Bab 2 ;『Aku dan Keberuntunganku』

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari Senin mungkin memang hari yang menyesatkan bagi seluruh warga negara ini. Pertanda waktu berleha-leha telah selesai dan waktunya untuk menguli nasib baik. Bagi para murid, Senin adalah hari yang sangat-sangat istimewa. Karena hanya di hari tersebut mereka berdoa dengan sekuat tenaga, meminta turunnya hujan. Mantra-mantra bahkan sesajen dibawa hanya untuk menunggu langit menurunkan bebannya.

Yah, walau ujung-ujungnya gatot. Lihat saja langit yang begitu cerah--mengalahkan cerahnya kepala kepsek--dengan awan putih-- ah tunggu, awannya tak terlihat. Hanya langit cerah bersih dengan setitik cahaya menyilaukan. Beruntunglah aku berhasil melalui ujian di pagi Senin dan masih bisa bernapas lega sekarang. 

"Apa ada pertanyaan?"

Aku mengalihkan pandangan dari ponsel dan menatap sederet kawan seperjuangan yang tengah berdiri di depan kelas. Ah iya, presentasi. Aku melirik jendela yang jauhnya dua meja dari tempatku, langit masih terlalu bersih.

"Saya, saya." Ucapan seorang siswi di deret bangku depan mengundang tatapan kecewa bagi anak-anak yang presentasi. Tatapan kecewa mereka bergegas berganti dengan tatapan memelas seolah mengatakan, "Jangan beri pertanyaan yang sulit!"

"Mau nanya, maksud dari manfaat yang keempat. Itu gimana, ya? Bisa jelasin lagi pakai bahasa sendiri?" tanya siswi tersebut.

"Siapa namanya, Neng?" Kali ini guru bertanya, bersiap dengan buku absen dan pulpen bertinta merahnya. Setelah memberikan namanya, sang guru dengan senang hati memberikan tanda bagi anak-anak yang aktif. Biasa, penguli nilai tambahan.

"Kita tampung dulu, ya. Ada lagi?" Walau menawarkan lowongan pertanyaan, wajah mereka mengatakan sebaliknya. Aku tertawa dalam hati melihat sosok yang memegang erat poster yang dibuat kelompoknya. Menjahilinya sedikit itu seru, 'kan?

"Saya."

Ah itu bukan aku yang berkata. Aku menoleh ke belakang dan melihat teman seperjuanganku. Walah, mulai deh pertanyaannya aneh-aneh nih. "Tumben lo nanya, Za." Aku berbisik mengejeknya. Ia hanya mendengus, merasa diremehkan.

"Bagian yang dijelasin Renata, bisa diulang lagi, gak? Masih gak mudeng sama pembagian jenisnya," tanyanya dengan tampang--sok--serius.

Renata, ia makin memegang erat poster dan menunduk. Melihat dengan teliti apa yang akan ia jawab nanti. Wajah serius bercampur kesal dan geram terlihat di wajahnya. Warna wajah yang terus berubah membuatku tertawa geli.

Dengan sikap tegar, ia kembali berdiri tegap. "Ini ditampung dulu kan?" tanyanya memastikan.

"Iya." Temannya mencatat pertanyaan di papan tulis dan kembali bertanya, "Ada pertanyaan lain?"

"Nambah satu gak masalah, 'kan?" Dan itu adalah pertanyaan yang ku lontarkan untuk berdebat dengan seorang Renata.

.

.

.

"Capek gua sekelompok ama lo, Za," keluhku sambil memakan jajanan kecil yang baru ku beli tadi. Reza, cowok itu dengan watados mengambil jajananku dan memakannya.

"Harusnya lo bersyukur sekelompok ama cowok paling rajin di kelas, yak."

"Rajin nambah beban," celetuk seorang cewek yang berlalu di samping meja kami. Aku mengangguk menyetujuinya.

"Weh, Nei ... parah lu ya. Gua tuh rajin, gua yang baca paling panjang, gua juga yang print makalahnya, 'kan?" seru Reza tidak terima dianggap beban. Untuk pernyataannya, hanya kutanggapi dengan gelengan. Toh yang dia lakukan tidak sebanding dengan--

"Heh gak sebanding ya! Gua yang ngetik sama nyari sisa materi." Dan monologku terpotong dengan suara nyaring milik Nei yang lebih tidak terima dibanding Reza.

"Ya udah sih udah, iya. Beban tuh gua." Dibanding berdebat dengan Nei, Reza lebih memilih jalur aman dan mengalah.

"Tuh kan ngaku juga beban!"

"Serba salah gua, jingan." Reza berbisik geram dengan kelakuan cewek itu. Aku hanya mengedikkan bahu.

"Salah sendiri mancing singa ngamuk." Aku kembali memakan jajanan dan melanjutkan, "Lu kalo tau kita presentasi paling terakhir, jangan banyak nanya di kelompok sebelumnya ya, jing. Yang kena imbas kita gegara pada bales dendam."

"Lah kok gua. Lu sendiri malah debat ama Renata. Bukan gua doang dong." Ia kembali menyangkal pernyatannku dan mengungkit permasalah debat antara diriku dan ekhem-- Renata.

"Satu pertanyaan doang. Lagian gua cuman nanya satu dari semua kelompok."

"Idih, satu satu tapi debatnya beranak pinak. Kawin lu sama dia? Bisa beranak gitu pertanyaan lo."

"Gak lucu, cuk."

Kadang aku merasa bingung bisa memungut teman sepertinya dari mana. Ku alihkan pandanganku pada Nei yang terlihat melambai. Di pintu kelas, seorang berdiri membawa jajanan rotinya--yang terlalu banyak--dan berlari kecil menghampiri Nei.

"Beli roti banyak bener, mau bagi-bagi sembako, bu?" tanya Nei yang membantu menarik kursi supaya Renata, cewek itu bisa duduk dengan mudah. 

"Ada roti baru, katanya enak." Ia duduk, meletakkan roti di meja Nei dan melanjutkan, "Nanti minggu jadi mau nonton kamu?"

"Nonton apa lu Nei?" Reza yang sepertinya 'juga' menguping pembicaraan dua cewek yang duduh di samping dan tak jauh dari kami, sepertinya tertarik.

"Film itu loh, yang baru. Lupa gua namanya." Nei sepertinya tidak curiga jika pembicaraan mereka tengah dikuping dengan tidak elit oleh dua cowok. Bahkan ia menjawabnya dengan santai. Padahal ia baru berdebat panjang dengan Reza.

"Oh itu ... ikutlah gua. Ikut gak lo?" tawar Reza padaku.

"Sabi lah." Aku yang masih tidak tahu dengan film yang akan kita tonton, mencarinya di daftar film bioskop. Oh, film remaja biasa. Yah, sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengan genre ini. Aku melirik Renata dan Nei yang tengah membicarakan rencana nanti.

"Lu ngerti film ginian, Za?" tanyaku.

"Kagak sih, ngikut aja. Gabut gua."

"Dongo."

≪ ◦ ❖ ◦ ≫

Sosoknya tegar dan kuat. Lihat saja, ia sedang berusaha menyemangati temannya. Mungkin itu kah alasan dulu aku mengaguminya? Entahlah, kagum dan cinta saja tidak bisa kubedakan. Yang ada hanya rasa panik saat berbicara berdua dengannya.

"El, El."

Aku memalingkan pandanganku dari ponsel. Yang langsung kulihat adalah netra caramell yang menatap hangat, namun bersemangat darinya. Ia terlihat melambaikan selebaran dan memberikannya padaku dengan ceria.

"Waktu itu kamu pernah bilang kalo bulan ini bakal banyak event, 'kan?" tanyanya. Aku melirik selebaran dengan bendera khas Negeri Matahari Terbit dan beberapa gambar yang menjadi ciri khas lainnya. Ah ini event yang akan di adakan di kota kami.

"Iya. Event yang ini gak sebesar event di kota sebelah sih, tapi udah termasuk bagus. Banyak barang atau mungkin komik. Banyak yang cosplay juga seinget gua." Aku mengambil selebaran itu, melihat tanggal yang tertera di atasnya. "Sabtu? Minggunya ke bioskop, 'kan?"

"Komik yang aku mau bakal ada di sana, gak?" tanyanya sambil menarik kursi. Berbicara sambil berdiri pasti melelahkan.

Aku mengangguk. "Yah tapi tergantung hoki lu. Bisa jadi cuman dijual satu atau dua, dan lo telat. Doa aja biar harinya jadi hari lo."

"Takut gak dapet." 

"Percaya aja dapet, siniin tangan lo." Dengan brutal aku memintanya. Jangan salahkan diriku! Salahkan mulut yang langsung berucap! Aku bahkan tidak ada niatan apapun.

Tanpa bertanya, Renata mengulurkan tangannya dengan bingung. Aku memegangnya dengan gemetar dan hati-hati. Mengambil pulpen dan menulis 'keberuntungan' dalam bahasa Jepang. Jantungku nyaris melompat jika saja aku tidak berusaha menetralkan.

Ah, menjadi cowok itu sulit. Apakah sikapku terlalu kelihatan? Apa Renata bisa melihat tanganku yang bergetar? Apa ia mendengar degup jantungku yang keras? Atau mungkin ia merasakan apa yang ku rasakan?

Ah, itu tidak mungkin.

"Apa artinya?"

"Keberuntungan."

Seberuntung aku yang bisa mengagumi dirimu.

≪ ◦ ❖ ◦ ≫

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro