2) About Her

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hanya beberapa orang saja yang menganggap hal kecil bisa membuat perbedaan. Termasuk mereka yang rela gila demi membuat orang lain tersenyum.

🎧🎧🎧

CAN TRY

Sudah hampir setengah jam, dia menunggu seseorang disana tanpa ada kabar sedikitpun. Peluh keringat membekas di pelipisnya sejak tadi, pertanda kekhawatirannya yang semakin meluap.

Dilihatnya seluruh keadaan di depan mata, namun ternyata tak ada satupun yang bisa menghiburnya untuk saat ini.

Dering ponsel tiba-tiba menyeru lantang di sepanjang lorong rumah sakit. Ia melihat, ada satu nama yang tertera jelas pada layar ponsel yang ia genggam.

Cowok itu mendengus, sebelum tangannya mengangkat benda pipih itu, lalu meletakkannya di dekat telinga.

"Halo?"

"Keano? Gimana kabarnya Keva?" Salah seorang cewek bertanya lembut, namun begitu, ada sedikit kecemasan di dalam getar suaranya.

Ken menghembuskan napas kasar. Dia memejamkan matanya sesaat, sebelum kembali berbicara pada orang tersebut.

"Gue nggak tahu. Nyokap gue tadi nyuruh gue duduk sampe lumutan di kursi tunggu. Bunda mau nengokin Keva sendirian dulu, katanya.."

Samar-samar, terdengar suara hembusan dari seberang. Meski Ken tidak mengucapkan secara langsung alasan mengapa bundanya menjenguk Keva sendirian, cewek itu tahu betul apa yang menjadi dasar atas apa yang beliau lakukan.

"Masa dia pusing gara-gara itu lagi, sih? Perasaan, gue lihat wajahnya baik-baik aja tu?"
Selama sedetik pertanyaan itu dibiarkan mengambang tanpa balasan.

Ken menyunggingkan senyum tipis, lantas kembali membuka mulutnya untuk bersuara. "Dia terlalu pandai menyimpan semuanya, Hail.. Lo tahu itu."

Cewek yang dipanggil Hailee itu, terdengar mendengus di seberang sana untuk kedua kalinya. Dia memang tahu tentang hal itu, tapi setelah dipikir-pikir rasanya tak mungkin jika anak seusianya seperti Keva terlalu tenggelam dalam keterpurukan keluarga.

"Hm.. I didn't expect that i had a friend like her.." Hailee berkata lesu, ia memberi jeda untuk kalimat selanjutnya.

Begitupula Ken yang sedari tadi melamun setiap kali mendengar kata-kata yang menyangkut tentang sahabatnya itu.

Hailee berdecak sekali, lantas segera mengakhiri percakapan ini.

"Yaudah deh, Keano.. Semoga pacar lo cepet sembuh ya.. Stay faithful waiting..."

Dalam satu kedipan mata, layar hitam itu menyala. Memberikan tanda bahwa panggilan itu sudah berakhir.

Ken baru saja ingin menyimpan ponselnya ketika sebuah notifikasi baru masuk dan menimbulkan getar pada benda pipih itu lagi.

Hailee: 
|Oh ya, Keano.. Gue lupa, kita punya plan hari ini buat latihan band.

|Lo bisa kan habis jenguk Keva sebentar?

Satu tarik napas Ken hembuskan, jari-jarinya dengan cepat mengetikkan balasan untuk cewek itu bahwa dia tidak bisa datang.

Sorry Hail, gue nggak bisa.|


Belum sampai lima detik, pesan itu kembali terbalas.

Hailee:
|Hm... Okay.. See you next lesson..

Ken menutup ponselnya, duduk kembali di atas kursi tunggu untuk menunggu pintu ruang rawat Keva terbuka.

Ia menyisir rambut blondenya, lantas menengadahkan kepala menatap langit-langit. Seperti kebiasaannya, cowok itu memejamkan mata.

Dia tak mengira bahwa satu-satunya yang muncul adalah bayangan senyum seorang gadis. Dia segera menggelengkan kepala, berusaha sadar dari bayangan itu.

Tak lama, decitan pintu terdengar samar. Di baliknya ada seorang wanita paruh baya yang tersenyum ke arah cowok itu.

Ken terhentak sesaat, lantas segera berdiri menyamakan posisi ibundanya.

"Gimana, bun? Keva nggak apa-apa kan?" tanya Ken cemas.

Bersamaan dengan itu pula, satu orang yang tadi menemaninya untuk mengantarkan Keva datang dari arah yang berlawanan.

Celsy, bunda Ken, menatap sekilas ke sepenjuru sudut rumah sakit, sebelum menjawab pertanyaan anaknya itu.

"Dia baik-baik aja, kok. Cuma pusingnya aja yang buat dia pingsan. Nanti malem udah bisa pulang kok," kata Celsy, Ken mengangguk-angguk.

"Kamu tau nggak gara-gara apa dia mimisan?" tanya Celsy. Jika tadi Ken membalasnya dengan anggukan, namun kali ini cowok itu menggelengkan kepalanya pertanda tidak tahu.

Di luar dugaan, cowok yang sedari tadi mengamati percakapan tanpa berniat ikut bersuara, kini mengambil satu gerakan di atas Ken.

"Tadi saya lihat Keva keluar dari gudang, tan. Pas saya lihat, hidungnya udah berdarah nggak tau kenapa. Dan anehnya, entah itu betulan atau cuma halu, saya lihat ada orang rambut panjang di sana."

Sontak Ken menaikkan alisnya, menatap Alex tajam. "Kalo gitu Kenapa nggak lo cari tau? Cek gudangnya, kek?"

"Lah, itu sih udah ada di otak gue. Tapi masalahnya, lo nyuruh gue pergi ke Pak Surya, kan? Lo bilang buruan, yaudah gue cepet-cepet aja tu langsung ke kantor guru." Alex berkata panjang lebar tanpa membiarkan Ken untuk menyela.

Cowok itu bersidekap, menatap Alex dengan sorot tajam. Kalau sudah berurusan sama Ketos, uratlah yang harus dikerahkan lebih besar dibanding pelototan.

"Ya, gimana caranya lo bisa cari tahu gitu, kek? Kasih tahu gue, contohnya." Ken memutar bola matanya jengah. Berdecak beberapa kali setiap mendengar omelan dari Alex.

Ia tak perduli dengan suaranya yang semakin menjadi, meski Celsy masih melihatnya dalam jarak dekat.

Alex berdecak kesal, kemudian mencoba gesture yang Ken lakukan barusan.

"Yeee.. Sok-sokan jadi pahlawan lu? Pikir dulu coba, kalo seumpama gue kasih tau lo terus lo nyari-nyari si dia sampe patah tulang keliling koridor belakang, ketemu nggak? Nggak kan?" tanya Alex bertubi-tubi yang langsung dihadiahi tatapan horor dari Ken.

"Belum gue coba, nyet."

Sentak Alex menghentakkan kakinya, membanting tubuh di atas kursi tunggu yang ada di sebelah pintu masuk ruang Keva.

"Ck. Ni anak! Kalo lo lari-lari disana nggak bakal ketemu, secara dia kan lari cepet banget. Udah terlambatlah, gimana sih?!"

Ken berpikir bahwa Alex menyudahi celotehannya dan membiarkan dirinya untuk menjawab. Namun, ketika detik baru saja berganti, cowok berambut pirang itu kembali membuka mulutnya. Tentu dengan raut wajah yang sangat menyebalkan.

Alex melirik Ken singkat. "Jarak kantor sama lapangan dua kalinya jarak antara koridor belakang sama koridor utama. Kalo sumpama gue kasih tau lo, si Keva pasti udah ilang duluan!"

Lah, ni cowok pake nerapin ilmu matematika segala?

Ken meniup ujung rambutnya jengah, lantas berkacak pinggang menghadap sang Ketos.

"Pinter kamu nak... Udah pake acara hitung jarak segala. Tapi coba lo pikir lagi, kalo lo bisa lari secepet si anak kebo itu, pasti laporan lo bakal gue terima, kan? Terus gue cap-cus cari dia.. Gimana, sih?!" Ken menyeru lantang, tapi hanya ditanggapi Alex dengan tatapan datar.

Untung ada ibunya. Kalo seumpama nggak ada, udah gue pastiin lo jadi basreng rebus habis ini!

Alex mengumpat dalam hati, cowok itu baru ingin menjawab omelan barusan, tetapi seruan dari dalam ruangan Kevalah yang menyambar lebih dulu.

"RAME BANGET DI LUAR! DIEM, OI!" Meski ada suara serak-serak ala orang sakit, teriakan itu ternyata bisa menelusup tajam ke telinga masing-masih orang. Ken terhentak, begitupula Alex yang langsung membekap telinganya rapat-rapat.

Celsy yang sedari tadi diam, kini mengambil alih percakapan. Menarik empat mata untuk menoleh pada beliau.

"Tu, si Keva nya marah. Lagian kalian ini nggak jenguk dia, malah aduh argumen disini.. Kasihan pasien lain juga kan?"

Ken menyambar tangan Celsy, lalu mencium punggung tangan itu takzim. Celsy yang masih terperangah melihat putranya itu, menatap Ken dengan sorot bingung. "Iya bun, maaf.."

Tak mau ketinggalan, dengan gerakan cepat Alex juga ikut menyalami tangan Celsy. Tanpa ada sedikitpun rasa ragu. "Alex juga minta maaf, tan.."

Celsy mengangguk-angguk, tapi Ken justru menampakkan tanggapan yang berbanding terbalik. Cowok itu menatap Alex horor, untuk sekian kalinya.

"Yaudah, bunda mau ke kantor  dulu, kamu tunggu aja disini."

Tak ingin perang dingin kembali terjadi, Celsy berinisiatif untuk pergi.

Wanita itu menyempatkan diri untuk mengelus pundak Ken, lantas melengang menjauh meninggalkan dua cowok itu yang masih berdebat tiada henti.

🎧🎧🎧

Sinar matahari meredup menjadi cahaya rembulan di malam hari. Titik-titik bintang bertaburan menghias langit, menjadi sebuah atap balkon yang sungguh menakjubkan.

Di sini, cewek itu berusaha menenangkan diri. Berusaha menyejukkan pikiran dari ingatan yang terus membelenggu.

Ia menatap jauh, menerawang begitu luas tentang kejadian lalu. Satu detik setelah itu, tubuhnya kini terbanting, jatuh di atas lantai balkon dalam keadaan tanpa daya.

Angin berhembus, menerbangkan rambut coklat panjangnya ke udara bebas. Mata hazel jernih milik cewek itu, sudah tak kuasa menahan bulir bening yang nyaris meluncur dari pelupuk mata. Hingga pada akhirnya, air itu luruh menjadi satu tetes air mata.

Cewek itu menggingit bibir bawahnya, berusaha menahan agar cerita itu tidak terputar dalam bayangan mata. Sesekali ia menggeleng, menyentak-nyentakkan kepala pada dinding, memukul-mukulnya hingga perih, namun tidak ada satupun usahanya yang berhasil.

Ingatan itu terus mendobrak, menjadi sebuah kisah dimana ia harus melihat dan mengamatinya.

Di dalam gelap malam kini terputar serangkaian perisiwa yang membuatnya jadi seperti ini.

Menampakkan wajah seseorang yang sangat ia rindu.

Bayangan seorang pahlawan yang menjadi panutannya, disaat dia sudah tak memiliki harapan lagi untuk bertahan.

Bayangan seseorang yang sangat ia sayangi hingga ujung waktu nanti.

Keva menangkupkan telapak tangannya pada wajah, menangis pelan tanpa isakan. Ia menggelengkan kepalanya sekali lagi, berusaha sekuat-kuatnya untuk menolak kenyataan. Selama menit berganti, hingga terkumpul menjadi jam.

Diraihnya sebuah bingkai yang terletak di atas meja di sampingnya. Air mata rindu itu kembali mengalir, menandakan bahwa ia sudah tidak lagi kuat memendam semuanya.

Keva mengelus kaca itu, tentu dengan gerakan yang tidak terbaca. Menyiratkan sebuah rasa yang amat memilukan.

Retinanya sengaja menangkap satu orang di sana. Dimana orang itu sedang tersenyum bahagia. Seperti sugesti, lengkungan itu menular di bibir Keva. Menariknya hingga membentuk senyum manis, namun tak pelak ada kegetiran yang menyertai.

"Halo, papa apa kabar?" pilu Keva seraya menatap sang Papa. Satu tetes bulir kembali jatuh. Namun kali ini, air mata itu jatuh tepat di atas kaca bingkai foto itu. Menambah sedikit rasa yang mendalam.

Keva menyeka air mata untuk sekian kalinya. "Papa baik-baik aja kan, ya? Keva kangen banget, lho.."

Tak ada lagi yang bisa cewek itu lakukan, selain menatapi foto itu sambil menangis.

Dia terlanjur jatuh dalam lubang kerinduan terhadap papanya. Isakan kini mulai terdengar samar, hingga akhirnya ada suara yang sukses membuatnya diam saat itu juga.

"Keva?"

Suara itu tidak terdengar datar, ada sedikit kekagetan ketika mata cowok itu menangkap diri Keva yang bersandar pada dinding. Juga dengan air mata yang terus mengucur dari sudut mata.

Tanpa komando, cowok itu langsung bergerak dengan gerakan tak terbaca. Melompat dari atas jendela menuju balkon Keva. Jarak antara ujung pagar balkon dengan jendela terpaut kurang lebih satu meter, tapi ketika melihat kelihayannya dalam hal melompat, jangan tanyakan lagi bagaimana cowok itu melakukan hal tersebut.

"Hey, lo ngapain nangis? Malem-malem lagi." Suara khas dari cowok itu membuat Keva sentak menghangat, ditambah lagi ketika dia menatapnya.

Bukan menjawab, cewek itu justru diam. Menahan isakan dari tangis yang tak kunjung berhenti.

Sadar akan alasan, cowok itu ikut duduk di samping Keva sambil berceloteh ini-itu. "Dih, gue kirain suara nangis-nangis itu dari pohon beringin sebelah, eeeh.. ternyata elu." Meski terkesan tak perduli, Keva tahu bahwa cowok itu tengah menghiburnya.

"Lagian ya, lo nangis nggak pada tempatnya banget. Hampir tengah malem lho, sekarang. Lo nggak tau? Apa nggak nyadar? Atau mungkin lo sengaja nakut-nakutin gue?" Cowok itu mengubah posisinya, lantas menggerakkan tangannya memegang dagu Keva agar ikut menatapnya.

"Hayo lho... Coba ngaku!" serunya, disusul cengiran.

Keva menepis tangan itu pelan, kemudian melukis senyum tipis yang terlihat sangat dipaksakan. Meski begitu bibirnya masih saja tertutup, ia masih tak kuasa menceritakan apapun pada cowok itu.

"Duh, kacang mahal. Seganteng apasih lantai dibanding gue? Coba cerita!"

Jika pada umumnya seseorang akan menghiburnya dengan bujukan, maka kali ini tidak. Ia justru menerima kata-kata absurd, tetapi kenyataannya sangat berefek besar. Berhasil membuat kesedihan hingga tangisnya musnah saat itu juga.

"Keva Geraldino, yang cantiknya kayak mimi peri.. Coba buka mulutnya, aaa---"

Belum sempat cowok itu melanjutkan kalimatnya, satu pukulan mendarat di pundaknya, yang mau tak mau suara pekikan keluar begitu saja dari bibirnya. "ADUH, SAKIT! GILA!"

"Lagian lo sih, gue disama-samain sama mimi peri..." Satu detik kemudian, akhirnya kata-kata itu terucapkan. Meski sedikit kesal, senyuman tipis tak luput ia ukir. Ia mengusap air matanya yang mengering, menahan isakan agar tidak kepuar lagi.

Ken tersenyum miring, lantas membuka mulutnya lagi untuk berbicara.

"Lo mau gue samain sama siapa? Sama Gigi Hadid? Ih, nggak sudi." tandasnya penuh penekanan, membuat mata Keva terbelalak lebar.

"Ken! Bener-bener ya, lo!" Keva berseru kesal dengan nada pelan. Dilihatnya Ken yang tiba-tiba tersenyum sumringah, menghadapnya dengan tatapan berbinar.

Keva mengira  bahwa Ken akan menyoraki dirinya karena berhasil membuatnya kesal, tapi nyatanya semua itu salah. Cowok itu justru menampilkan gaya-gaya coolnya yang norak abis.

Ken mengacak rambutnya asal.

"Bener-bener apanya? Bener gantengnya, gitu? Oh, terimakasih.." Bukan lagi tatapan datar, kini Keva melayangkan tatapan maut.

"Bodo. Minggir, gue mau masuk." Selama beberapa detik Keva membiarkan waktu terbuang percuma dengan celotehan Ken, kini cewek itu berinisiatif untuk menyudahi semuanya.

Baru dua langkah ia ayunkan, tangan cewek itu tiba-tiba dicekal dari arah yang berlawanan.

"Bilang gue ganteng dulu dong..." Di sampingnya, Ken menyunggingkan cengiran tanpa dosa. Menyulut sedikit emosinya yang masih tersisa di hari itu.

"Ken! Gue mau tidur." Keva menarik paksa tangannya yang dicekal, namun tentu saja sia-sia. Ken adalah spesies yang tidak akan membiarkan siapapun pergi sebelum keinginannya terpenuhi.

Ken menyengir sekali lagi. Menaik-turunkan satu alisnya beberapa kali menuntut Keva untuk melaksanakan perintah.

Karena tak ada cara lain, Keva memutuskan untuk mengalah. "Iya, sana pergi Ken ga---"

"Makasih... See you tomorrow..."

🎧🎧🎧

Tinggalkan jejak..

Makasih :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro