Bab 3 ;『Jawabannya?』

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku duduk bersandar, menghela napas frustasi. Kutatap selebaran yang tergeletak begitu saja di mejaku. Aku merasa menjadi manusia terbodoh yang pernah ada. Sepertinya letak sekrup di otakku ada yang melenceng. Ah tidak, mungkin tertinggal saja di perut Ibu.

"Mau ke event sama gua, gak?"

Harusnya aku menanyakan itu saat kami membicarakan topik pengalamanku yang pernah ikut event, atau obrolan lainnya sebelum guru kami masuk ke kelas. Atau paling tidak aku bertanya saat pulang sekolah. Dan yak, seperti yang kukatakan. Aku terlalu bodoh.

Kembali menghela napas, aku berseru, "Dongo banget gua, anjir!" Dan sederet umpatan lainnya ikut keluar.

Yah ... aku benar-benar tidak bisa mengatakan hal sepele seperti itu. Aku hanya menginginkannya berjalan-jalan bersamaku. Mengobrol di tengah keramaian, atau mungkin bergandengan tangan supaya tidak terpisah. Aku hanya ingin dia menjadi milikku.

"Bakal gua bilang besok."

.

.

.

Yah, walau begitu, tetap saja aku tidak bisa mengatakannya. Menghela napas, aku mencoba pasrah saja dengan apa pun yang terjadi.

"EL! BOLA!"

Seruan dari lapangan membuatku menoleh dan mendapati sebuah benda berbentuk bola berwarna putih-hitam datang padaku. Dengan reflek di tengah kepanikan dan situasi yang nyaris meregangkan nyawa, aku berhasil menghidarinya dengan meringkuk.

Jika saja aku tidak menghindar dan berakting layaknya orang bodoh atau NPC di sebuah story, mungkin aku akan pingsan. Dengan geram, ku ambil bola dan melemparnya ke tersangka. "Lain kali nendang santai aja, tod!" gerutuku.

Teman kelasku, Ari, yang merupakan tersangka hanya bisa menangkap bola dengan santai dan watados. "Maap, suruh siapa deket lapangan," ujarnya membela diri.

"Ini dah jauh dari lapangan."

"Oiya, kah?"

"Nggak."

"Gua tau gua 'agak' bodoh, tapi dengerin bacotan lu pada, gua malah merasa paling pintar," celetuk Reza menengahi pertengkaran kami. Ia terlihat mengambil bola dari Ari dan mengembalikannya ke penjaga gawang. Ia mengabaikan tatapan tajam nan menusuk dariku maupun Ari.

"Lu mau ikutan gak, El? Si Keylan udahan katanya." Tawaran Reza membuatku tersadar.

Melambaikan botol minum dan berkata, "Bentar, naro minum di kelas dulu. Key, lo lanjut dulu bentar." Dengan begitu aku melanjutkan pekerjaan yang sedari tadi tertunda. Wajah Keylan yang kelelahan tambah frustasi mendengar arahanku.

Aku berlari di lorong menuju kelas, berniat meletakkan kembali botol minum. Ingatlah jika botol ini tertinggal di lapangan, nyawaku tidak akan aman di rumah.

"Eh serius?"

Seruan Nei terdengar jelas walau aku masih beberapa langkah dari kelas. Aku melambatkan langkah, demi mendengar obrolan gosip mereka. Jika aku masuk tiba-tiba, mereka tidak mungkin akan melanjutkannya, 'kan?

"Nata suka sama seseorang itu langka, loh." Sahutan dari cewek lain terdengar. Nata? Renata, kah? Eh, Ia menyukai seseorang.

"Seaneh itu kah? Kenapa kalau Nei yang suka orang malah responnya biasa aja?" Kali ini tersangkanya yang bertanya.\

"Gua mah lain lagi. Tapi Ren, itu orang dari kelas kita atau kelas lain?" Nei terdengar bertanya dengan rasa penasaran. Aku dapat membayangkan cewek dengan suara nyaring itu menatap Renata penuh harap dan penasaran.

Tidak ada jawaban dari Renata, hanya hening sebelum tepuk tangan dan sahut-sahutan terdengar. "Akhirnya seorang Renata suka sama manusia nyata!"

"NEI!"

"Ya maap. Jadi siapa nih? Gak mungkin seorang Reza, 'kan? Kelakuan kek setan gitu masa iya," tanya Nei yang masih penasaran. 

"Ari lumayan ganteng sih, Keylan juga."

"Naksir ya~"

"Nggak ih!"

Tawa terdengar setelahnya, sebelum celetukan cewek lain terdengar. Perkataannya membuatku cukup tegang bahkan aku merasa jantungku berhenti. "El juga lumayan. Akhir-akhir ini kamu sering deket sama dia, 'kan?"

Hening kembali. Renata tak terdengar berkomentar. Aku ingin melihat ekspresinya. Apakah tertawa mengejek, ataukah malu-malu, atau seperti biasa? Apakah itu aku? atau ... orang lain?

"Yah, jujur saja. Cowok kelas kita ganteng-ganteng cuman rada sengkle--"

Duk...

Ah, aku menjatuhkan botol minum dan obrolan mereka berhenti. Dengan berpikir cepat, aku mengambil botol dan mengetuk pintu. Menetralkan jantung, berdeham kecil. "Ada orang?" tanyaku sambil mengintip. Yah, seharusnya aku tidak perlu bertanya karena aku sudah tahu.

"Loh, cowok bukannya pada main bola?" Nei bertanya balik. Aku menatapnya dan memastikan jumlah orang yang tengah bergosip ria itu ada lima orang dengan Renata yang duduk di tengahnya sebagai pusat.

"Iya, gua cuman mau naro minum." Melangkah ke meja sendiri, aku merasa punggungku seperti ditusuk dengan hawa tak mengenakan. Aku tau, pasti segerombolan cewek itu tengah mencurigaiku yang menguping dan kecurigaan itu benar adanya, walau mereka tidak menyadarinya.

"Nitip hp, ya. Batre gua abis." Aku beralasan demi mencegah suasana yang menegangkan. Nei hanya mengangguk dan dengan begitu aku keluar. Beberapa langkah menjauh dari kelas, suara bisik terdengar.

"El denger gak, ya?" Mungkin itu topik yang kali ini mereka ungkit. Aku terus melangkah dan mencoba mengingat apapun yang dapat kulihat. Entah karena gugup atau apa, aku bahkan tidak melihat Renata sedikit pun. Aku hanya sekilas melihat warna wajah yang berubah-ubah dengan netra caramell miliknya yang tidak bisa kubaca.

≪ ◦ ❖ ◦ ≫

"Lu ada acara gak Sabtu?"

Aku melihat kalender hp dan mengedikkan bahu. "Entah."

"Gua tanya ada atau nggak, malah jawab gitu," sinis Reza sambil menyampirkan ransel di bahunya.

Aku yang mendapat tanggapan seperti itu, melambaikan ponsel yang menampilkan kalender. "Hari gak ada yang tau ya, jing. Sape tau gua ada acara, atau malah tetiba lo sebelum sabtu ada acara."

"Idih, kek orang sibuk aja lo. Emang acara apa?"

"Acara ngelayat Ananda Reza Prahmana."

"Sialan ...."

Aku hanya tersenyum licik dan ikut menyampirkan tas. Ini waktu pulang dan tentu saja semua ingin segera kembali. Jangan lupakan anak-anak piket yang bersusah payah untuk kabur. Yah walau mereka berujung disembur dengan ceramahan oleh sie kebersihan kelas yang cukup cerewet. Cerewetnya bahkan menandingi Nei.

"Nape lu nanya gua ada acara? Mau nongkrong?" tanyaku yang masih penasaran alasan makhluk hidup ini menanyakan jadwalku.

"Kagak, cuman mau ajak jalan-jalan. Gua duluan, ya. Biasa ...." Ia bergegas pergi setelah menjawab. Melambaikan tangan dan dengan semangat pergi menerobos kerumunan manusia di lorong.

"Bucin emang beda."

"El."

Namaku dipanggil oleh pemilik suara yang kuagungkan. Entah dengan apa Tuhan menciptakan dirinya. Atau bagaimana cara kedua orang tuanya-- ah tidak, itu terlalu tidak pantas untuk diucapkan. Tanpa menjawab, aku hanya menoleh untuk menatap caramell yang berbinar dengan harap.

"Itu ... Sabtu kosong, gak?"

Dua orang. Jika aku tidak seperti ini, mungkin dengan senang hati kujodohkan saja dia dengan Reza. Aku menggeleng dan menjawab, "Nggak. Kalo Minggu emang ada acara sama kamu, 'kan? Nonton film."

Aku bisa melihat warna wajahnya berubah cerah. Dan dengan itu, degupan yang sedari tadi tidak normal kini bertambah brutal. Entah apa yang ada di bayanganku, tapi demi apapun aku mengharapkan itu terjadi. Menunggu satu kalimat singkat.

Ah, terlalu berharap memang tidak baik. Apa aku harus ....

"Mau--"

"El mau pergi ke event bareng, gak?"

Aku terdiam kala kalimatku terpotong dan kata yang amat kuinginkan benar-benar ia ucapkan.  Cerah dan bersemangat, bahkan menyambar sebelum suaraku terdengar. Eh, tunggu. Aku hanya harus menjawab iya ... 'kan?

≪ ◦ ❖ ◦ ≫

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro