Bab 7: Berdua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Matahari bersinar dengan kekuatan penuh hingga Netta perlu sedikit menyipitkan mata untuk menahan gempuran cahayanya.

"Mau makan di sana?" Aru menunjuk sebuah warung yang terletak tak jauh dari tempat mereka berdiri. Belum sempat Netta menjawab, suara rendah penuh percaya diri terdengar menyapa.

"Bonjour! Hello, Darl!"

Entah mengapa, Netta langsung mundur satu langkah. Wajah tampan Ale memang mampu membuat dada Netta berdebar kencang. Mungkin ini alasan Ale digilai oleh banyak cewek yang sampai saat ini pun masih berkerumun tak jauh dari mereka.

Ale tersenyum lebar, memamerkan gigi putihnya lagi. Dia mendekati Netta hingga mereka hanya terpaut sekitar satu langkah saja. Cowok itu meraih jemari Netta dan mengecup punggung tangannya lembut.

Wajah Netta memanas. Ya, ampun, jika diam saja, Ale benar-benar mampu membuat siapa pun mabuk kepayang.

Cowok itu melepas tangan Netta sebelum jemarinya menyugar rambut yang ditegakkan sedikit ke belakang. "Enggak usah kaget gitu kalau disapa cowok paling ganteng di Pinus. Soalnya, lo juga cewek paling bersinar di sini. Tu es belle! Lo cantik banget!" Ale menaikkan alis kirinya sedikit. "Udah makan? Yuk, makan sama gue. Gue traktir." Kedipan mata menandakan Ale benar-benar mengabaikan keberadaan Aru di samping Netta.

"Dia bareng aku." Aru tampak kehilangan kesabaran dan menyelipkan tubuh di antara keduanya.

"Well, well. Siapa ini? Cowok yang katanya genius, tapi enggak ngerti siapa lawannya." Ale menyipitkan mata. Tubuh tinggi besarnya cukup mampu mengintimidasi banyak cowok, tetapi tidak dengan Aru.

"Kami ada urusan, kalau tidak ada hal lain, lebih baik kamu pergi," desis Aru dengan tatapan tak kalah mengerikan.

"Netta, what do you say? Lo mau ikut gue, apa Aru? Gue bisa beliin makanan apa pun yang termahal di Pinus. Atau, gue bisa bawa lo ke mal terdekat untuk makan di tempat yang lebih fancy!" Senyum memesona itu kembali muncul.

Harus Netta akui, Ale sangat-sangat tampan. Level kegantengannya jauh di atas Ray, bahkan Aru sekalipun. Seandainya saja dia tidak senarsis itu, mungkin Netta akan sangat senang menerima ajakannya. Namun, dia masih tidak mau membuka diri selain kepada Aru dan Ray. Bagaimana jika Ale mengetahui dia buta warna? Lalu kabar itu menyebar di kalangan penggemar beratnya? Berbahaya! Dia harus menghindar.

"Aku mau nyari kosan sama Aru. Maaf, aku bakal makan siang sama dia." Netta berusaha tersenyum ramah meski masih harus berdiri di belakang Aru sedikit.

Sejenak, Ale kehilangan senyumnya. Namun, tak lama senyum pongah itu kembali hadir. "Playing hard to get, hmm?"

Netta terdiam. Apa cowok ini benar-benar tertarik kepadanya? Atas dasar apa? Sedikitnya, ada rasa bahagia menyelusup karena ada orang setampan itu yang memberinya perhatian khusus.

Ale mengeluarkan kartu nama berwarna keemasan yang mencolok dan menyodorkannya ke arah Netta. "Itu nomor pribadi gue. Kalau lo mau kita keluar makan, atau jalan, let me know. Gue selalu siap bawa lo ke mana pun."

Agak ragu, Netta menerima kartu itu dan memasukkannya ke tas. "Makasih."

"Gue tunggu, ya!" Lagi-lagi kedipan menggoda diberikan Ale sebelum berbalik dan meninggalkan Netta dan Aru dalam kegamangan.

"Ya Tuhan!" Netta berusaha untuk tidak bergidik. Dia tidak boleh menghina orang lain terang-terangan lagi. Namun, sifat Ale memang cukup di luar nalar level kewarasan yang biasa cewek itu rasakan.

Aru menghela napas sebelum menggenggam jemari Netta dan berujar, "Lupain aja dia. Ayo kita makan."

Kali ini, Netta mengangguk antusias.

Warung Jawa Timuran di dekat kampus Pinus cukup ramai. Suara mahasiswa yang bersahutan menambah kemeriahan warung makan kecil itu. Aru mengajak Netta untuk duduk di meja yang kosong.

Setelah menunggu beberapa waktu, dua porsi tahu telur dengan nasi putih dan es jeruk sudah terhidang. Telur dadar dengan potongan tahu yang disiram saus kacang khusus dan taburan taoge tersebut memang terlihat menggiurkan. Netta terdiam. Cowok berkacamata itu benar-benar memesankan menu yang sama. Netta memperhatikan Aru yang duduk di seberangnya.

"Beneran ini yang kamu makan?" Netta sempat membayangkan Aru akan memakan sesuatu yang lebih kebarat-baratan seperti steik, spageti, atau paling sederhana ayam goreng tepung.

Aru mengangkat sendok dan garpunya sembari menjawab, "Ini kesukaanku."

"Ru ...."

Cowok itu mendongak kala melihat Netta masih belum menyentuh makanannya. "Kamu enggak tahu cara makannya?"

Netta menggeleng. "Aku cuma penasaran. Tadi kamu bilang mau pesenin aku menu yang sama, 'kan? Jadi itu beneran, bukan bercanda?"

Kali ini, ada senyum sinis kecil di sudut bibir cowok itu. "Aku enggak suka bercanda."

"Baiklah ...." Netta berusaha menahan tawa, menyisakan sebaris bibir tipis yang sedikit bergetar. Aru ternyata bukan berusaha melawak, tetapi benar-benar serius saat menawarkan makanan. Jangan-jangan selama ini dia tidak sadar bahwa ucapannya acap kali tajam?

Tiba-tiba, jemari Aru terulur dan meraih tangan Netta dengan lembut, mengambil alih sendok dan garpu di tangannya. Cowok itu dengan sigap membantu Netta memotong secuil tahu telur, menyendok bumbu, lalu meletakkannya ke atas nasi.

Mata Netta membulat, terlebih ketika Aru kemudian menyodorkan sendok yang telah terisi ke mulut cewek itu. Menyuapinya.

"Begitu cara makannya." Aru tersenyum tipis ketika Netta sudah mengatupkan bibir. "Tinggal dikunyah dan telan. Enak, kok."

Gadis itu hanya bisa menghitung jumlah bulir nasi di atas piring kala Aru meletakkan sendok kembali. Dia bahkan tak berani mengecek ke sekeliling untuk memastikan apakah ada orang lain yang melihat apa yang baru saja Aru lakukan.

Tenang, Aru enggak bermaksud apa-apa. Dia cuma mau ngajarin kamu makan, batin Netta bergemuruh. Namun, berulang kali pun dia berusaha meyakinkan diri, tatapan tajam cowok itu tetap membuat rasa makanan terasa jauh lebih manis daripada biasanya.

"Ma-makasih ...."

Aru hanya mengangguk, nyaris tanpa ekspresi. "Habis, kamu enggak makan dari tadi. Lebih baik langsung kuajari cara makannya biar kita bisa cepat selesai dan mencari kos-kosan. Aku harus ngasih leh pukul empat." Dia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul dua belas kurang sepuluh.

Suara seruputan halus terdengar kala Netta berusaha menyembunyikan kegugupannya.

Tak sampai lima belas menit, Netta sudah menyusul Aru menghabiskan semua makanan dan minuman yang terhidang. Belum sempat cewek itu merogoh kantong untuk mengambil uang, Aru sudah bangkit menuju kasir dan membayar pesanan keduanya sekaligus.

"Yuk, aku punya beberapa kos yang bisa kita lihat." Aru menggerakkan kepalanya sedikit.

Langkah ceria Netta segera menyusul Aru keluar warung.

***

Sudah hampir dua jam Aru dan Netta keluar masuk rumah kos satu ke rumah kos yang lain. Namun, Netta masih saja berkata bahwa dia masih harus berpikir dan meminta izin ayahnya. Aru hanya mengangguk maklum.

"Jadi, biayanya yang paling terjangkau di wilayah sini. Kami juga menyediakan Wi-Fi." Ibu pemilik kos tersenyum ramah.

"So, yang ini juga masih ragu?" Aru kembali menoleh ke arah Netta yang terlihat cukup letih.

Netta hanya mengangguk dengan wajah bersalah. Kepalanya sudah cukup pusing dengan cuaca yang entah kenapa terasa lebih panas daripada biasanya itu.

Bagaimana tidak, mereka berkeliling di sekitar kampus Pinus ketika bayangan nyaris lenyap di bawah tubuh. Mentari sama sekali tidak berbelas kasih kepada keduanya. Peluh membasahi kening dan Netta langsung menyeka dengan punggung tangan.

"Nih!" Tiba-tiba Aru mengangsurkan sebungkus tisu dari dalam tasnya.

Mata Netta mengerjap kaget. "Cowok bawa—"

"Tisu?" Aru kembali mencebik. "Saat melukis, aku enggak mau tanganku berkeringat dan mengotori kertas. Aku bawa saputangan juga. Tapi, enggak mungkin aku kasih saputanganku buat ngelap keringat kamu, 'kan?"

Cewek itu salah tingkah. Dia tak percaya melihat Aru masih mengangsurkan tisunya dengan santai. Sama sekali tak terlihat ada sesuatu yang istimewa dari gestur itu. Namun, bagi Netta, perhatian Aru terasa begitu menyejukkan.

"Aih ..., pacarnya perhatian banget." Si Ibu tersenyum penuh arti. "Anak zaman now memang harusnya saling menjaga dan malu-malu begitu. Lebih manis daripada yang enggak tahu malu."

Netta menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Sungguh, dia bahkan terlalu gugup untuk sekadar menjelaskan fakta bahwa Aru bukan kekasihnya.

"Kalau begitu, kami permisi dulu, Bu." Aru mengangguk sedikit.

Tiba-tiba, Netta merasa jemarinya digenggam erat dan sedikit ditarik lembut.

"Mau hujan."

Netta mendongak ke langit. Aru benar. Matahari yang sejak tadi menggigit tiba-tiba kedatangan gulungan awan gelap. Harusnya, dia curiga jika matahari sampai bersinar seterik itu. Ya Tuhan! Padahal mobilnya parkir di dalam kampus yang cukup jauh dari tempat mereka berdiri sekarang.

"Kuantar ke parkiran. Aku harus mengajar sebentar lagi." Aru sedikit tergesa melangkah. Sayang, lalu lalang mobil tak mengizinkan mereka menyeberang dengan mudah.

Terlambat.

Hujan mulai turun tanpa permisi. Meski mereka berusaha berjalan sembari bersembunyi di sela-sela bangunan, tepi jalanan tanpa atap membuat air hujan menyapa mereka tanpa malu. Genangan air kecokelatan terus terbentuk seiring air yang tertumpah.

Saat itulah sebuah mobil yang melaju cukup kencang menerobos genangan air. Netta merasa tangannya ditarik dan gadis itu pun memekik kecil sembari memejam. Saat dia membuka mata, bisa dia lihat Aru mengerutkan alis tak suka ke arah mobil yang terus melaju tanpa peduli itu.

Jantung Netta tak lagi bisa didefinisikan grafiknya. Mungkin detaknya seperti sekumpulan roller coaster paling mengerikan di dunia, naik turun tak beraturan ketika sadar cowok itu telah melindunginya dari siraman air kotor. Rahang Aru yang mengeras kala menahan kesal entah kenapa justru tampak memesona.

"Ma-makasih," bisik Netta.

"Kena lumpur?"

Netta menggeleng. "Kamu?"

"Tasku waterproof."

"Baju kamu maksud aku. Basah. Sana pulang! Kos kamu ke sebelah sana, 'kan?" Netta menunjuk gang yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Tapi ...."

Netta menggeleng. "Sana!" Sedikit mendorong, dia berusaha menjauhkan Aru. Cewek itu pun berlari menjauh, berusaha menyembunyikan betapa kacau wajahnya karena senyum yang tak kunjung bisa dikendalikan.

Saat itu, Netta sama sekali tidak menyadari bahwa sepasang mata sedari tadi mengamati keduanya dari kejauhan. Buku-buku jari yang menggenggam payung itu memutih.

***

Hujan semakin deras. Terlalu jauh untuk menuju tempat parkir, maka Netta memilih berteduh dulu di salah satu emperan kampus. Dia terdiam, memandangi langit yang justru semakin riuh dengan guntur dan kilat bercahaya.

"Mau pinjem payung?" Suara ringan dan ceria menyapa. Netta terlonjak dan menoleh.

"Ray? Kok kamu bisa di sini?" Cewek itu melihat payung hitam yang disodorkan kepadanya, sementara payung berwarna biru tua basah telah terkatup di tangan kiri Ray.

"Ngapain bawa dua payung?" Netta bingung.

Ray menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Yah ..., gimana, ya ...? Anggap karena gue lihat langit lagi enggak bersahabat."

Suara kekehan terdengar. "Ya ampun, tapi masa kamu keluar harus bawa dua payung?"

"Anggap aja gue tahu kalau Aru enggak bawa payung. Jadi, gue tunggu sebentar di depan kampus Pinus. Kali aja kalian kehujanan."

"Eh?"

Ray membuang wajah. Tangan kanannya kembali terulur meski matanya terarah ke rintik hujan, alih-alih menatap Netta. "Jadi, lo mau pakai atau gue balik aja?"

"Ray ...." Netta memanggil dengan suara yang sangat halus dan lembut.

Ray menoleh.

"Makasih banyak."

Saat itu, semua hujan terasa tersapu pergi pelangi yang tiba-tiba hadir menghiasi hati. Ray hanya bisa mengangguk dan tersenyum puas.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro