Bab 8: Ancaman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ray masih setengah melambaikan tangan ke arah mobil Netta yang meninggalkan parkiran Pinus ketika seseorang bersuara bariton menyapanya.

"Hello! Lo kayaknya akrab banget sama Netta."

"Well, well." Ray menyeringai dingin. "Makhluk planet mana yang nyapa gue di tengah hujan kayak gini? Apa enggak kurang romantis ada dua cowok ganteng berpayung sedang ngobrol di tengah air yang ditumpahkan langit?" Ray sok puitis sekaligus sarkastis.

Ale berdecak. Dia mengamati Ray yang menurutnya jauh lebih jelek jika dibandingkan dengannya. Akan tetapi, bukan itu tujuannya menyapa cowok kasar tersebut. "Gue mau nanya. Apa lo atau Aru pacarnya Netta?"

Senyum Ray menguap. Cowok itu sudah tahu ke mana arah pembicaraan mereka. Meski dia belum mengenal Ale lama, tetapi dia bisa menebak ada berapa cewek yang pernah bertekuk lutut dan mungkin dipermainkan cowok itu. Namun, Ray tak mungkin berbohong. "Jangan macam-macam sama Netta! Ada gue yang bakal ngelindungin dia dari orang macam lo!" Tatapannya berubah dingin dan mengancam.

Ale mengedikkan bahu tak acuh. "Ah, baguslah. Ternyata bukan." Cowok itu berbalik.

Belum dua langkah, Ray menarik lengannya. "Lo ngapain deketin Netta?!"

Satu entakan di lengan, Ray terdorong mundur. Tenaga Ale ternyata cukup kuat meski badannya terlihat biasa saja. Ray terlalu meremehkannya. Seharusnya, dia mencengkeram dengan lebih kuat.

"Karena lo bukan pacarnya, gue bebas deketin dia." Ale mencebik. "Yah, kalaupun lo pacarnya, gue tetep bakal mendekati Netta dan membuat cewek itu tergila-gila sama gue. Mana ada cewek waras yang nolak pesona gue, persis kayak yang lainnya." Cowok jangkung itu pun melenggang pergi.

"Berengsek!" Ray memaki di tengah deru hujan yang semakin menggila.

Ray ingin melesakkan tinju ke wajah menyebalkan itu, tetapi dia menahan diri sekuatnya. Tidak lucu jika dia sampai berkelahi dengan orang di area kampus dan menyebabkan dirinya mendapat teguran. Apa kata orangtuanya nanti?

Dengan gemuruh penuh kekesalan yang memenuhi dada, Ray menurunkan payungnya. Dingin air hujan langsung membasahi tubuh. Kini, pikirannya jauh lebih tenang dibanding tadi. Ray pun meninggalkan kampus dengan tubuh basah kuyup.

***

Malam tiba dengan cepat. Netta kembali menjerit memikirkan betapa kacau tugas nirmana 2D yang dibebankan kepadanya. Parahnya, dosen meminta mereka untuk tidak memakai warna-warna kontras dan harus menggunakan gradasi yang halus.

Suasana kamar yang diiringi suara deras hujan tetap tak membuat Netta merasa tenang. Hawa pendingin ruangan yang disetel pada suhu 23 derajat seharusnya membuat cewek itu nyaman. Sayang, semua tampak sia-sia.

Sketsa kasarnya sudah terbentuk. Sebuah transformasi ulat menjadi burung kolibri. Netta hanya mencari bentuk unik yang jarang dipilih orang karena umumnya ulat menjadi kupu-kupu.

Netta menarik napas. Memikirkan semua kemungkinan selalu membuat hati cewek itu cemas. "Ya, sudahlah," bisiknya. Percuma memikirkan yang belum pasti. Sekarang, tugasnya adalah mengerjakan sketsa sebaik mungkin untuk diasistensikan secepatnya.

Suara dering gawai mengejutkan Netta. Siapa yang meneleponnya pada saat seperti ini? Nomor tak dikenal. Ah, mungkin saja hanya penipu yang acak mencari korban, atau mungkin pencari mangsa pinjaman berbunga.

Baru saja Netta hendak melanjutkan pekerjaannya, dering itu kembali terdengar. Begitu pula ketika dia mengabaikan untuk yang keempat kalinya. Nomor yang sama. Netta mengembuskan napas. Mungkin orang itu serius ingin menghubunginya. Kenapa dia tidak mengirim pesan sebelum menelepon? Tidak semua orang nyaman mengangkat telepon dari nomor tak dikenal. Mungkin memang sebaiknya dia memakai aplikasi pendeteksi nomor telepon asing.

"Halo?"

"Bonjour, Darl! Akhirnya lo angkat juga. Gue pikir cewek itu nipu kasih nomor palsu ke gue."

Tanpa si penelepon memberi tahu Netta identitasnya, cewek itu sudah bisa menebak. "Siapa yang kasih nomor aku ke kamu?" Netta agak kaget ada orang lain di luar Aru dan Ray yang menyimpan nomornya. Dirinya bahkan lupa menyimpan nomor Ale dari kartu nama yang diterima.

"Udahlah, lo enggak usah cemburu. Dia sama sekali enggak penting, karena di hati gue cuma ada lo." Setelahnya, terdengar suara kecupan lembut.

Netta berdeham. Suara Ale di telepon terdengar sangat seksi. Rendah, sedikit serak, dan mendebarkan. Terbayang sosok cowok blasteran yang sangat tampan dengan senyum lembut yang memukau. Bahkan, dengan semua kenarsisannya, Ale tetap terkesan sangat memesona.

"Nelepon aku ada perlu apa?" Netta berusaha mengalihkan topik.

"Kalau gue bilang karena kangen, lo percaya?"

Netta terkekeh. "Enggak."

"Dibandingkan suara nyanyian Ariana Grande, suara tawa lo lebih merdu dan ngangenin, Nett."

Sial! Lagi-lagi Netta merasa wajahnya bersemu hanya karena kata-kata kerdus macam itu.

"Aku serius, nih." Netta berusaha tetap tenang. "Ada yang bisa kubantu?"

"Besok sarapan bareng, yuk! Setengah tujuh di Kafe Tralala. Fluffy pancake mereka enak banget."

Netta terdiam sejenak. "Untuk apa?"

"Nanti gue jelasin sekalian sarapan. Kan katanya lo mau bantu."

Netta mendengar suara penuh permohonan di sana.

"Dari semua cewek yang pernah gue temui, cuma lo yang bisa bantuin gue. Pretty please ..., you are my only hope."

Kali ini, Netta mengembuskan napas panjang. "Okay, then."

"Merci! Enggak salah gue milih lo. Lo emang cewek paling menakjubkan yang pernah Tuhan ciptakan ke dunia."

Lagi-lagi Netta terkekeh. "Lebai, ah."

Suara decakan beberapa kali terdengar. "No, Sweetie, I'm serious. Gue bakal mimpiin lo malam ini. Tentang breakfast bersama kita yang pertama."

Belum sempat Netta membantah, suara kecupan terdengar lagi dan setelahnya sambungan diputus. Cewek itu melempar ponselnya ke atas kasur n.

"Ayo Netta! Bukan saatnya terpesona sama cowok blasteran ganteng! Aru masih lebih keren!" ujarnya, berusaha meyakinkan diri. Namun, sudut hatinya yang lain mengatakan sebaliknya.

***

Netta mematut dirinya di depan cermin. Rambut ikalnya dikucir kuda dengan hiasan jepit rambut biru muda. Jika biasanya Netta mengenakan celana katun, kali ini dia memilih terusan selutut biru berbahan halus. Meski polos, tetapi gaun itu terlihat rapi dan cantik.

Jika pada hari lain seusai mengoleskan tabir surya Netta akan langsung pergi ke kampus, entah mengapa hari ini Netta ingin menambahkan selapis BB cream dan bedak tabur. Tak lupa lipstik berwarna peach menghias bibir tipisnya. Hampir Netta memulas eyeliner, tetapi cewek itu menahan diri untuk tidak terlalu tampil menonjol.

Apa yang dipikirkan Ale jika melihatnya mendadak berdandan padahal sebelumnya tidak pernah? Netta tidak ingin membuat cowok itu salah paham. Namun, harus diakui bahwa saat ini Netta sangat ingin tampil cantik di hadapan Ale.

Setelah merasa puas dengan penampilannya, Netta pun berangkat ke tempat mereka janjian.

***

"Bonjour, Chéri!" Ale menyapa Netta yang baru saja membuka pintu kafe. Cowok itu langsung menghampiri, mengecup tangan Netta, dan menuntunnya ke meja mereka. Bahkan, Ale tak lupa menarikkan kursi berukir dengan bantalan beledu agar Netta bisa langsung duduk.

"Udah lama nunggu?" Netta bertanya ketika keduanya sudah duduk berhadapan.

Kafe yang dipilih Ale adalah satu dari beberapa kafe mahal yang terletak di sekitar kampus Pinus. Dekorasinya yang bertema shabby chic terlihat bersih dan cantik.

"Non. Gue baru aja mesan fluffy pancake khas kafe ini." Senyum maut Ale kembali terlihat.

Netta berusaha balas tersenyum untuk menutupi kegugupannya. "Makasih banyak. Jadi, ada perlu apa?"

Ale menggeleng dengan senyum lembut yang membius. "Gue mau kita makan dulu. Enggak nikmat rasanya membicarakan masalah sambil makan. Lebih baik isi perut dulu, baru kita ngobrol. Lagian, makan bareng lo bikin masalah gue terasa ilang."

Netta hanya bisa mengembuskan napas pasrah. Apalagi aroma panekuk yang datang membuat cacing di perut Netta berdendang. Bentuknya yang lembut dan tinggi sangat menakjubkan. Ketika Netta mencoba menyentuhnya, panekuk itu bergoyang lembut seperti agar-agar. Sangat lucu.

"Cantik." Ale memotong panekuknya dengan gerakan elegan.

Netta setuju dan mengatakan bahwa rasanya juga enak. Suasana kafe yang apik dan masih sepi pengunjung menambah kenyamanan.

Namun, Ale menggeleng. "Bukan pancake-nya. Tapi, lo yang cantik banget hari ini. Lo cocok pakai make-up kayak gini."

Kali ini, Netta tak bisa menyembunyikan semburat merah yang menghias wajahnya. Ale sadar bahwa dia menyempatkan diri untuk berdandan! Ya Tuhan, betapa malunya! Namun, akan lebih memalukan jika dia harus berduaan dengan Ale dalam kondisi kusam, kucel, dan mengenaskan. Bisa-bisa nanti disangka pengemis di hadapan pangeran. Duh, apa, sih, yang Netta pikirkan?

Akhirnya, cewek itu berusaha memfokuskan diri pada sarapannya. Netta tak boleh berpikiran terlalu jauh. Jujur, cewek itu senang ada yang memperhatikannya sedalam ini karena karyanya. Netta merasa sangat dihargai. Kepercayaan dirinya sedikit membaik mengetahui ada orang lain yang juga sangat menyukai tugas-tugasnya.

Tak lama, sarapan dan minuman mereka telah tandas. Ale mengelap mulutnya dengan tisu dari sudut ke sudut. Dia terlihat seperti bangsawan kelas atas yang sangat sopan. Kadang, Netta berpikir kenapa cowok itu bisa berbahasa gaul dengan fasih? Apa karena ingin terlihat kekinian? Ah, sudahlah. Itu sama sekali bukan urusannya.

"Sejujurnya, gue pengin konsultasi sama lo." Ucapan Ale menyentak Netta dari lamunannya.

"Konsultasi apa?"

Sejenak, Ale terlihat ragu. Netta pun membujuk agar cowok itu berterus terang kepadanya.

Ale masih tampak tidak yakin. "Sejujurnya, gue enggak pengin ngerepotin lo sama sekali. Tapi, gue enggak kepikiran harus gimana lagi." Ada nada sedih tertahan di sana.

"Santai aja, kita kan teman."

Ale tampak terluka. "Teman? Jadi, gue enggak bisa ngarep lebih?"

Netta hanya membalasnya dengan senyum canggung.

"Ah, enggak apa-apa. Love needs time," lanjut cowok itu santai. Kembali Ale berdeham dan mengangkat tasnya ke pangkuan. "Gue mau minta penilaian lo soal tugas nirmana gue."

Netta terperangah. Bagaimana mungkin cowok seganteng Ale membutuhkan penilaiannya? Namun, Netta segera meralat pikirannya sendiri. Ganteng tidak harus sejajar dengan kemampuan di kampus, meski ada Aru yang termasuk kombinasi ganteng dan genius.

"Boleh aja. Mana gambarnya?"

Baru saja Ale hendak menarik kertasnya, gerakannya terhenti. "Tapi, lo harus janji enggak bakal ngetawain gue!"

"Kenapa aku harus ngetawain karya yang dibuat dengan susah payah?" Cewek itu mengerutkan kening heran.

"Itu yang gue suka dari lo." Senyum Ale melebar ketika meletakkan beberapa lembar kertas dalam keadaan tertelungkup di meja yang baru saja dibersihkan oleh pramusaji. "Gue bikin beberapa versi. Gue enggak yakin sama sekali padahal udah berusaha sebagus mungkin."

Netta mengerjapkan mata mendengar penjelasan Ale. Bagaimana bisa cowok itu sanggup membuat beberapa versi sementara dirinya untuk membuat satu versi saja sudah makan waktu begitu banyak? Dengan rasa penasaran yang menumpuk, Netta membalik tumpukan kertas itu. Dia terbeliak.

Ya, Tuhan! Dia enggak pakai penggaris apa? Ini bentuk apaan? Melingker-melingker enggak jelas? Transformasi apaan? Sketsanya pun terlihat asal-asalan. Bahkan, tidak terlihat ada depth di sana. Apa dia sungguh-sungguh membuat tugasnya dengan serius? Kali ini, batin Netta mengoceh keras.

"Gue bikinnya bergadang tiga hari tiga malam untuk lima desain itu. Tapi, enggak ada yang sreg."

Sejenak, Netta menatap Ale lekat-lekat. Cowok itu terlihat sangat angkuh. Namun, Netta tak terlalu pandai membaca pikiran orang semacam Ale. Sekali lagi, Netta mengamati gambar lain yang ada di bawahnya.

Gila! Yang ini tambah parah. Ini fix enggak pakai penggaris. Dia mau bikin apa, sih? Kecebong mau jadi ulet bulu? Netta mengerutkan kening dalam-dalam.

"Itu gue mau bikin ular jadi naga," Ale menjelaskan ketika menyadari Netta tengah mematung.

APAAA?! DARI SISI MANA ITU GAMBAR ULAR?! ITU ADA SIRIPNYAAA! Netta menjerit dalam hati.

Teriakan-teriakan terus bersahutan ketika Netta selesai melihat lima gambar buatan Ale. Satu kata yang terlintas di benak Netta saat ini.

AMBURADUL!

"So, gue kudu perbaiki apa lagi? Itu udah kemampuan maksimal gue."

Netta menghela napas panjang. "Proses transformasi yang kamu bikin enggak jelas. Coba gambar objek yang lebih sederhana. Kayak ulat jadi kupu-kupu aja."

Ale menggeleng tegas. "No way! Mana bisa gue cuma gambar ulat jadi kupu-kupu? Itu terlalu umum dan enggak unik." Cowok itu menyisir rambutnya ke belakang dengan gusar. "Orangtua gue nentang banget gue masuk DKV. Susah payah akhirnya gue bisa di sini. Kalau sampai nilai semester satu ada yang C, gue bakal dipaksa keluar." Pandangan cowok itu meredup.

Netta tercenung. Ada nyeri di hati. Ale ternyata sangat ingin masuk DKV, sama sepertinya. Lalu, kini, cowok itu harus terancam dikeluarkan karena tidak bisa mendapatkan nilai bagus.

"Gue tahu, ini kelewatan, tapi bisa enggak kalau lo benerin gambar gue?" Tiba-tiba Ale menggenggam tangan Netta dan meremasnya penuh harap.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro