[24] The Worst Curse

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Papa, Papa! Aku mau lihat ikan terbang!"

Yoshida, pria tiga puluhan itu tergelak keras. Imajinasi putri kecilnya ini memang sangatlah liar. Diamatinya kedua kaki mungil Akemi yang sedang asyik menendang-nendang di permukaan air danau. Tak lama, Yoshida kembali memandangi setiap garis wajah Akemi. Senyumannya terkembang lebar. "Mana ada. Makhluk seperti itu hanya bisa kau temukan di dalam dongeng anak-anak yang selalu Mama bacakan untukmu sebelum tidur, Akemi."

Gadis yang belum genap sepuluh tahun itu tak berkedip sama sekali. Sedari tadi, tatapan kedua mata heterokrom Akemi terkunci pada langit petang yang membentang di atas garis cakrawala. "Tapi, itu ada kuda terbang. Pakai sayap. Kalau ikan diberi sayap, bukannya bisa terbang juga?"

"Apa?" Kedua alis Yoshida mengerut dalam. Pria itu akan menganggap pernyataan Akemi tak lebih dari fantasi anak kecil pada umumnya, jika saja Yoshida tidak melihatnya secara langsung. Benar saja. Belasan kuda putih dengan sayap mengepak itu beriringan menghiasi langit, terbang rendah.

Sekumpulan kuda terbang itu mendarat tepat di hadapan mereka. Sontak saja, dengan naluri anak-anak yang selalu ingin tahu, Akemi bersorak riang, lantas segera beranjak bangkit dari duduknya di tepi danau. Merasa was-was, Yoshida menggenggam pergelangan tangan Akemi, memastikannya tetap berada di sisi Yoshida, spontanitas. Siapa sangka, kuda terbang itu ditumpangi sekelompok orang yang tampak seperti pasukan perang. Ada apa? Yoshida tak pernah melihat hal seperti ini, sebelumnya. Apakah mereka berasal dari luar kawasan Asia?

Salah satu orang dari pasukan kuda terbang dengan baju zirah perak di garda terdepan itu turun. Sepatu besinya berdentang begitu menyapa permukaan bumi. Dibukanya helm, menampakkan garis wajah tegas dengan tatapan setajam elang. Pria yang tampak puluhan tahun lebih tua dari Yoshida itu membungkukkan badan untuk menyesuaikan dengan tinggi badan Akemi.

Yoshida mengeratkan genggamannya, terutama ketika pria asing itu menatap kedua manik Akemi dengan senyuman bengis yang terpampang.

Pria itu bersuara. "Ah, sampai detik ini pun, aku masih tak menyangka bahwa darah yang hanya terdapat di alam semesta setiap seribu tahun sekali itu, justru hadir sebagai makhluk rendahan bumi." Ia terkekeh singkat. "Ciao. Saya, Brozza, Komandan Pasukan Sostanza-3, dari Kerajaan Sprezzaforte. Spesimen-3, kau berhak mendiami istana kami, hingga akhir hayat."

Akemi memasang binar antusias. "Aku? Spesimen-3? Tinggal di istana?" Napasnya tercekat. Kegembiraan terlihat membuncah dari senyuman lebarnya yang merekah. "Jadi seorang putri? Seperti Putri Sofia yang selalu tayang di saluran televisi kesukaanku?"

"Oh, yeah! Tentu saja. Bukankah itu terdengar amat menyenangkan?" Brozza lagi-lagi menyeringai. Sangat lebar. Akan tetapi, anak kecil seperti Akemi tidak bisa mengidentifikasikannya sebagai suatu senyuman iblis. Hanya Yoshida yang mampu menerjemahkannya lewat tatapan.

"Ah, saya merasa sangat tersanjung. Seperti diistimewakan oleh suatu kerajaan agung, meskipun saya belum pernah mendengarnya. Tapi, dalam rangka apa, sehingga kami harus memenuhi undangan tersebut?"

Brozza kembali menegakkan badan, beralih pada Yoshida. "Ah, putri Anda akan menjadi tamu undangan yang sangat spesial."

Akemi menarik-narik tangan Yoshida. "Asyik! Naik kuda terbang itu, kan, Paman? Ayo, Pa! Kita ajak Mama juga!"

"Tentu, silakan, Putri Grande Sostanza .... Ah, ya. Itu nama barumu, Tuan Putri. Bukan lagi Miura Akemi."

Sebelum situasi bertambah runyam dan tak terkendali—mendapati Brozza yang sudah bersiap melangkah semakin dekat dengan putrinya—Yoshida pun menahan bahu Akemi dengan merangkulnya erat "Oh, terima kasih, Pak. Akan tetapi, ini rumah kami. Dan kemewahan istana tidak akan bisa menggantikannya. Mohon maaf. Kalau begitu, kami duluan, Pak."

Akemi merengut, menatap papanya dengan sorot tak mengerti. Mendapati hal itu, Brozza kembali mengajak Akemi berbincang. "Putri, Anda sangat ingin menaiki kuda terbang ini dan tinggal di istana megah yang selalu menyediakan apa yang Putri inginkan, bukan? Tapi, ayahmu tidak menghendakinya. Bukankah ayahmu nakal? Ayah macam apa yang tidak menuruti keinginan anaknya? Dan, bukankah ayahmu pernah mengatakan, bahwa anak nakal harus dihukum? Karena kali ini, ayahmu yang nakal, biar Paman yang menghukumnya."

Tanpa aba-aba, dalam waktu yang teramat singkat, Brozza menarik pedang dari pinggangnya. Tahu-tahu, kepala Yoshida sudah menggelinding dan bermuara ke dasar danau. Akemi mematung. Rengkuhan Yoshida di pundaknya terasa melemah, malah mengalirkan cairan merah hingga membasahi baju terusan Akemi yang berwarna kuning cerah.

Dari kejauhan, terdengarlah panggilan seseorang. "Papa! Akemi! Segeralah kembali. Makan malam sudah siap."

Itu Miura, mamanya Akemi, yang kini menyusul ke tepi danau, dan malah mendapati sepasukan orang berbaju zirah dengan menunggangi kuda bersayap sedang mengelilingi Akemi, saat ini. Matanya semakin melebar ketika mendapati sosok suaminya terjatuh ke tanah tanpa kepala, juga sebilah pedang yang masih mengucurkan darah segar itu.

Brozza menoleh, tak lagi tersenyum. "Kami akan membawa putri Anda ke kerajaan. Anda punya pilihan untuk ikut atau tidak. Tetapi, Anda tahu apa yang akan Anda hadapi jika memilih untuk berontak."

❌   ❌   ❌

Lenyap sudah khayalan indah Akemi mengenai kerajaan di dongeng-dongeng. Begitu tiba di istana, Akemi menjalani ritual dengan seruan-seruan berbahasa aneh yang tidak dimengertinya sama sekali. Pergelangan tangannya disayat menyilang, lalu cairan merah itu disiramkan pada bara api di hadapannya. Seketika, rasa sakit menjalar, mulai dari mata kiri, hingga ke setiap bagian tubuhnya.

Darah Akemi dioleskan pada kedua pipinya. Akemi mengejang. Seluruh anggota badannya berontak untuk melampiaskan kesakitan yang seperti dikuliti ini. Barulah Akemi sadar alasan prajurit kerajaan memasangkan belenggu di pergelangan tangan dan kakinya. Mereka tahu Akemi akan bereaksi seperti ini ... tetapi kenapa masih saja mereka teruskan? Apa tujuannya?

Malam ini, darah Akemi dikuras banyak. Setiap tetesnya seolah merekam jeritan pedih Akemi.

Di sisi lapangan, Miura menahan diri untuk tidak menghampiri dan menariknya ke dalam dekapan agar tidak usah melewati segala ini. Miura ingin melarikan diri bersama putrinya, tetapi mengingat apa yang dilakukan kerajaan pada suaminya sudahlah cukup bagi Miura menyadari. Berontak di saat seperti ini hanya akan membuatnya mati konyol dan sama saja seperti meninggalkan Akemi sendirian di neraka berkedok kerajaan ini. Miura perlu berpura-pura patuh lebih dulu, lalu mencari celah untuk menggulingkan raja di saat kekuatannya terisi penuh. Miura perlu mempelajari banyak hal.

Setelah bertahun-tahun Miura menguping sana-sini, barulah ia tahu bahwa biaya upeti kerajaan yang harus diserahkan rakyatnya malah semakin irasional, padahal tidak ada pembangunan berarti sama sekali. Di saat kepercayaan rakyat terhadap raja mulai goyah, Miura pun menerobos masuk, menjadi api yang menyulut kemarahan rakyat sebagai bahan bakarnya. Terutama ketika Miura memperlihatkan aksi biadab raja pada Akemi dan prajuritnya, yang berhasil Miura rekam tempo hari.

Empat tahun berlalu sejak kedatangan Akemi ke Kerajaan Sprezzaforte. Dan Miura sudah bersiap dengan laskar revolusinya yang bertujuan menggulingkan takhta raja. Di saat kerajaan kelimpungan mengurusi rakyat yang menggila, Miura akan membawa Akemi melarikan diri.

Di tengah malam kelam, tim revolusi Miura bergerak membakar setiap penjuru kerajaan, tak lupa dengan mengacungkan poster-poster bertulisan: Rakyat berkoalisi untuk revolusi! Turun dari takhtamu untuk kerajaan yang lebih baik, BaBi [Baginda Biadab]!

Demi memanfaatkan momentum sebaik mungkin, Miura pun menuju kamar Akemi yang sudah seperti sel penjara berfasilitas tinggi baginya. Kondisi Akemi tambah parah seiring waktu yang berlalu. Tatapan matanya kosong. Memori masa kecilnya yang indah kini tumpang tindih dengan ingatan rasa sakit yang mendominasi. Akemi hampir lupa dari mana ia berasal.

Miura memapah putrinya ke bagian belakang kerajaan, di mana Miura memang sudah bekerja sama dengan seekor harimau bertanduk putih yang juga sudah muak dengan anggota kerajaan yang selalu menyiksa keluarga harimau itu tanpa ampun. Pelarian mereka hampir berhasil. Namun, di tengah perjalanan, sebuah pasukan perang berbaju zirah menghentikan semuanya.

Kerajaan tahu semua perbuatan Miura. Tanpa ragu, Raja menuangkan beberapa tetes darah segar Akemi untuk dijilat bara api. "Atas tindakan yang amat menentang kerajaan, membusuklah di Gua Tanpa Ujung, Gua Senzaporta. Aperto il cancello dell'associazione!"

Bara api itu menyedot Miura, berbarengan dengan harimau bertanduk putih yang sebelumnya ditumpangi Miura. Akemi menjerit sampai suaranya habis.

Raja mendekat, lalu mengangkat dagu Akemi dengan jari telunjuknya. "Berterima kasihlah, karena kau terlahir dengan darah seorang Grande Sostanza. Itu suatu keagungan yang tiada bandingannya."

Akemi meludahkan darah. Keagungan? Mana ada. Bagi Akemi, ini semua lebih buruk dari kutukan.

❌   ❌   ❌

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro