar kuperbaiki."

Belum juga tuntas mengikatnya kembali, aura hitam tadi malah menguasai bola mata Reverie, kini. Bedanya, yang hitam hanyalah bagian putih mata, sementara maniknya merah menyala. Detik berikutnya, Akemi sudah berada di tepi pijakan awan. Reverie tak segan mendorongnya agar jatuh ke dasar magma. "Matilah."

❌   ❌   ❌

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro