14) What's Wrong?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

_______________

"Kau yang menyuruhku menunggu, tapi kau juga yang meninggalkanku. Semudah itukah kau berpaling?"

_______________




🎧🎧🎧




"Ken? It-itu Dhino, kan?"

Suara Keva mencelos bersamaan dengan napasnya yang tertahan seketika. Cowok dengan rambut hitam itu, temannya yang terkadang otaknya miring itu—ya, Dhino. Ternyata dialah orang yang baru saja jatuh tersungkur membentur aspal. Cowok itu lalu berupaya keras untuk bangkit, tampak bersiap melancarkan serangan pada tiga orang berjaket hitam yang kini tengah berdiri angkuh.

Awalnya, Keva berusaha untuk tidak panik. Namun, spontanitas memang tidak dapat dicegah dengan mudah. Dia langsung berteriak begitu matanya lagi-lagi menangkap Dhino yang dihajar habis-habisan.

Pukulan itu, tendangan itu. Sebenarnya apa yang terjadi?

"KEN, TOLONGIN DHINO! TURUN KEN, TURUN!"

Ken yang baru saja merutuk dalam hati langsung berdecak. Cowok bermata biru itu sudah menduga bahwa keputusannya mengambil jalan ini adalah kesalahan. Namun, di sisi lain, dia juga merasa kalau Tuhan memang sengaja mengirimnya ke tempat ini untuk menolong Dhino, temannya sendiri.

Setelah turun dari motor, Ken menggenggam tangan Keva yang sempat menepuk pundaknya beberapa kali. Dia berusaha untuk tenang karena tidak ingin membuat Keva takut.

"Iya, gue ke sana sekarang." Dengan gerakan cepat, Ken pun melepaskan tangan Keva dan helmnya. Meski dalam keadaan genting seperti ini, cowok itu masih sempat menata rambutnya sambil tersenyum ke arah kaca spion.

Dia lalu menoleh ke arah Keva, menyiratkan peringatan tak terbantah. "Tunggu di sini, jangan ke mana-mana!"

Sepeninggal Ken, Keva tiba-tiba merasa udara di malam ini lebih dingin dari biasanya. Entah karena angin yang memang sejuk, atau mungkin rasa takut yang datang menghantui. Yang jelas, cewek itu sedang tidak baik-baik saja sekarang. Dalam suasana hati yang berkecamuk, dia pun berpikir keras untuk ikut membantu mereka—teman-temannya yang sedang dalam bahaya.

Bermeter-meter jarak dari tempat cewek itu berada, tampak dengan sangat jelas ada tiga orang yang kini mulai menyiksa cowok yang sedari tadi meringis kesakitan. Meski begitu, Dhino tidak pernah diam dan mengalah. Cowok berkulit seputih pualam itu terus melawan, walaupun dia tahu lawannya lebih kuat.

"Jangan mentang-mentang lo cowok, lo bisa nyakitin cewek sesuka lo!" Getar suara Dhino terdengar lebih keras, tetapi usaha itu sama sekali tidak mampu membuat cowok yang ada di depannya sadar.

"Emangnya lo siapanya dia? Pacar? Bukan, kan?" Cowok berambut hitam pekat yang merupakan leader dari tiga cowok itu berseru lantang. Menunjuk seorang cewek berambut hitam panjang yang menangis di belakang mobil.

Tepat saat cowok berjaket hitam itu hendak melayangkan pukulannya, seseorang dengan sigap mencegah.

"Cupu, berani main keroyokan aja lo."

Di sampingnya, terlihat Ken yang tengah menatap tajam. Cowok beriris biru itu lantas membanting tangan lawannya, berjalan sedikit, lalu menarik Dhino bangkit.

Ken mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Namun, tampaknya dia tidak menyadari eksistensi seseorang di belakang mobil.

"Wah. Lo udah nggak balapan lagi, Bro?" tanya Ken kagum sambil membalikkan badannya, menghadap sang lawan disusul senyum miring.

Biasanya, di malam seperti ini, dia sering mendapati banyak motor besar dan beberapa orang yang berjajar di sepanjang jalan. Bukan cuma cowok-cowok brandalan yang hadir, tetapi juga cewek-cewek dengan balutan dress minim. Ken ingat betul saat dia diajak ke tempat ini beberapa tahun yang lalu. Benar-benar bukan jalan yang baik.

"Bacot, sat!"

Dua kacung yang sedari tadi diam kini giliran mengambil tindakan. Ken langsung menghindar, tetapi juga membalas. Melawan dua orang sekaligus memang berhasil membuatnya kewalahan. Namun, Ken tidak seberapa memusingkan itu karena dia masih punya senjata ampuh andalannya.

"Udah, deh, jangan sok-sokan ngelawan. Tangan kek lidi gitu aja bangga." Ken menahan salah satu pukulan lawan, lalu terkekeh. Perkataan itu tentu saja langsung membuat musuh di depannya terdiam seketika.

Mereka lantas menarik tangannya sendiri secara paksa, mengurungkan niat untuk mengerahkan serangan membabi buta. Mereka juga sempat ber-cih, tidak habis pikir dengan Ken yang malah menunjukkan raut wajah seperti itu. Lagi pula, siapa yang tidak kesal diejek dengan kata-kata 'tangan lidi'? Harga diri mereka sangat dipertaruhkan di sini.

"Dan gue tadi udah bilang, kan? Jangan main keroyokan. Cemen lo, Yon!" bentak Ken tandas. Ya, akhirnya dia menyebut nama itu. Nama yang sangat dia hapal di luar kepala.

Leon. Cowok itu adalah salah satu musuhnya sejak SMP dulu, dan sampai sekarang kelakuannya masih tetap sama. Tak ada kemajuan, tak ada perbaikan. Balap liar, baku hantam, dan menyakiti perempuan. Apa lagi yang bisa membuatnya tidak terlihat rusak? Segala hal dalam dirinya memang sering membuat orang lain menderita.

"Bacot lo! Jangan ikut campur!" Leon meninju tulang pipi Ken dalam sekali gerakan, lalu dibalasnya langsung dengan tendangan setelah berhasil menangkis serangan kedua. Sialnya, Ken gagal. Alih-alih menendang untuk melumpuhkan kaki lawan, yang dia dapat justru lain.

"Ini akibatnya lo berani sama gue." Leon menggertak dingin sembari tetap berusaha memukul Ken.

Awalnya, Ken memang bisa menangkis dan menghindar. Namun, tiga lawan satu memang akan menjadi pertarungan yang sulit baginya. Tinjuan kasar pun kembali dia dapat, membuat sudut bibirnya berdarah. Tubuhnya langsung terdorong ke belakang secara paksa. Bertepatan dengan itu pula, retinanya tidak sengaja menangkap bayangan seseorang.

Seseorang yang membuat matanya terbelalak seketika.

Rere?

Ketika Ken masih membeku, Dhino tidak lagi diam. Cowok itu lantas mencegah tangan Leon yang hendak melukai Ken, tidak mempedulikan badannya sendiri yang hampir remuk sedari tadi.

Beradu fisik lagi dan lagi tanpa mempedulikan keadaan sekitar. Suara debuman keras kembali terdengar, menyeruak bersama tangis Rere yang bersembunyi dalam lipatan tangan. Namun, siapa pun yang ada di tempat itu ternyata tidak sadar kalau sekarang ada seseorang yang berjalan cepat ke arahnya.

"Berengsek! Pergi atau gue telpon polisi sekarang?!"

Enam pasang mata sontak terpusat ke sumber suara. Di sana, ada cewek dengan wajah memerah menahan tangis tengah berdiri, menatap mereka tepat di manik mata.

"Gue udah siap telpon kalo lo nggak mau berhenti!" Keva berseru lantang sambil memperlihatkan layar ponselnya, menatap penuh siaga.

Jarak antara mereka dan dia memang masih terpaut lima meter. Namun, nyatanya, suaranya berhasil membuat siapa pun membisu. Napas Keva memburu, antara takut dan tidak tega melihat temannya yang sudah babak belur.

Leon menatap lamat Keva dengan tatapan tajam, sebelum akhirnya menggertak keras ketika sadar bahwa dia sudah terpojok.

"Cabut." Cowok itu melirik kedua temannya yang langsung dibalas dengan anggukan. Mereka pun lekas menaiki motor besar milik masing-masing, lantas bersiap untuk segera menjauh dari sana.

Dengan napas yang tersenggal-senggal, Keva menatap tajam tiga cowok itu hingga benar-benar pergi dari pandangannya. Dia baru mendengkus lega saat keadaan sudah aman dan damai. Namun, ketika cewek itu mendapati sesuatu yang menyesakkan, di saat itu pula dia kembali terpaku.

"Re, plis, jawab gue. Lo kenapa? Jangan pingsan di sini. Gue anter lo pulang, ya?"

Di depannya, tepat dua meter darinya, Keva melihat Ken yang tengah menahan tubuh Rere yang nyaris rubuh. Cowok itu berlagak seperti dia tidak ada di sana. Ken bahkan tidak melihat atau menanyakan keadaannya sama sekali.

"Dhin, gue pinjem mobil lo, ya? Gue nggak bisa bawa Rere pake motor." Ken memohon pada Dhino yang masih memegangi pelipis. Cowok itu hanya mengangguk—mengiakan saja karena memang tidak tahu harus berbuat apa. Dia lantas memberikan kunci mobilnya pada Ken, begitu pula sebaliknya.

"Hati-hati." Ken menepuk pundak Dhino. "Jaga Keva baik-baik."

Selepas mengatakan itu, Ken menggiring Rere menuju mobil Dhino dan pergi begitu saja—meninggalkan Keva yang masih membeku di tempat.

Ken? Lo kenapa?


🎧🎧🎧




Ga tau lagi sama Ken. Habis ninggalin Keva di motor, eh malah nganterin yang lain :)

Btw, Rere muncul, gaiz!

Dia pernah disinggung di beberapa chapter, lho. Hayo chapter berapaaa?

Semoga suka, ya. Nantikan part selanjutnya!

Thanksss!



Tertanda,
Ike.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro