3) About Us

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana malam, kini telah tergantikan dengan suasana sinar matahari pagi. Cahayanya menelusup dari balik cela-cela ventilasi rumah milik cewek itu.

Jika pada hari-hari sebelumnya, cewek itu sangat malas untuk membuka mata apalagi bangun, hari ini nampaknya terlihat sangat berbeda. Keva bangun lebih awal, lebih awal sebelum fajar keluar dari permukaan.

Saat ini, cewek itu tengah sibuk membuat sarapan. Mulai dari sandwich, caramel milkshake, hingga nasi goreng dengan telur mata sapi. Semua itu sudah tersedia di atas meja makan sejak beberapa menit yang lalu.

Meski cewek itu merasa bahwa perutnya sudah berontak sejak tadi, namun dia tetap diam tak berkutik. Keva menatapi dua kursi kosong di depannya, yang mau tak mau dia harus merasakan kesepian itu lagi.

Dia sendirian. Disini, di rumahnya.

Keva adalah satu-satunya anak tunggal yang ditinggal oleh kedua orang tuanya. Papa dan mamanya meninggal dunia beberapa tahun lalu sebelum ia menginjak masa remaja. Saat itu, ia masih berumur tujuh tahun. Tentu dengan keadaan yang masih membutuhkan kasih sayang.

Enam tahun kemudian, pamannya Satria menawarinya untuk ikut tinggal di Bandung. Tapi Keva menolak ajakan itu.

Alasannya, karena dia tidak ingin meninggalkan rumah ini. Dia selalu percaya bahwa seberapa jauh papanya pergi, beliau akan selalu ada di sini.

Oleh karena itulah, Satria akhirnya memutuskan untuk membiarkan Keva tetap tinggal. Beliau hanya bisa membantu Keva dengan cara memenuhi kebutuhannya.

Seiring berjalannya waktu, Keva kecil sudah berubah menjadi seorang gadis cantik dan periang. Walau sifat itu bergerak dengan cara labil, Keva tetap memperlihatkan pada semua bahwa dia baik-baik saja.

Sama seperti gadis seusianya.

Tak ingin rasa ini terus berkelanjutan, cewek itu segera meraih satu piring yang berisi nasi goreng, lantas melahapnya habis. Tak apa ia sendirian, yang terpenting ia harus bahagia seperti apa yang diinginkan oleh sang Papa.

Ketika dirasa cukup, cewek itu bangkit dari kursi, lantas memasukkan sandwich ke dalam kotak makan. Dia juga memasukkan sebotol air mineral ke dalam tas lilac purple miliknya.

Setelah semuanya beres, langkah kaki kembali membawanya menuju pintu utama untuk segera berangkat menuju sekolah. Bersamaan dengan itu pula, suara ketukan terdengar keras dari balik pintu.

"Iya.. Iya seben---"

Seluruh kata-kata Keva tersekat di tenggorokan ketika ia melihat wajah seseorang yang muncul tiba-tiba. Jika saja tangannya tidak berpegangan pada sisi pintu, mungkin setelah ini dia akan jatuh tersungkur karena kaget.

Keva mendelik, menatap satu orang itu dengan tatapan mematikan.

"Lo apa-apaan, sih?" tanyanya yang langsung disambut orang itu dengan decakan.

Cowok itu melihat Keva sedetik.

"Ck. Mau jemput lo lah!" serunya antusias, membuat Keva seketika terbahak.

"Buat apa, astaga! Rumah kita sebelahan!"

"Urusan jemput nggak pake lihat jauh deketnya." Ken bersidekap menaikkan satu alisnya. Cowok itu merapikan kerah baju serta rambut pirang setengah hitamnya dengan gaya-gaya khas, lantas tersenyum kearah Keva.

Kalau dibayangkan dalam situasi seperti ini, Keano tampak seperti cowok yang sedang menunggu pacarnya.

Ih, amit-amit... Gue nggak mau sama bule versi kayak dia.

"Udah ah, let's go!" Keano menyeru lantang, lantas berjalan menuju perkarangan rumahnya.

Keva yang memang masih melamun karena perilaku Ken tadi, kini kembali dikejutkan dengan apa yang ditangkap oleh retinanya. Cewek itu berlari di belakang Ken, lantas menarik tasnya hingga membuat cowok itu berjingkat.

Tuh kan. Cowok stress ni, mah.

Keva mendelik heboh. "Lo ngapain pake beginian, Ken? Otak lo udah miring atau gimana, sih?"

Cewek itu melepas paksa pita rambut yang tertempel di belakang rambut Ken, lalu memperlihatkannya tepat di depan wajah cowok itu.

Dalam sekejap, Ken melotot.

"Kerjaan bunda ni pasti." Cowok itu menyambar benda bewarna pink yang Keva pegang, lantas memicingkan mata sambil menebak-nebak.

"Anjir punyaan sepupu gue."

Keva melongo ketika melihat Ken yang tiba-tiba berlari masuk ke rumah. Cewek berambut hitam kecoklatan itu menggelengkan kepalanya, heran melihat perilaku sahabatnya itu.

Selama Ken pergi, Keva hanya memandangi lingkungan di sekitarnya. Sambil menunggu, cewek itu nampaknya sedang merancang aktivitas apa saja yang ingin dia lakukan saat tiba di sekolah nanti.

Daripada harus memikirkan cowok nggak jelas itu ya, kan? Lebih baik dia membuat plan untuk jadwalnya hari ini.

• Tukeran deskmate sama cewek pendiam aja, nggak banyak bacot.

• Kerja sama UH matematika, lumayan.

• Beli camilan waktu pelajarannya Bu Yuli.

• Beli seblak waktu istirahat, makan di kursi deket lapangan sambil lihat cogan.

• Minta ajarin tugasnya Bu Yuli sama Alex. Kalo bisa kerjain semua.

• Pulangnya, ajak Ken keliling

Lah, plannya kok sesat gini?

"Hai, jomblo!"

Suara itu sukses membuat cewek itu terpelonjat. Keva hampir saja memekik kaget ketika telinganya merasakan ada udara yang menelusup. Di sampingnya, sudah ada Ken yang sedang mengunyah makanan, dan tentu dengan cengiran yang selalu membuat Keva jadi ingin muntah.

"Lo ap---" Bukan kata yang keluar, justru satu kerupuk yang masuk dalam mulutnya. Keva nyaris saja tersedak, jika saja giginya tidak segera melaksanakan tugas.

Cewek itu menatap Ken dengan tatapan laser, tapi hanya ditanggapi cowok itu dengan senyum menyebalkan.

Ken mengangkat satu buah case menyerupai gitar, lantas memberikannya langsung pada Keva. Cewek itu yang memang belum siap menerima, hanya bisa mengerutkan dahi bingung sambil gelagapan.

"Apaawn nwi, anjir?" tanyanya sambil berusaha lebih cepat menghabiskan kerupuk dalam mulut. Sementara Ken, cowok itu lagi-lagi hanya membalas dengan cengiran.

"Gitar gue lah! Tolong bawa, ya?" Tanpa pamit, cowok itu langsung masuk ke dalam mobilnya. Meninggalkan cewek itu yang masih terdiam.

Keva memandangi Ken yang baru saja menghidupkan mesin. Dengan langkah tertatih-tatih, diayunkannya kaki menuju tempat dimana mobil Ken terparkir.

Keva menengok Ken dari salah satu kaca mobil.

"Lo nggak tahu ini beratnya kayak apa?" keluhnya sembari berusaha membuka pintu mobil Ken.

Ken yang mendengar itu, sontak menoleh. Cowok itu tiba-tiba menampilkan tampang sedih. "Lebih berat kalo aku rindu sama kamu.."

Tapi mimik itu langsung luntur kala sifat labilnya kembali menguasai.

"Udah ah, bawa aja."

"Sialan!"

🎧🎧🎧

Keva kira plan yang sempat ia rancang tadi, bisa berjalan dengan lancar. Namun ketika realita tak seelok ekspetasi, rencana itu langsung kandas menyisakan keping-keping kekecewaan.

Cewek itu cemberut, menatapi soal-soal berisi angka yang membuat kepalanya pening. Ditambah lagi, ulangan dadakan ini diadakan pada saat jam istirahat!

Iya, kan dia kena remedi.

Bayangkan saja bagaimana keadaan Keva saat ini. Sudah keringat  mengalir, ditambah perut yang demo lagi.

"Kurang sepuluh menit lagi.. Mohon cepat diselesaikan!"

Mata Keva nyaris melompat ketika mendengar suara Bu Ning, guru matematikanya. Bersamaan dengan itu pula, suara decakan dan desisan mengisi ruangan tersebut untuk sekian kalinya.

"Aduh, aduh, gimana, gimana ni?!"

Keva mengetuk-ketuk bolpoin pada jidatnya. Meski dirasa sakit, namun dia masih saja melakukan hal yang sama. Dia sudah terlanjur lelah, otaknya saja sudah error sejak beberapa menit yang lalu.

Belum sempat ia menemukan jawaban, tiba-tiba ada suara notifikasi ponsel yang menggema saat itu juga. Bahkan langsung menarik beberapa pasang mata, termasuk mata tajam milik Bu Ning sendiri.

Keva mengumpat setengah kaget.

Aduh, mampus! Hp gue belum gue silent! Kenapa hari gue sial banget?

Tanpa babibu lagi, Bu Ning langsung bangkit dari kursi kekuasaannya, lantas berjalan menuju suara itu berasal. Suara sepatunya kian mengeras, seiring dengan bunyi yang terus mengisi ruangan tersebut.

Ting! Ting! Ting! Ting! Ting!

Tak tahu harus apa lagi, keringat Keva mulai meluncur dari pelipisnya. Tubuhnya merinding dan gemetar. Cewek itu berusaha untuk meredam bunyi itu, namun usahanya sia-sia kala melihat Bu Ning yang bertindak di atas kemampuannya.

Sial.

"Keva? Kamu menggunakan ini pada saat pelajaran saya?"

Entah sejak kapan, atmosfer yang mulanya sunyi kini tergantikan dengan suasana tegang. Cewek dengan mata hazel itu menatap Bu Ning, lalu meneguk salivanya ketika nyalinya tiba-tiba mencelos.

"Bu, bukan, bu. Saya----"

Ting! Ting! Ting!

Suara Keva tersangkut di pangkal tenggorakan ketika telinganya kembali mendengar suara itu lagi. Bukan hanya tatapan Bu Ning yang memanah kearahnya, melainkan juga pandangan banyak orang di sekitarnya.

Ia menunduk, berusaha meredam kekesalannya pada seseorang yang mengirimi pesan bertubi-tubi itu. Cewek hazel itu menghela napas, yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah pasrah.

Tanpa meminta izin, Bu Ning segera membuka ponsel milik Keva. Beliau mengerutkan dahi ketika layar itu terbuka hanya dengan geseran singkat.

Guru dengan alis menukik itu kembali meneliti notifikasi yang terpampang, membacanya hingga akhir pesan itu dikirim.

Kenong Sialan:
|P

Kenong Sialan:
|P

Kenong Sialan:
|P

Kenong Sialan:
|Hai, Keva... Lo dimana?

Kenong Sialan:
|Gue kangen lo, eh nggak deng. Lebih tepatnya gue kangen mantan.

Kenong Sialan:
|Kok nggak dijawab, sih? Sibuk, ya?

Kenong Sialan:
|Oh iya lupa aing, lo lagi ulangan, kan?

Kenong Sialan:
|BHAK! Mampyyusss!

Kenong Sialan: 
|Lain kali kalo Bu Ning masuk ke kelas itu, murid-murid ditertibin dulu..
|Supaya nggak kena semprot, ya ya ya?

Kenong Sialan:
|Ah udahan, deh. Lo nggak asyik, Va!

Kenong Sialan:
|Sekian dari saya --kembarannya Lee Jong Suk plus adiknya Oh Sehun---- saya pamit undur diri, terimakasih :)

Setelah membaca itu semua, tatapan Bu Ning kembali mengarah pada Keva. Guru itu menghentakkan ponselnya tepat di depan mejanya, tak perduli apakah ponsel itu akan rusak atau tidak.

Bu Ning berdesis keras, "Jelaskan semua ini di ruang BK! Sekarang!"

🎧🎧🎧

Keva merenggangkan otot yang terasa pegal setelah menghadap sidang dadakan di ruang BK.

Masuk ke tempat menyeramkan ini apalagi karena ulah yang sama sekali bukan kesalahnya, merupakan salah satu kejuaraan besar bagi Keva. Secara dia punya prinsip bahwa dia tidak boleh berurusan dengan apapun yang ada di ruangan itu.

Lelah dengan apa yang dipikirkan, Keva memutuskan untuk pergi melaksanakan rencana yang sempat dia buat sewaktu menjalani sidang tadi.

Cewek itu berjalan sambil melihat sana-sini, menyusuri koridor menuju suatu tempat yang sedari tadi ia incar.

Meski kesal, cewek itu nampak mendengus lega beberapa kali. Dia melihat satu benda di tangannya, lantas memeluknya dalam dekapan. Beruntung guru BK itu tidak merampas benda kesayangannya itu. Kalau sampai iya, entah bagaimana nasib setelahnya nanti.

Pandangan mata Keva baru saja melihat sebuah pintu ruangan yang ditempeli poster. Cewek itu berdecih pelan, lantas menyunggingkan senyum kekesalan.

Ujung jarinya hampir saja menyentuh knop pintu itu jika saya tangannya yang lain tidak dicekal oleh seseorang. Keva menoleh, mendapati seorang cewek lagi berambut brunette sebahu.

"Lo apa-apaan sih, J?" desis Keva ketika melihat siapa yang mencekalnya. Sementara cewek yang dipanggil Jeny itu hanya menatap datar.

"Nggak ngegas bisa?"

Pertanyaan itu memang terdengar biasa saja, namun Keva langsung menganggapinya dengan seruan.

"Mana bisa gue nggak ngegas! Lo nya sih yang tiba-tiba ngagetin gue!"

Cewek dengan perawakan tinggi itu berkacak pinggang, namun bawaannya yang santai tak menampakkan bahwa ia sedang marah.

"Kalo gue panggil lo lemah lembut, entar lo kaget. Dan kemungkinan yang paling besar, lo nggak akan ngerespon gue."

"Secara lo kan budek."

Pernyataan itu sontak membuat Keva melotot.

Anjir.

Alis Keva menukik, manatap Jeny tajam.

"Sialan! Nggak Ken, nggak lo, sama-sama nyebelin!" seru Keva, lantas berbalik badan untuk membuka pintu ruang musik yang sedari tadi ingin ia buka.

Namun siapa sangka, cewek itu malah digeret oleh Jeny dalam satu gerakan.

"Sialan!"

Ketika cewek berambut brunette itu berhasil membawa Keva ke tempat aman, walau nggak jauh dari tempat semula, sih. Cewek itu melepaskan tangan Keva, lalu memasukkan keduanya dalam saku celana olahraga yang ia pakai.

"Ngapain?" tanya Keva yang mulai mengerti alasan mengapa Jeny membawanya kesini.

Dia melihat cewek itu dengan tatapan menyelidik, berusaha mencari hal yang lebih spesifik.

Jeny berdecak sekali.

"Mau bilang, kalo Tania mau buat ulah lagi." katanya santai, namun terlihat dengan jelas bahwa pernyataan itu sangat berefek bagi Keva.

Cewek itu mengangkat sebelah alisnya.

"Buat ulah lagi, buat gue?"

Jeny mengangguk-angguk, lalu mendengus kasar ketika mengingat pembicaraan yang ia dengar tadi pagi.

"Tapi kayaknya bukan hari ini." katanya, membuat Keva kembali mengernyitkan dahinya bingung.

Belum sempat Keva mengucapkan kata yang baru saja terbesit dalam pikirannya, Jeny langsung pergi sambil mengatakan sesuatu yang tentu membuat kepalanya seketika bertanya-tanya.

"Pokoknya, hati-hati aja besok."

🎧🎧🎧

Halo, satu tokoh muncul lagi. Tapi maaf keknya ga ada castnya, ehe😂

Maaf kalo ada typo atau tata kalimatnya yg berantakan :)

Saran dan kritik sangat dibutuhkan

Makasih udah baca :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro