6 Hujan dan Ibu Hujan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hujan menurunkan kecepatan mobilnya. Tangannya dengan lincah memutar roda kemudi. Kendaraan roda empat itu lalu berbelok dan berhenti di depan sebuah rumah besar pojokan jalan.

Banyak motor terparkir di halaman rumah itu. Saat membuka pintu mobil, samar-samar aroma harum masakan menyapa hidung Hujan.

“Weh, Mas Hujan dah pulang, to?”

Hujan melambaikan tangan ke satu pria paruh baya yang berjaga di pos satpam kecil. Santai dia melemparkan sebungkus rokok yang langsung ditangkap sigap oleh pria berprofesi satpam itu.

“Cuma nengok Ibuk, Pak,” jawab Hujan ramah.

“Bapak ndak sekalian?”

Hujan hanya menjawab dengan senyum. Bergegas dia meninggalkan bagian depan rumah. Ekor matanya sempat melirik ke halaman dan menghitung dengan cepat.
Lima belas motor.

“Ibuk sedang dapat pesenan gede, nih?” gumam lelaki itu pada dirinya sendiri.

Begitu memasuki rumah, aroma masakan tercium makin kuat. Perut Hujan mendadak keroncongan. Jakunnya bergerak naik turun menahan lapar.

Dia tidak perlu memanggil wanita yang melahirkannya. Seolah memiliki hubungan telepati, sosok yang dicari Hujan muncul tiba-tiba dari balik partisi kayu.

“Umur panjang kamu. Pas Ibuk rasanin, pas kamu dateng.”

Hujan menyeringai. Diciumnya pipi sang ibu dalam gerakan kilat dan langsung melesat ke ruang makan. Tingkahnya mendapat tawa renyah dari beberapa pegawai katering yang kebetulan berpapasan dengannya.

“Sambel goreng ati, lapis daging, soun goreng. Wah, Ibuk emang paling top kalau soal perut.” Cengiran Hujan sangat lebar.

“Cuci tangan dulu!” Ibuk memukul punggung tangan anaknya.

“Nanggung, Buk. Laper ini."

Desisan keras terdengar disusul jeweran di telinga. Hujan memekik kaget. Meski tidak sakit, dia merasa wajib berakting menjadi anak baik dengan berpura-pura meringis kesakitan.

“Ada hand sanitizer. Pakai dulu. Itu wastafel juga ada di pojokan. Anak ini kenapa dari dulu ndak pernah berubah.” Ibuk mengomel.

Bibir lelaki itu menyunggingkan senyum tipis. Omelan ibunya adalah hal yang belakangan ini sering Hujan rindukan. Tinggal sendiri di kontrakan ternyata tidak semenyenangkan seperti yang teman-teman rantaunya gembar-gemborkan.

Hujan rasa bukan suara wanita itu saja yang dirindukannya. Daster panjang corak kembang-kembang beraroma keringat campur masakan juga hal yang bakal diingat memori Hujan. Itu pakaian dinas sang ibu selama bekerja di rumah.

Ya, bekerja di rumah.

Senyum Hujan berubah getir. Dia menyelesaikan acara cuci tangannya dengan menatap keramaian di dapur.

“Ngelamunin apa?”

Hujan terlonjak kaget. “Ibuk? Suka banget kagetin anak sendiri, sih?”

“Lah, kamu ngelamun.” Ibuk terkekeh.

“Pesenan ngalir terus, Buk?” tanya Hujan seraya kembali ke meja makan.

“Alhamdulillah. Walau ndak musim manten, yang pesen katering masih ada terus, Jan.” Wanita paruh baya itu menjawab.

Hujan makan dengan lahap. Obrolan ringan terjadi, hingga topik yang paling lelaki itu hindari akhirnya mencuat tanpa sengaja.

“Si Selvi ndak ngajak balikan lagi?”

Ayunan tangan Hujan yang memegang sendok penuh nasi terhenti di udara. Pandangan lelaki itu hampa dan kosong.

“Kalian memang sudah sering putus-sambung. Tapi ini kayake si Selvi lama ndak ngontak Ibuk sejak bilang kalian putus.”

Hujan berusaha memasang ekspresi datar. Dia melanjutkan acara makan siangnya yang sempat terjeda.

“Namanya juga udah putus, Buk,” komentar lelaki itu pendek.

“Tapi kalian itu ndak bisa pisah lama-lama. Palingan tiga hari juga wes balikan lagi. Ini udah dua minggu lebih si Selvi—”

“Ibuk, aku sama Selvi udah beneran berakhir,” potong Hujan tegas. “Nggak ada niat buat balikan lagi.”

Kening Ibuk berkerut. “Kamu yakin, Jan? Kalian itu udah lama barengan. Putus-nyambung juga sudah sering. Pikirkan lagi baik-baik keputusanmu ini.”

Rahang Hujan mengencang. Dia tidak ingin melakukan mode curhat pada ibunya. Tidak setelah dia memutuskan untuk keluar dari rumah tempatnya tinggal selama dua dekade.

Hujan ingin mandiri dalam segala hal. Termasuk dengan tidak gampang menceritakan setiap detail permasalahan dalam hidupnya.

Hanya saja perkataan ibunya saat ini butuh sedikit penjelasan. Mau tak mau Hujan tetap harus buka suara agar tak terjadi salah paham.

“Aku sama Selvi nggak mungkin bisa balikan lagi, Buk,” kata lelaki itu hati-hati.

“Kenapa bisa gitu?” Ibuk menyipitkan mata curiga.

Hujan mengembuskan napas perlahan. Sungguh, satu hal yang paling tidak diinginkannya adalah mengecewakan hati sang ibu.

Padahal Selvi adalah perempuan yang sangat disukai ibu Hujan. Banyak mantan pacar lelaki itu silih berganti datang dalam kehidupan Hujan. Namun, hanya Selvi yang berhasil menetap di hati ibunya.

“Selvi selingkuh, Buk,” jawab Hujan lirih.

Ibu terdiam. Hujan kembali lanjut bicara.

“Selama ini aku nutupin hal ini dari Ibuk. Temen-temen kampus banyak yang tahu ulah Selvi, tapi mereka nggak berani ngomong ke aku.

Sampai aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, Buk. Selvi keluar dari hotel bareng om-om.”

“Kamu memergoki Selvi berapa kali?” sela Ibuk cepat.

Hujan melongo. Matanya mengerjap-ngerjap. “Maksud Ibuk?”

“Kalau cuma sekali, mungkin saja kamu salah paham. Selvi sudah jelaskan ke kamu juga, kan?”

Kali ini ganti Hujan yang mengernyitkan dahi. Dia menatap ibunya penuh selidik.

“Selvi bilang apa ke Ibuk?” tanya lelaki itu blak-blakan.

Ekspresi Ibuk seperti baru saja tertampar kekagetan. Mata wanita itu membulat besar. Tangannya sudah siap bergerak hendak menampar mulut sendiri. Seperti kebiasaannya tiap kali sudah keceplosan bicara.

“Selvi ndak bilang apa-apa,” kilah Ibuk.

“Ibuk bohong. Dia pasti sudah telepon Ibuk dan bilang macam-macam, kan?” Hujan mendesak.

Wanita itu menghela napas berat. Tangannya dengan cepat meraih sebotol air mineral di atas meja. Ibuk perlu membasahi tenggorokannya sembari memikirkan jawaban untuk Hujan.

Pada akhirnya wanita itu memilih untuk bersikap jujur. Hujan adalah anaknya. Dan hal yang paling paling dia inginkan adalah melihat Hujan bersanding dengan Selvi.

“Selvi sempat telepon Ibuk. Dia minta buat bantu berbaikan sama kamu.”

Hujan membeku. Nasi manten yang biasanya tak pernah gagal membangkitkan selera makannya kini terasa sangat hambar.

Perlahan Hujan menjauhkan piring yang baru separuh tandas. Nafsu makannya telah menghilang. Ibuk sepertinya tidak menyadari perubahan sikap sang putra sebab wanita itu masih terus mengoceh.

“Selvi cerita semuanya ke Ibuk. Kamu salah paham sama dia. Pria yang kamu lihat itu teman papanya. Dia hanya disuruh menjemput, ndak lebih.”

Hujan masih membisu. Apa yang diucapkan ibunya sama persis dengan penjelasan Selvi padanya. Lelaki itu mulai gamang.

“Justru dia mengira kamu yang sudah ndak setia. Kamu selingkuh makanya ngotot ndak mau balikan.” Ibuk menambahi.

Hujan mendongakkan pandangan. Tatapan lelaki itu menyorot kaget. Telunjuknya tanpa sadar teracung ke dirinya sendiri.

“Aku? Selingkuh?” Hujan menggeleng-geleng. “Duh, Selvi. Dia ngomong apa aja sih, ke Ibuk?”

“Ya, hanya itu yang Selvi bilang.” Ibuk meraih tangan putra semata wayangnya. Pandangan wanita paruh baya itu terlihat teduh.

“Pikir baik-baik keputusanmu, Hujan. Selvi itu anak baik. Ibuk sudah sreg sama dia. Kamu juga masih cinta sama Selvi, to? Mbok balikan aja kalian berdua.”

Hujan tak bisa berkata-kata. Mau menyanggah juga percuma. Inilah ibunya, sosok yang membuat Hujan sering mati kutu.

Diamnya lelaki itu dianggap pertanda baik oleh Ibuk. Senyum wanita itu merekah. Piring berisi lapis daging diraih dan menyendokkan potongan tebal daging sapi berbumbu banyak-banyak ke piring anaknya.

“Ayo, makan yang banyak. Ibuk  wes feeling kalau kamu bakal datang.”

Nafsu makan Hujan masih menghilang. Otaknya mencari-cari bagaimana cara menolak makanan tersebut agar tidak memancing kecurigaan ibunya. Pada akhirnya Hujan terpaksa menelan sesendok nasi lagi karena Ibuk sudah menyorongkan kembali piring makan anaknya.

“Selvi orangnya cakap. Ibuk bisa tenang kalau mau nyerahin bisnis katering keluarga kita ke dia.”

Hujan tersedak makanan. Dia batuk-batuk hebat. Wajah lelaki itu memerah.

“Oalah, Jan. Mbok kalo makan itu pelan-pelan.” Ibuk buru-buru menyodorkan sebotol air mineral ke arah putranya.

Hujan begitu tergesa-gesa membuka tutup botol, hingga sebagian air menciprati pakaiannya. Tegukan lelaki itu kasar.

“Kamu sekaget itu Ibuk bilang kalau Selvi cocok buat jadi penerus katering kita.” Ibuk mengomel.

“Ya, kenapa harus Selvi, sih?” Hujan menggerutu setelah batuknya mereda.

“Karena kalian pasangan yang serasi.” Ibuk keras kepala. “Kemampuan bisnis Selvi itu bagus. Dia juga ada ketertarikan sama usaha katering Ibuk. Apalagi kamu sudah jelas-jelas menolak pas Bapak suruh pimpin katering ini.”

Hujan membeku. Dalam hati dia merutuki keputusannya datang ke rumah siang ini. Sepertinya pilihannya salah besar.

“Kamu kenapa ndak mau terusin usaha katering ini to, Jan?” Ibuk masih meneruskan omelannya.

Hujan berharap hadir keajaiban untuk menyelamatkannya. Dia sudah tidak tahan berada di ruang makan rumah keluarganya sendiri. Ditambah Ibuk yang masih terus mencerocos tanpa henti mempertanyakan keputusan Hujan.

Dan keajaiban itu benar-benar datang. Hujan bahkan sampai bengong melihat ponselnya yang bergetar lembut dan menampilkan satu notifikasi pesan masuk.

[Aku sudah mau pulang. Kamu di mana, Hujan?]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro