[22] Ghost from The Past

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kita main petak umpet dulu, ya? Jangan keluar sampai Mama berhasil menghitung sampai sepuluh, oke?"

Suara bisikan dari masa lalu itu terasa nyata sekali. Ezra menekan kedua daun telinganya kuat-kuat. Tidak, tidak. Jangan sampai ia kembali tenggelam ditelan kegelapan masa lampau. Namun, sialnya, mata Ezra malah tidak bisa diajak kompromi. Dengan jelas, indra penglihatannya itu menangkap sekelebat bayangan Elisa, mamanya. Tepukan singkat di puncak kepalanya itu terasa hangat ....

Tidak, tidak! Seperti kata Reverie, semua ini hanyalah Manipulasi Ilusi. Ezra tidak boleh terpengaruh. Jika ia berhasil lolos dari perangkap ini, Ezra bisa menyelamatkan kelima temannya. Lebih cepat, lebih baik. Jangan mengulur waktu lebih lama.

Ezra membelalakkan mata. Baiklah. Mari kita selesaikan, sekarang juga. Di setiap sisi dinding kubus yang mengungkungnya itu, timbullah dua gurat. Kemungkinan, garis itu berfungsi sebagai pemisah antara satu pola dengan pola lainnya. Ezra semakin yakin ketika mendapati munculnya angka-angka yang berbaris secara menurun di setiap garis. Ada empat sisi dinding, dengan dua gurat di masing-masing sisinya. Totalnya, Ezra harus menyusun enam belas kardus di delapan garis dinding untuk menuntaskan polanya.

Baris pertama. 2, 7, 4, 9. Ezra bisa mendengar keributan di atas awan. Akan tetapi, Ezra tak memiliki banyak waktu. Prioritasnya adalah pekerjaan ini. Biarlah Sean yang mengurus segala kekacauan di sana. Ezra percaya padanya.

Polanya tidak begitu pelik. 2, 7, 4, 9 ... suku kelimanya 6, lalu ... 11. Ezra menumpuk balok itu. Begitu selesai satu baris, sekeliling kardus mengeluarkan pendar cahaya hijau. Aman. Baris kedua, baris ketiga .... Tidak ada hambatan berarti. Jika Sean yang berada di posisinya, tentu saja kubus ini hanyalah hal yang kecil. Cih. Ezra tidak mau kalah.

"Matilah."

Baru setengah jalan, Ezra mematung begitu memandangi yang berada di balik dinding beton transparan itu. Reverie mendorong Akemi. Kini, dengan badan yang menggantung, Akemi berusaha keras untuk mempertahankan posisinya. Tangannya menggenggam pergelangan kaki Reverie. Cukup satu tendangan ringan saja dari Reverie, maka habis sudah riwayat Akemi. "T-tidak ... Reverie?"

Kedua manik itu masih menyorotkan cahaya merah. Alan menarik Reverie, sehingga Akemi kembali naik. Demi mengamankan posisi, Alan mengarahkan punggung Akemi agar bergabung dengan Sean dan Ayesha yang masih tampak syok dan berusaha menenangkan diri. Aura hitam di sekeliling tubuh Reverie bertambah pekat. Tangannya mengepal kuat. "Kau ... kalian .... Tidak pernah ada yang benar-benar menginginkan eksistensiku. Aku hanyalah keberadaan semu, yang tak pernah dibutuhkan. Aku hanya mengacau, membebani oran-orang .... Kukira kalian berbeda, tapi pada akhirnya, kalian hanya ingin membuangku, sebagaimana yang telah dilakukan keluarga sialan itu, 'kan!"

Mendapati lokasi target yang paling dekat dengannya, lekas saja Reverie mengacungkan tangan, bersiap mencekik Alan. Sebelum jalur napasnya benar-benar dihimpit paksa, Alan bergegas membawa tubuh mungil Reverie ke dalam dekapannya, lebih dulu. Sekuat tenaga, ditahannya kekuatan Reverie yang mencoba berontak, brutal. "Tak apa. Reverie, kita semua sama-sama digentayangi hal menakutkan. Aku tak bisa menampiknya, lalu berkata seolah semua itu masalah kecil yang seharunya disepelekan. Tidak ... sama sekali tidak. Hei, aku hanya mau kau sadari ...."

Perlahan, rontaan Reverie melemah. Kekuatannya mengendur. Hanya menyisakan air mata yang tak punya pilihan selain terjatuh begitu saja. Tenaganya habis. Reverie kehilangan keseimbangan tubuh. Alan menahannya.

Sedari awal, Alan selalu dihantui rasa bersalah di setiap penghujung malamnya. Siluet gadis dua belas tahun dengan kepang dua dan aura secerah mentari tanpa awan itu senantiasa menemani malam-malam panjangnya. Iya, adiknya, yang gagal ia jaga, setahun silam. Sekaligus salah satu alasan kedua orang tuanya jadi sering memperlakukan Alan dengan kekerasan, selama ini. Kehangatan yang sama, Alan rasakan ketika merengkuh Reverie. Sebal dengan dirinya sendiri yang selalu sensitif jika mengingat adik kecilnya, Alan susah payah berbisik, "Sadari ... bahwa aku di sini. Bersamamu."

Pusaran aura kegelapan itu sempurna lenyap. Kini, hanya sendu yang terdapat di kedua mata Reverie.

Di sisi lain, Ezra muntah. Dengan tangan tremor, tak henti bergetar, kedua tangannya mati-matian bertahan dengan menyelesaikan pola di baris terakhir. 8, 1, 9, 10 .... Ezra memutar otak, sejenak. Kelanjutannya ... 10, 19. Ezra menunggu dengan tanda tanya. Hei, kenapa tak muncul pendar hijau? Salahkah?

"Ezra!" teriakan Sean yang diiringi jeritan tertahan lain mengalihkan perhatian Ezra. Permukaan awan hitam terasa bergetar, seakan hendak retak dan hancur lapisannya, persis seperti segenggam awan di awal yang berakhir di kolam magma. Napas Sean memburu. "Apa lagi yang kau tunggu?"

"8, 1, 9, 10 ... apa lagi kelanjutannya? Kujawab 10 dan 19 , tetapi tidak ada respons dari kardus ini!"

Tak perlu berpikir panjang, Sean teriak, "Coba lagi dengan digit lain! Bukan penjumlahan loncat satu, tapi jumlahkan suku pertama dengan kedua, kedua dengan ketiga, dan seterusnya. 19 dan 29!"

Benar saja. Kardus mengeluarkan pendar cahaya hijau. Kubus itu kembali ditelan pijakan. Awan hitam itu juga kembali kokoh, lantas mengantarkan kelimanya hingga ke tepi pijakan yang sama dengan Ezra. Semua orang bernapas lega. Sebelum memasuki goa yang memiliki kemungkinan akan jauh lebih buruk dari letupan magma ini, seluruh personel Danger Detection mencoba menormalisasikan frekuensi tarikan napas yang kacau.

Tanpa diperhatikan yang lainnya, Sean mencoba bicara lirih di telinga Ezra. "Bagaimana? Kau ... berhasil mengalahkan musuh terbesarmu di kubus sempit itu? Setelah kau menghadapinya ... bukankah semua itu terasa jauh lebih ringan?"

Masih dengan napas memburu, Ezra menaruh telapak tangannya di dahi. Mata Ezra sempurna tertutupi rambutnya yang sudah panjang. Diam-diam, Ezra mengulas senyuman, berusaha tak diketahui oleh siapa pun. Akan tetapi, Sean bisa melihatnya, lantas ikut merekahkan cengiran lebar. Tentu saja. Anak itu pasti bisa melaluinya. Sean meyakini itu, sedari dulu.

"Well ... kita teruskan." Suara Alan memecah lengang. Seketika, kelima orang lainnya kembali memasang tampang serius. Ezra, Sean, dan Reverie mengangguk singkat.

Akan tetapi, Akemi malah meremas ujung kausnya sendiri. Akemi menggigit bibir kuat-kuat. Dengan muka pucat pasi, gadis itu menatap Ezra lamat-lamat. "T-tidak .... Aku, aku tidak ingin melanjutkannya."

Mendengar itu, sontak saja Alan langsung melayangkan tatapan tajam, tak terima. "Tunggu, apa-apaan maksudmu? Kita sudah sejauh ini. Satu-satunya pilihan hanyalah menyelesaikan permainan keparat ini hingga akhir. Tidak ada putar balik."

Kendatipun masih lemas dan belum sepenuhnya pulih, Reverie lekas angkat suara, menggenggam pergelangan tangan Akemi. "Tak apa, kita melaluinya bersama-sama ... bukankah begitu? M-maafkan perbuatanku yang tadi. Aku ... sama sekali tak bermaksud mencelakaimu. Aku ... dikendalikan sesuatu, saat itu."

Akemi menggeleng tegas. "Tidak. Kau tak bersalah sama sekali, Reverie. A-aku hanya ... merasa ...."

Ezra menatap Akemi lamat-lamat. Merasa diperhatikan, akhirnya Akemi beradu tatap dengan Ezra. Seperti tersengat. Akemi pun hanya bisa terdiam, sambil menunduk dalam.

Mereka bergenggaman tangan di hadapan gua. Portal setinggi pria dewasa kembali menelan keenamnya bulat-bulat. Mereka terhempas. Kali ini, di sekitar mereka persis sebagaimana bagian dalam gua, dengan kerikil yang menghampar di tanah. Baru saja bangkit berdiri, Alan langsung mengambil satu langkah ke sisi kirinya. Berkat itu, Alan selamat dari sebuah pisau yang melesat cepat ke arahnya. Hampir. Terlambat sedetik saja ... Alan yakin lehernya akan tertikam.

Was-was. Dengan mode defensif penuh, mereka berusaha mengamati musuhnya kali ini. Dari balik bayangan kegelapan gua, seorang gadis muncul. Kedua matanya memancarkan dua mata berbeda, cokelat keabu-abuan dan merah darah yang menyala. Gadis heterokrom. Hanya saja, yang paling mengejutkan adalah kenyataan bahwa gadis yang baru saja melayangkan pisau pada Alan itu Akemi. Tak mampu mengolah informasi yang diterima penglihatan, mereka beralih pada Akemi yang jelas-jelas sedang berada di samping Ezra, menunduk lemah.

Well, ada dua Akemi di sini.

❌   ❌   ❌

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro