17 Pacar Idaman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kadang mataku cemburu sama hatiku. Karena kamu selalu dekat dengan mataku, tapi jauh dari hati aku.

~~oOo~~

"Ini apa?"

Agni mengedikkan dagu ke arah lembaran yang tengah dipegang Hujan. Suara wanita itu mencoba mengimitasi nada dingin yang sering dilakukan Hujan. Awalnya sih, oke saja. Namun, Agni baru merasa jika dia memang tidak bisa menjadi orang lain.

Be yourself adalah hal yang paling cocok untuk Agni.

Jadi, setelah menjawab dengan nada dingin yang gagal total karena tak berimbas apa pun pada Hujan, justru malah memunculkan tatapan geli di mata lelaki itu, Agni langsung mengubah cara bicaranya.

"Bisa baca, kan?" Agni balik bertanya judes.

"Bisalah. Aku kan, nggak bego. Mahasiswa teladan se-UB masak nggak bisa baca surat perjanjian macam gini." Hujan tersenyum simpul. Matanya menari-nari menggoda Agni.

"Tapi otakku lagi nge-lag ini. Kenapa ada perjanjian konyol macam ini, sih?"

"Bukan perjanjian konyol. Itu serius. Aku udah kasih meterai, loh." Agni sekali lagi menunjuk lembaran di tangan Hujan. Kali ini dengan telunjuknya alih-alih menggunakan dagu.

"Ni, kamu nggak lagi bercanda, kan? Perjanjian di atas meterai baru sah kalau dilakukan di hadapan notaris, loh."

"Perjanjian bawah tangan bisa, kok." Agni menelengkan kepala. "Pas kuliah dasar hukum kamu ke mana saja, Jan?"

Sindiran Agni langsung menerbitkan senyum masam di wajah Hujan. Namun, lelaki itu masih belum menyerah. Dia melambaikan kertas yang tercetak rapi dengan mesin pencetak.

"Meterai bukan penentu sahnya suatu perjanjian-"

Hujan langsung menggigit lidahnya. Ingin rasanya lelaki itu menendang diri sendiri. Perkataannya otomatis memberi kesempatan besar pada Agni untuk terbang di atas awan.

Buktinya jelas sudah. Seringai licik Agni tercetak lebar. Perempuan itu menatap Hujan dengan sorot mata penuh kemenangan.

"Nah, itu udah tahu." Agni nyengir lebar.

Hujan mengembuskan napas keras-keras. Malam itu kafe sedikit sepi. Hanya ada tiga pengunjung di jam delapan malam tersebut. Maklum saja, hari memang masih pertengahan minggu.

"Ini apaan sih, Ni?" Hujan kembali bertanya. "Iya, aku tahu ini surat kesepakatan. Tapi aku butuh tahu alasan kamu memberiku ini."

Agni terdiam sejenak. Dia mengumpulkan keberanian untuk menjelaskan pada Hujan. Orang yang notabene sudah dianggapnya sebagai penolong, tetapi di saat bersamaan juga dianggapnya sebagai rival dalam kompetisi.

"Aku sudah berpikir panjang, Jan." Perempuan itu memulai prolog.

Dia memang sudah berpikir lama. Lebih tepatnya sejak dua malam lalu setelah Hujan terang-terangan mulai bersikap mencuri pelanggan Agni dengan tingkahnya yang centil.

"Aku juga menginginkan uang hadiah kompetisi. Aku juga ingin ruko yang sama dengan yang kamu incar."

Hujan menatap Agni dengan ekpresi tenang. Gelagat lelaki itu justru membuat hati Agni kebat-kebit tak karuan.

"Jadi, aku tak mau berbagi apa pun denganmu."

Hujan menelengkan kepala. Dia memandangi Agni lekat-lekat. Tatapan Hujan lantas menunduk, membaca saksama surat kesepakatan yang tergenggam olehnya.

Cukup lama mereka saling membisu. Agni menunggu dengan jantung berdebar kencang. Sementara Hujan masih tekun mempelajari tawaran yang diajukan Agni.

"Jadi, kamu ingin mengadakan kompetisi di dalam kompetisi?" tanya Hujan setelah selesai mempelajari tawaran Agni.

Perempuan itu sedikit tersentak kaget. Dia tidak mengira akan menemukan istilah itu dari Hujan.

"Kompetisi dalam kompetisi," ulang Agni membeo perkataan Hujan.

"Bukannya itu yang kamu inginkan? Kamu ingin bekerja sebagai individu, bukan sebagai tim." Hujan menjelaskan secara ringkas klausul yang terdapat dalam surat kesepakatan.

Agni mengangguk pelan. Lelaki di hadapannya kembali unjuk suara.

"Di sini kamu menyatakan siapa yang berhasil membukukan penjualan tertinggi, dia yang berhak mendapatkan uang hadiah penuh seratus juta rupiah."

Sekali lagi Agni mengangguk. Duduknya makin tidak nyaman seolah ada belasan jarum kecil mencuat di kursi yang ditempatinya.

"Tiga bulan, ya." Hujan bertanya setengah melamun. "Bitter versus Sweet. Angkringanku lawan kafe truk milikmu. Menarik juga."

Lelaki itu menggaruk pelipis. Secara tiba-tiba dia berteriak pada Mario.

"Mar, pinjam pulpen!"

Agni bengong. "Eh, Hujan. Pul-pulpen buat apa?"

"Ya, buat tanda tanganlah. Kan, kamu tawarin kesepakatan ini, kan?"

"Kamu setuju?" Agni bertanya tidak percaya.

"Tentu saja. Challenge macam ini lebih mengasyikkan ketimbang kompetisi secara tim." Hujan menyeringai.

"Nah, di mana aku harus tanda tangan, Agni? Sekalian kita jadikan Mario sebagai saksi. Gimana?"

~~oOo~~


Kompetisi dimulai!

Pertarungan Bitter Area versus Sweet Area dengan cepat menjadi topik obrolan panas antar pengunjung kafe. Mario dengan baik hati membocorkan persaingan dua orang itu lengkap dengan bumbu di sana-sini.

"Ajak teman dapat bonus tahu bacem gratis?" Pengunjung area angkringan bertanya penuh ketertarikan pada Hujan.

"Yoi. Sekalian kopi item secangkir kalau bisa ajak dua orang sekaligus."

"Yah, Bang. Kopi secangkir sama tahu bacem selepek mana asyik?"

"Kamu kira gula sama gas murah?" Hujan ngomel. "Tapi ..., kalian yakin bakal lewatin kopi ini?"

Hujan mengangkat dua wadah dengan label Sidikalang dan Aceh Gayo. Mulutnya mencerocos dalam nada bujukan sehalus setan.

"Ini asli, loh. Aku pesen langsung dari teman Medan aku. Dia baru mudik bawa ini. Rasanya, beh! Jos tenan pokoke!"

Agni yang mendengar percakapan antara Hujan dan pelanggannya hanya mencibir. Tangannya masih mengutak-atik gawainya yang sudah butut.

Meski layak dimuseumkan, benda elektronik itu masih mampu menolong Agni di situasi kompetitif macam sekarang. Perempuan itu menyebar pamflet digital ke grup-grup kampus.

Tak cukup sampai di situ. Selama berada di kampus, Agni juga rela hati membagi-bagikan tester kue untuk teman-temannya. Tentu saja kue buatan sendiri dalam ukuran super mungil untuk menghemat anggaran.

Hasilnya lumayan oke. Kompetisi antara Hujan dan Agni sudah berlangsung hampir sepekan. Kenaikan pengunjung terjadi signifikan. Sayangnya, Agni harus menelan kedongkolan saat teman-teman kampusnya malah menanyakan keberadaan pemilik Bitter Area.

"Hujan lagi. Hujan lagi." Agni mengeluh lirih. Dia menutup pesan percakapan instannya dengan grup kelas.

"Kenapa mereka malah lebih heboh nyariin Hujan, sih? Yah, meski mereka tetap beli makan di kafe aku, tapi tetap aja nyebelin kalau ke sini cuma buat Hujan doang."

Agni melirik ke bagian angkringan. Dia penasaran dengan omzet mingguan Hujan. Namun, perempuan itu nyaris meloncat kaget saat kepala Hujan tiba-tiba muncul di balik etalase.

"Serius amat, Mbak?" Hujan memamerkan senyum manisnya. "Ngeliatin tempat aku terus dari tadi. Kangen, yo?"

"Sembarangan!" Agni setengah menghardik. "Kamu kenapa ke sini, sih?"

"Mau ngasih ini." Hujan menyodorkan sepiring kecil tahu bacem lengkap dengan cabe rawit hijau.

"Sogokan?" Agni mencemooh judes.

"Astaga, curigaan mulu sih, jadi orang. Ini sedekah, Ni. Gencatan senjata dululah. Makan ini biar rada gendutan badanmu, tuh."

Agni mendelik sewot. "Kamu mau ngeracunin aku? Kenapa emang kalau aku kurus?"

"Ya, kasihan saja. Masak kamu tinggal sama aku, tapi badan jadi tulang sama kulit doang. Entar kredibilitas aku sebagai induk semang dipertanyakan, dong."

Hujan melompat masuk mobil. Agni langsung berseru histeris mengusir lelaki itu. Namun, Hujan mengabaikannya.

"Hujan, geseran sana! Kenapa mepet-mepet duduknya gini, sih?" Agni protes berat.

"Sstt ..., diam. Jangan teriak-teriak mulu. Dilihatin pengunjung kafe, tuh." Hujan menegur.

Agni langsung melirik ke arah luar. Wajahnya bersemu merah saat melihat beberapa pasang mata melihat ke arah mereka. Mulut Agni terbuka lebar hendak mengusir Hujan. Namun, tepat pada saat itu Hujan menyuapkan sepotong besar tahu bacem ke mulut Agni.

"Makan," perintah lelaki itu tegas.

Anehnya kali ini Agni tidak membantah. Perutnya memang sudah keroncongan sejak siang tadi. Bisa saja Agni mencomot beberapa potong kue jualan. Namun, dia masih pelit pada keuangan.

"Makan yang banyak." Hujan menyuapkan lagi sepotong tahu bacem.

Agni sibuk mengunyah. Dia mengamati lelaki yang duduk santai di sebelahnya. Postur tubuh Hujan yang memang jangkung membuat kabin VW Combi yang sudah dimodifikasi itu terasa sesak. Beberapa kali lengan mereka bersentuhan yang memicu debaran jantung Agni meningkat drastis.

"Kamu urus dirimu sendiri dong, Ni." Suara Hujan lembut. "Seminggu ini aku lihat kamu selalu bangun dini hari."

"Kamu terganggu?"

"Nggak," jawab Hujan cepat. "Tapi aku perhatikan istirahatmu kurang banget belakangan ini."

Agni tertegun.

"Bangun dini hari. Habis itu kuliah. Pulang kuliah kamu sibuk entah apa. Terus jaga kafe sampai tengah malam. Kamu sedang usaha menyakiti diri sendiri?"

"Sembarangan." Agni menyanggah keras.

"Kamu pengen banget jadi pemenang kompetisi ini, ya?"

Agni kembali tertegun. Dia menundukkan kepala dalam-dalam. Lalu tanpa disadari Agni, cerita itu meluncur begitu saja dari mulutnya.

"Aku pengen bahagiakan Mama. Sejak Papa meninggal, Mama hidup susah melulu."

Agni mengembuskan napas panjang. "Mama belum pernah merasakan hidup nyaman. Semua yang dilakukan Mama selalu buat aku. Bahkan Mama rela nggak nikah lagi karena waktu itu aku menolak mentah-mentah orang yang lagi dekat sama Mama."

"Widih, tega banget kamu, Ni." Tanpa belas kasih Hujan berkomentar.

"Namanya juga anak masih SMP. Ego aku masih gede. Mama kayaknya juga udah nggak minat buat nikah lagi. Pas aku udah bisa berpikir dewasa, Mama menolak semua orang yang mendekatinya."

"Karena?"

"Karena Mama hanya pengen fokus sama aku." Agni menjawab lesu.

"Merasa bersalah nih, ceritanya?"

Agni tersenyum getir. "Bersalah karena aku belum mampu bahagiakan Mama, iya. Tapi kalau bersalah karena Mama batal nikah, nggak." Perempuan itu mengais-ngais lantai mobil dengan ujung kakinya.

"Mana aku masih belum gagal dapatkan beasiswa pula. Jadi, aku benar-benar berharap sama hadiah kompetisi ini."

Hujan terdiam. Matanya mengamati seraut wajah polos tanpa riasan yang masih terus menunduk. Tangan Hujan refleks bergerak merapikan anak rambut yang menutupi mata Agni.

Perempuan itu tersentak kaget. Dia menoleh cepat hanya untuk mendapati Hujan tengah memandanginya lekat-lekat.

"Keinginan kita sama, tapi motivasi kita beda." Ujung-ujung bibir Hujan tertarik ke belakang membentuk senyum lebar. "Dan aku nggak ada rencana mau mengalah ke kamu."

"Ya, up to you." Agni mengedikkan bahu. Cepat-cepat dia memalingkan muka. Salah tingkah sendiri dia karena beradu tatapan dengan Hujan.

"Jadi, semangat terus, rival! Jangan sampai sakit. Aku nggak mau menang WO dari kamu." Hujan menyeringai.

"Enak aja! Aku nggak bakalan kalah dari kamu."

"Good job. Gitu, dong. Agni memang harus semangat seperti api. Sama seperti arti namamu." Hujan berkata lagi.

Agni mengerjap-ngerjapkan mata. Sebagai orang Jakarta yang punya darah Tanjung Priok kental, Agni sangat bangga dengan cara bicaranya yang blak-blakan. Namun, kali ini Agni merasa sikapnya itu jadi bumerang yang bakal membunuhnya detik ini juga.

"Jan, kamu pengertian banget jadi cowok. Udah cocok banget loh, kamu jadi pacar idaman."

Bersambung --->>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro