7 Tumpeng Kecerewetan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Food is an ingredient that binds us together.

~~oOo~~

"Loh, Jan. Kamu mau ke mana? Ndak nunggu Bapak?"

Hujan mengelap mulut dengan tisu. Nasi sengaja ditinggalkan tanpa ditandaskan. Urusan mubazir pikir belakangan. Dalam hati Hujan berdoa agar nasi-nasi tak menangis karena tak dia habiskan.

"Ngampus lagi, Buk. Masih ada kuliah ini."

"Tapi Bapak sebentar lagi pulang."

Hujan abai. Disogok duit sejuta rupiah pun dia tak mau kembali duduk. Hal terakhir yang ingin dilakukannya sekarang adalah bertemu dengan Bapak.

"Keburu telat, Buk." Hujan mencium kedua pipi ibunya dan segera melesat keluar.

Tidak ada sapa ramah pada pegawai di rumah orang tuanya. Hujan berjalan cepat tanpa tengok kanan dan kiri. Mobil digeber kencang kembali ke area kampus. Sesekali lelaki itu mengumpat kesal karena jalan yang dilewatinya sangat padat kendaraan.

"Ke mana aja, sih? Lama banget.”

Lelaki itu menyeringai. Jahilnya kambuh melihat Agni yang duduk mencangkung di tepian taman. Mulut perempuan itu yang mengerucut dan wajah cemberutnya menerbitkan gemas di hati Hujan.

“Jiah, yang nungguin aku.” Hujan tertawa kecil.

“Ge-er banget.” Agni berdiri. “Barang-barang aku masih ada di kamu. Mau pulang, nih. Lama banget nungguin kamu.”

“Yok, pulang.”

Agni langsung mematung. “Kamu kenapa ngajakin aku pulang? Aku udah ada kos baru, kok.”

“Yakin kamu?” Hujan mengernyitkan dahi. “Cepat banget dapatnya. Kamu nggak sedang bohongin aku, kan? Bilangnya udah punya kos, tapi masih nginep tempat teman.”

Agni memutar bola mata. Bicara dengan Hujan memang membutuhkan kesabaran tingkat dewa.

“Kamu tuh, bener-bener Mister Cerewet, ya.” Agni mengeluh. "Udah kayak tumpeng tahu nggak?"

"Kok, tumpeng?" Hujan kebingungan.

"Iya. Skala cerewetmu itu kayak tumpeng. Banyak, topiknya macem-macem, bisa dibuat makan orang serumah."

Hujan mendengkus geli. Dia tidak percaya jika dirinya disamakan dengan makanan yang sangat merakyat itu.

“Urusan aku mau numpang tempat orang atau nggak. Yang penting aku jauh-jauh dari kamu," imbuh Agni lagi.

Hujan menelengkan kepala. “Duh, ini anak. Tekadmu itu terbuat dari apa, sih? Keras banget. Kamu tinggal aja dulu di kontrakan aku. Nggak apa-apa. Suwer!” 

Hujan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V. Wajah lelaki itu bersungguh-sungguh.

“Atau jangan-jangan kamu itu bukan takut aku apa-apain. Tapi takut kamu nggak kuat mental ngeliatin aku terus, yo?”

“Sembarangan!” Agni langsung menyanggah. Wajah perempuan itu memerah. “Ge-er banget jadi orang.”

Hujan menyeringai lagi. Dia membukakan pintu mobil untuk Agni. Lelaki itu bersorak dalam hati karena tidak mendapat perlawanan dari si perempuan.

“Nah, gitu kan, cantik. Anteng, nurut. Cocok deh, dijadiin babu.”

“Sialan!” Agni memaki kesal.

Tawa Hujan pecah. Dia memutari bagian depan mobil dan masuk ke kursi pengemudi. 

“Ikut aku sebentar ke Gedung Serbaguna, yo. Aku mau tahu partner lomba aku.”

Perkataan Hujan menarik perhatian Agni. Perempuan itu ingin bertanya, tapi mobil sudah melaju. Terpaksa Agni menelan rasa penasarannya.

Sementara itu, berjarak beberapa puluh meter dari kendaraan Hujan semula berhenti, sepasang mata berlapis lensa kontak biru tua duduk terpaku di dalam mobil. Tangan bermanikur rapi mencengkeram roda kemudi kuat-kuat.

“Katamu nggak selingkuh. Tapi kamu sendiri udah buktikan perselingkuhanmu.”

Selvi menggigit bibir. Kebencian meluap deras dari hatinya. Kemarahan perempuan itu menggelegak hingga ubun-ubun.

“Lihat saja, Jan. Aku nggak bakal bikin kamu bahagia sama cewek itu. Pokoknya kamu itu cuma milikku.”

~~oOo~~


“Hah? Ikut kompetisi ini juga?”

Hujan yang baru selesai bertanya pada panitia menoleh. Tangannya memperbaiki ransel yang melorot di bahu.

“Kamu ikut juga?”

Agni mengeluarkan selebaran yang diperolehnya dari ketua kelas. Dia menunjukkan kertas berdesain menarik itu pada Hujan. Angka seratus juta rupiah terpampang gamblang di sana.

“Aku rencana mau ikut. Baru dapat siang ini dari kelas.”

“Udah punya partner?”

Alis Agni berkerut. “Kok, partner? Nggak ada ketentuannya, nih.”

Hujan dengan senang hati menjelaskan aturan kompetisi pada adik tingkatnya itu. Suara Hujan yang empuk terdengar hingga mereka keluar dari Gedung Serbaguna.

“Itu kompetisi dari salah satu bank swasta terkenal Indonesia. Tiap tahun ngadain tuh, mereka. Dan mekanismenya selalu sama, cuma hadiahnya doang yang beda-beda. 

Tahun ini tambah dua kali lipat dibanding tahun kemarin. Tapi bidang yang diperlombakan juga bertambah.”

Agni menatap Hujan seolah lelaki itu berasal dari negeri nun jauh. “Kamu kok, tahu banget?”

“Ya, iyalah. Tahun kemarin aku jadi panitianya.” 

Hujan menggamit lengan Agni agar mengikutinya ke kafetaria. Dia memesan kopi untuk dirinya dan jus alpukat untuk Agni. Ditambah sepiring tahu petis yang masih mengepulkan uap panas.

“Yang jadi panitia nggak boleh ikut kompetisi. Makanya tahun ini aku absen daftar panitia. Mending jadi peserta aja. Kalau menang bisa dapat seratus juta.”

Agni terdiam. Nominal uang yang disebut Hujan juga jadi incarannya.

“Tadi aku udah nanya. Masih sama aturan mainnya. Kompetisi diikuti oleh tim minimal dua orang. Ada tiga babak yang harus diikuti.”

Suara Hujan hanya sayup-sayup terdengar di telinga Agni. Informasi jika kompetisi harus diikuti secara tim membuat perempuan itu syok. 

“Kalau dengan tim, hadiahnya dibagi dua, dong,” celetuk Agni tiba-tiba.

Hujan yang tengah berbusa-busa menerangkan ini-itu langsung terdiam. Jarinya gatal ingin menjitak dahi perempuan di hadapannya.

“Kamu nggak dengerin aku ngomong, ya?” tuduh Hujan.

“Emang nggak,” jawab Agni jujur. Dia mengabaikan pelototan Hujan. “Itu beneran nggak bisa diikuti secara individual?”

Hujan menggeleng. “Harus tim. Biasanya kalau belum punya anggota, panitia akan terapkan sistem undian. Tapi kalau udah punya, ya langsung geber saja masukin proposal.”

Helaan napas berat Agni memancing rasa penasaran Hujan. Lelaki itu mencondongkan badan ke depan. Berhubung ukuran meja kafetaria termasuk kecil dan torso Hujan cukup panjang, jaraknya dengan Agni otomatis jadi memendek.

Dan Hujan tak ingin menarik diri.

Dia senang melihat wajah polos Agni. Bertahun-tahun berpacaran dengan Selvi yang sangat memuja penampilan serta perawatan diri membuat Hujan serasa memandangi oase kala bertatapan dengan Agni.

"Lo ngapain liat gue kayak gitu?" Agni menarik diri ke belakang.

"Mulai, deh." Hujan sewot. "Aku-kamu apa susahnya, sih?"

"Lah, sikapmu itu bikin orang kaget, tahu!" Agni memerah.

"Kamu salting?" Hujan penasaran. Dia makin condong ke depan. "Nggak biasa diliatin cowok, ya? Nggak pernah pacaran, ya?"

"Hujan! Apaan, sih?" Agni merasa kesal. 

Dia melempar sepotong tahu goreng ke arah Hujan untuk menutupi kegugupannya. Agni bisa merasakan seluruh wajah dan lehernya memanas.

"Kamu lucu juga." Hujan tertawa.

Agni melengos. "Baru kamu doang yang bilang aku lucu."

"Selama ini dibilang apa memangnya?"

"Jutek. Nyebelin. Pelit ngasih contekan."

Hujan manggut-manggut. "Sepakat. Kamu memang kayak gitu."

"Hujan!" Agni memekik kesal.

Tawa Hujan pecah. Dia suka menggoda perempuan itu. Lelaki itu baru berhenti tertawa setelah mendapat sepakan di tulang kering.

"Kayaknya kamu perlu tambahan julukan lagi. Barbar. Tahu nggak?" Hujan mengusap-usap kakinya yang sakit pasca ditendang Agni.

"Badanmu tuh, nggak gede. Tapi tenaga kayak banteng. Kamu cewek loh, Ni. Kalem dikit kenapa?"

"Dih, siapa kamu nyuruh-nyuruh aku? Levelku beda sama pacarmu, Bro. Aku biasa angkat galon mau kamu bandingin sama Selvi yang bulu mata copot aja udah nangis kejer."

Hujan mengernyitkan dahi. Dia menangkap nada sinis dalam suara perempuan itu. Sejujurnya Hujan tidak bisa menyalahkan Agni. Perempuan itu kehilangan pekerjaan karena ulah mantan pacarnya.

Namun, Hujan sedikit tak suka mengetahui Agni menjelek-jelekkan Selvi. Bagaimanapun Selvi adalah mantan kekasih yang pernah mengisi hatinya dengan kebahagiaan.

Selvi juga alasan mengapa Hujan ingin mengikuti kompetisi ini ….

"Woey, malah ngelamun." Agni melambai-lambaikan tangan di depan wajah Hujan.

"Kamu udah punya partner apa belum?" Lelaki itu mengalihkan topik pembicaraan.

Yang ditanya menggelengkan kepala. Wajah keruh Agni tertutupi aksinya menghabiskan minuman. Sengaja dia tak memandangi Hujan.

"Mau partneran sama aku?"

Agni tertegun. 

Tangannya hampir terulur menyentuh dahi Hujan. Gerakan refleks yang dipicu oleh sikap ramah lelaki itu. Agni ingin memastikan Hujan tidak sedang demam sampai menawarkan hal absurd seperti itu.

Namun, dia berhasil menahan diri tepat waktu. Agni mengepalkan tangan di bawah meja. Berusaha keras menahan diri agar tidak menyentuh Hujan.

"Kamu lagi demam, ya?" Agni melontarkan tanya dengan suara serak.

"Nggak. Kenapa, tuh?"

"Bisa-bisanya ngajak aku."

"Lah, emang kenapa? Aku pengen hadiahnya. Aku juga udah punya proposalnya. Kamu tinggal ongkang-ongkang kaki aja udah, biar aku yang kerja."

Agni menghela napas berat. Matanya menatap tajam pada lelaki di hadapannya.

"Kamu enak banget ya, kalau ngomong. Emang aku tipe pengangguran doyan duit?" Agni setengah kesal.

Hujan membuka mulut hendak menimpali pertanyaan Agni. Namun, dia teringat jika perempuan di hadapannya ini pasti termasuk pekerja keras.

"Sorry, aku udah bikin kamu tersinggung, yo?" Hujan merasa bersalah.

Agni menggeleng. Senyumnya terukir tipis.

"Sedikit, sih. Tapi nggak masalah. Aku nggak baperan, kok."

Ada kecanggungan yang muncul. Agni mengaduk-aduk sedotan dalam gelas kosong. Hujan beberapa kali melirik perempuan itu. Bingung juga harus berbicara apa.

Sampai kebisuan di antara mereka dipecahkan oleh Agni. "Memangnya kamu hadiahnya buat apa?"

"Sewa ruko di Suhat," jawab Hujan spontan. "Selvi pengen bikin butik di sana. Aku mau kasih ruko itu buat dia."

Mata Agni mengerjap-ngerjap. Mulut mungilnya terbuka lebar.

"Oh, jadi ini buat Selvi?" Perempuan itu tak tahu mengapa nada suaranya tiba-tiba berubah ketus. "Kalian itu sebenarnya udah putus apa belum, sih?"

~~oO~~


Ecieee, Hujan lagi ngeliatin readers-nya yang cakep. 😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro