19 Cemburu Buta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sesuatu yang didapat dengan cara curang pasti tidak akan bertahan lama.

 
~~oOo~~

 
“Apa katamu?”

Salah satu teman Selvi menyodorkan ponsel pintarnya. Di sana terpampang laman media sosial Hujan. Unggahan teratas berisi tentang sayembara jadi makcomblang untuk Hujan dan Agni.

“Ini gila!” Selvi langsung bangkit.

Pegawai salon kuku yang tengah melakukan manikur tangan Selvi mendelik kesal. Sia-sia dia menghias kuku tangan kliennya karena peergerakan Selvi sangat tiba-tiba. Botol cat kuku warna peach sampai terguling dan menumpahkan sebagian isinya ke bantalan handuk di atas meja.

“Ini nggak mungkin.” Selvi menyipitkan mata. “Hujan itu pacar aku. Masak dia mau bikin sayembara biar bisa jadian sama Agni?”

“Itu caption-nya jelas banget.” Teman Selvi memberi tahu.

Selvi mencengkeram gawai milik temannya. Kepala berambut kombinasi cokelat dan hitam itu menggeleng-geleng tidak percaya.

“Ini pasti ulah Agni. Pasti dia yang sebarin sayembara konyol ini. Sudah berani nantangin aku ya, ini anak.” Selvi menggeram kesal.

“Eh, Sel? Mau ke mana?” Si teman kebingungan saat Selvi melesat pergi ke arah pintu keluar. “Manikurmu belum selesai!”

“Bodoh amat! Aku mau ke angkringan Hujan!” Selvi menjawab dengan bentakan keras.

Si teman menghela napas panjang. Dia memandangi pegawai salon dengan tatapan penuh permohonan maaf. Buru-buru teman Selvi mengeluarkan dua lembar lima puluh ribuan dan memberikannya pada pegawai salon.

“Jangan marah ya, Mbak. Teman aku memang emosional gitu orangnya.” Si teman menyeringai dan bergegas menyusul Selvi.

Keduanya masuk mobil dan segera meluncur ke jalan Suhat. Waktu masih menunjukkan pukul enam sore. Angkringan Hujan sebenarnya belum buka, tetapi Selvi yakin jika lelakinya pasti sudah ada di lokasi untuk mempersiapkan diri.

“Ini pasti medsos Hujan dibajak. Nggak mungkin dia kasih kesempatan orang-orang buat comblangin dia sama si Agni itu.” Selvi menggerutu.

“Menurutmu dibajak sama Agni?”

“Ya, siapa lagi? Yang interaksinya paling dekat belakangan ini kan, sama itu bocah.” Selvi mengomel.

Selvi berhenti di seberang jalan tidak jauh dari SPBU Mojolangu. Lampu sein tetap menyala dan mesin tidak dimatikan. Tidak ada tanda-tanda Selvi akan turun dari mobilnya.

“Nggak mau nyamperin mereka?”

Selvi mengamati dari jauh lokasi angkringan Hujan. Terlihat lelaki itu tengah mengobrol dengan beberapa orang pria berseragam SPBU. Sementara Mario dan Agni tampak mempersiapkan food truck dan menata meja-meja.

“Nggaklah. Ngapain juga aku samperin?” Selvi cemberut.

“Lah, terus ngapain di sini? Inspeksi? Mata-matain mantan pacar kamu?”

Selvi mendelik kesal. “Dia cuma bentar jadi mantan. Aku sama Hujan segera balikan, kok.”

“Aku nggak yakin.” Si teman Selvi bicara terus terang. Dia mengabaikan lirikan tajam dari temannya.

“Si Radit sama Dion kan, sering ngangkring di tempat Hujan. Kata mereka, sayembara itu memang keluar dari mulut Hujan sendiri, kok. Si Agni malah kelihatan nggak minat.”

Kening Selvi berkerut. Matanya menyipit curiga. Jelas dia tidak percaya dengan informasi yang diberikan temannya.

“Heh, Hujan itu masih setia sama aku. Dia cuma marah bentar doang. Habis ini kami pasti balikan, kok.” Selvi bersikeras.

“Kamu yakin? Soalnya nggak seperti itu yang aku lihat.” Temannya mengangkat bahu.

Selvi sekali lagi memandang angkringan Hujan. Mantan pacarnya sudah beranjak dari circle obrolan. Kini Hujan terlihat menghampiri Agni. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi Selvi bisa melihat Agni yang marah-marah dan Hujan tertawa terbahak-bahak.

Dia kembali melajukan kendaraan. Setelah menurunkan temannya di indekos, Selvi langsung pulang ke rumah. Tidak lupa sebelum itu dia mengirim pesan agar Hujan datang ke rumahnya.

Namun, hingga mendekati pukul sembilan malam pesannya tidak berbalas. Hujan hanya membaca pesan instan yang dikirim Agni. Perempuan itu mengeluh keras.

“Kamu beneran sudah lupa sama aku, Jan?” Agni merutuk. “Aku nggak akan biarkan kamu lupa sama aku. Kamu nggak datang, aku yang bakal datangi kamu.”

Perempuan itu menyambar kunci mobil dan menggeber gas kencang kembali ke Mojolangu. Kafe pinggir jalan Hujan dan Agni terlihat ramai pengunjung. Selvi memastikan penampilannya sudah oke, dengan riasan tipis dan pakaian keluaran butik ternama Malang, sebelum melangkahkan kaki keluar mobil.

“Hujan!”

Perhatian semua orang tertuju ke sumber suara. Kesiap keras terdengar diikuti surutnya suara percakapan. Semua mata memandangi Selvi yang memeluk Hujan erat-erat dari belakang.

“Selvi, apaan sih?” Hujan buru-buru melepas pelukan perempuan itu.

“Kangen.” Selvi merajuk manja.

“Sel, ini tempat kerja aku. Jangan aleman gitu.” Hujan bicara pada Selvi, tetapi pandangannya tertuju ke arah Agni.

Selvi mengerucutkan bibir. “Hujan gitu banget, sih? Padahal pas berduaan kamu mesra banget sama aku. Malu ya, dilihatin banyak orang?”

Hujan terdiam. Selvi masih mencerocos panjang kali lebar kali tinggi.

“Kalau malu, yuk kita ke rumah aku. Pacaran aja di sana. Gimana?”

“Selvi, jangan bercanda.” Hujan mendesis keras.

“Siapa yang bercanda? Kita kan, lagi break doang. Sekarang aku sudah mantap buat terima perasaan kamu lagi.”

Hujan terbelalak. Buru-buru dia menarik Selvi menjauh. Mereka terlihat menuju arah belakang bangunan gudang dan lenyap dengan meninggalkan segudang tanda tanya.

“Mereka memang sering gitu, Agni.”

Yang diajak bicara tersentak kaget. Wajah Agni memerah. Rasa malu menderanya karena tertangkap basah mengamati pasangan kekasih yang sedang kabur.

“Putus nyambung udah biasa banget di mereka. Bisa dibilang mereka tuh, pasangan abadi.”

“Pasangan abadi gimana maksudnya?” Agni merasa tidak nyaman dengan perumpamaan Mario.

“Ya, gitu. Putus sambung. Terus balikan lagi. Kali ini pun juga sama. Mau Selvi bertingkah sejahat apa pun, Hujan pasti bakalan maafin Selvi. Sudah cinta mati dua orang itu.”

Agni terdiam. Hatinya merasa tak nyaman. Dadanya pun sesak, bahkan untuk bernapas normal pun terasa sulit.

Dia kembali ke mobil dengan diiringi tatapan penasaran pengunjung kafe. Berusaha mengabaikan pandangan orang-orang, Agni memutuskan untuk menyibukkan otaknya dengan memeriksa pembukuan. Meski begitu, ekor matanya masih curi-curi pandang ke arah belakang gudang.

Lalu Hujan muncul dibuntuti Selvi. Wajah keduanya terlihat tegang. Lelaki itu sama sekali tidak menoleh ke arahnya dan langsung berjalan lurus ke mobil Selvi. Keduanya kembali menghilang hanya selang dua menit kemudian.

“Nah, lihat sendiri, kan? Memang sudah nggak ada celah buat kamu masuk.”

Agni melirik Mario. Pertanyaannya polos.

“Apa aku terlihat berharap sama Hujan? Seluruh ide konyol soal proyek jadian antara Bitter Area dan Sweet Area kan, munculnya dari dia. Aku hanya ngikutin arus aja.” Agni berkilah.

Mario melekatkan pandangan pada Agni. Kepala lelaki sebaya Hujan itu menggeleng-geleng.

“Jangan pernah bohongi diri kamu sendiri, Agni.” Lelaki itu menasihati sebelum kembali ke bagian angkringan.

Sejak malam itu Hujan jarang menampakkan diri di Bitter Area. Seluruh pekerjaannya digantikan oleh Mario.

Agni sedih. Tentu saja. Hati kecilnya ingin bertemu dengan Hujan. Namun, perkataan Mario seolah terpatri di benaknya.

Hujan milik Selvi. Sudah tak ada celah baginya untuk masuk.

“Ni, ngelamunin apa?”

Agni menunjukkan buku besarnya. “Ini udah tengah bulan. Aku sedang rekapan.”

“Laris?” Mario melongok dari balik punggung Agni.

Malam ini Hujan juga absen datang ke angkringan. Alasannya sedang menemani Selvi mengerjakan mata kuliah penting. Agni tak mau ambil pusing. Namun, dia tak bisa berlagak cuek setelah melihat laporan keuangannya.

“Laris sih, laris. Tapi omzetnya masih kalah jauh dibanding rival kami.”

Mario membaca teliti buku besar Agni. Keningnya berkerut. “Ini udah masuk lima juta, kan?”

“Targetnya sepuluh juta. Bulan kemarin sudah oke. Tapi bulan ini cuma masuk lima juta, padahal udah jalan dua minggu. Harus putar otak biar nggak kalah.”

“Rivalmu memang ambil apaan?”

Agni menunjukkan setumpuk berkas yang tersusun rapi dalam map gading. Hasil penyelidikannya seorang diri karena Hujan yang tak bisa diandalkan.

“Lalapan Murmer. Laris dia karena lokasinya pas di daerah Kerto Pamuji.”

“Wilayah emas,” gumam Mario.

Agni mengangguk. Sudah jadi rahasia umum jika perkampungan di daerah Kerto Pamuji, juga Kerto yang lain, adalah surga bagi pengusaha kuliner.

Di sana banyak indekos dan kontrakan mahasiswa. Makanan murah selalu laris diburu. Tak heran jika rival Agni mampu meraup omzet cukup besar di bulan kedua ini.

“Genting juga, ya. Sudah diskusi sama Hujan?”

“Gimana mau diskusi? Orangnya aja sering gaib,” keluh Agni.

Baru juga dibicarakan, sosok Hujan terlihat berjalan ke arah angkringan. Tampang lelaki itu kusut. Senyum tak tersungging di wajah tampannya.

“Bagus, ya. Masih ingat juga kalau ada usaha di sini.” Agni berkata dingin. “Udah selesai belum jam pacaranmu, Jan? Kalau belum, mending kelarin dulu, deh. Dan relakan seratus jutamu buat aku.”

Bersambung --->>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro