Bab 1 ;『Biarkan Aku Tahu』

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bakso satu."

Aku menoleh dan netra caramell itu ikut menatapku. Wajar bagi seseorang untuk terkejut jika mereka mengatakan hal yang sama secara bersamaan, 'kan? Ketidaksengajaan itu kadang ... manis saat dikenang nanti. "Loh, El?" tanyanya.

Aku kembali dari lamunanku, menatap fokus ke arahnya. "Eh, ya?" Aku balik bertanya.

Ia hanya tersenyum dan memalingkan wajah, menunggu pesanannya dengan sabar. Haha, apakah wajahku tadi terlihat bodoh? Karena sekarang aku merasa seperti itu. Kulirik kembali gadis yang masih menunggu di sampingku. Obrolan kami terlalu singkat, aku ingin melanjutkannya. Tapi apa yang harusnya teman sekelas obrolkan? Tugas yang menunggu?

Dengan mengetuk etalase, aku menarik napas mencoba tenang. "Tumben makan di kantin?" tanyaku dengan degup perasaan aneh.

Ia hanya menoleh menatapku kebingungan. "Salah ya?"

"Eh bukan. Maksudnya itu ... eh." Ah, sepertinya keberuntungan sedang tidak berpihak padaku. Dengan panik aku kembali berkata, "Biasanya lo 'kan bawa ... ah, apasih namanya? Yang kotak-kotak?"

"Bekel?"

"Nah eta."

Ia tertawa kecil. Mengusap tenguk cepat, aku menanggapinya dengan gugup. Ah, kadang aku bersyukur dengan sikap bodohku ini. Yah, dengan itu kadang aku bisa membuat suasana mencair ... mungkin?

"Hari ini gak bawa, ketinggalan," ujarnya.

Aku hanya ber-oh tanpa suara dan pesanan kami siap. Aku masih menatapnya yang kini tengah menuangkan kecap dan jajarannya ke dalam mangkuk baksonya. "Mau duduk bareng?" Ingin rasanya kalimat itu ku utarakan. Tapi sekali lagi, pemilik keberuntungan melarangku melakukannya dan menertawakan diriku saat ini.

Ia tiba-tiba menatapku, membuatku tersentak. "Duluan ya, aku sama Nei." Dan dengan senyuman singkat, ia berlalu, berjalan menuju meja yang sudah lebih dulu mengambilnya dariku. Ah, lupakan kalimatku barusan.

Menghela napas, aku membawa mangkuk bakso menuju tempatku sendiri.

"Parah lu, mah. Gua udah teriak-teriak minta pesenin bakso juga, malah dikacangin. Apa coba dosa gua?" Sekelompok pemuda pancasila, pemegang harapan bangsa tengah memakan pesanan mereka masing-masing dengan 'santai'. Salah seorang dari mereka menatapku kesal. Yah cukup jelas. Itu hanya karena aku tidak mendengar teriakannya, lebih tepatnya tidak mau mendengar permintaannya.

Tak berniat berdebat, aku hanya menjawabnya dengan celetukan, "Banyak tuh dosa lo. Mau liat list nya, tah?"

"Lah, emang lu nyatet dosa gua gitu?" tanyanya lagi sambil menggeser mangkuk bakso untuk mendekat ke arahnya. Mengambil garpu dan mulai memakan bakso--yang bukan miliknya--dengan santai. Aku hanya menunjuk ke arah kirinya dengan dagu.

"Sebelah kiri lu, tuh."

Ia menoleh ke arah kiri. Orang yang ditatap olehnya merasa terganggu dan kaget karena tiba-tiba ditatap anak aneh sepertinya. "Bukan gua. Gabut amat gua nyatet dosa lo, anjir. Kiri lo tuh, si Atid!" seru orang yang berada di sebelah kirinya.

"Oalah, Atid toh."

"Rada-rada emang." Aku hanya menatapnya yang kini mengembalikan mangkuk bakso milikku dengan keadan nyaris habis. "Nih, tambahan dosa lo," celetukku sambil menunjuk mangkuk bakso yang sisa separuh.

Ia hanya tertawa. Seolah puas dengan mengambil jatahku. "Oh ya, El. Bakso lo tumben tawar, kagak dikasih kecap sambel gitu, tah?"

Aku menatapnya kebingungan. Kutundukan kepala, menatap sisa bakso yang masih berada di mangkuk. Kuahnya bening. Saking hangat dan cerah senyumnya, aku lupa menuangkan dua bahan penting itu.

≪ ◦ ❖ ◦ ≫

"Tau gini, mending ikut aja gua tadi ke kantin." Aku menatap seisi kelas yang mulai ribut dengan ketiadaan--ah, maksudnya dengan guru yang absen. Suasana kelas jangan ditanya, sudah cukup ... aneh? Kini terlihat mereka membagi diri ke kelompok masing-masing. Entah bermain game online atau bahkan bermain kartu dengan suara ricuh yang terdengar.

Sebenarnya ada beberapa yang ke kantin 'lagi'. Yah, aku ditawari ke kantin dan dengan penuh rasa malas kutolak saja. Dan akibatnya, aku bingung harus melakukan apa. Mungkin lebih baik ikut bermain game, kah?

Ku buka ponselku dan hanya berputar-putar di ruang menu tanpa membuka aplikasi apapun. Sudah kubilang, aku malas dan ... bingung.

"Itu One Piece, ya?"

Jika saja aku tidak terlatih melatih jantung--yang akhir-akhir ini teras aneh, mungkin ponselku kini sudah tergeletak tak berdaya di lantai akibat kulempar. Dan wah sekali, keberuntungan mungkin sedang banyak waktu luang hingga memihak padaku.

Dengan memasang tampang kalem nan cool, aku menjawabnya dengan santai, "Iya. Tau juga, kah?"

Ia menggeleng dan membuatku kecewa. Kukira hobi kita sama. "Tapi pernah liat. Aku bacanya yang ini," ucapnya semangat sambil mengecek ponselnya sendiri dan menunjukkan sebuah cover komik yang cukup terkenal.

"Suka baca yang begituan lu?" tanyaku. Eh, apa aku terlihat merendahkan?

Ia mengangguk, menarik kembali ponselnya dan terlihat tak tahu ingin menjawab apa. Diam dan kembali bersuara, "Aku ... ah-- apa itu aneh?"

Ah sial. Aku bingung bagaimana menanggapinya. Ia terlihat sangat ragu, salahkan mulutku. Dengan secepat kilat, aku menggeleng. "Nggak, tak kira kamu sukanya baca novel. Baca komik juga seru, kok. Apalagi kamu gak perlu bayangin apa yang terjadi karena udah digambar." Aku berujar dengan suara setenang mungkin.

Ia awalnya ragu, hingga menarik kursi dan mulai mengobrol denganku. Entah mimpi apa aku semalam. Dulu kami bahkan tidak bisa seperti ini. Hanya sibuk dengan urusan masing-masing dan aku yang mengaguminya dari belakang. Aku tidak tahu ... sejak kapan aku menaruh rasa kagumku padanya.

"El lucu, ya."

Aku menatapnya bingung. Lucu? Dalam artian apa? Apa ... aku direndahkan?

"El biasanya ngomong 'lo-gua', sekarang malah 'aku-kamu'. Kesannya jadi manis."

Disaat itu aku benar-benar merasa ada yang tidak beres dengan diriku sendiri. Senyum, tawanya dan suaranya terasa menghangatkan. Ah, aku merasa seperti MC yang menemukan sesuatu yang begitu berharga.

≪ ◦ ❖ ◦ ≫

Beputar-putar di kursi sendiri, sekelebat bayangan tadi siang cukup membuatku tak tahu harus berkata apa. Aku mengaguminya sedari kelas 10. Aura yang terpancar darinya selalu hangat dan menyenangkan.

Dulu kami hanya berbicara ringan masalah pelajaran dan kelas. Dan kini kami mengobrol dengan topik yang ... cukup unik. Tidak biasanya kami mengobrol lepas seperti ini. Membahas hal aneh yang terlalu aneh untuk dibahas.

Entah sejak kapan, buku-buku kisahku selalu tertulis namanya. Hanya tulisan kagum dan entah sejak kapan aku merasa aneh saat berbicara atau dekat dengannya.

"Ingat, cowok susah untuk menyembunyikan perasaannya, berbeda dengan cewek."

Nasihat guru sejarah yang tiba-tiba terlintas membuatku tersentak. Apa jangan-jangan dia tau kalau aku kagum terhadapnya? Kulirik ponsel yang tergeletak. Bertukar id sosial media, walau itu permintaannya duluan. Aku tidak ingat mengobrol apa saja dengannya. Selama obrolan itu, aku hanya tahu kalau aku merasa aneh.

Renata ... Entah sejak kapan nama itu terdengar begitu menyenangkan di telingaku. Mengagumi sosok sepertinya mungkin suatu kehormatan bagiku dan menjadi lebih dari teman kelas adalah sebuah pencapaian yang keren.

Dulu aku masih ragu dengan perasaan aneh yang terus menghantui. Setelah melihat senyum dan pujian unik darinya, aku menyadari satu hal. Sesuatu yang bisa kurasakan, tapi tak bisa kuucapkan atau sekedar kutorehkan menjadi tulisan.

Aku tidak ingin tahu bagaimana mengatakannya, aku hanya ingin tahu satu hal dan warna suara tak pernah bisa berbohong. "Cewek lebih kuat untuk menyembunyikan perasaan aslinya."

Renata ... Please let me know, if you love me.

≪ ◦ ❖ ◦ ≫

Writer's note:
Halo, kembali dengan cerita lama yang kurombak~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro