8 Bagels Kebaperan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Di mana ada cinta, di situ ada luka.

~~oOo~~


Hujan terdiam.

Pertanyaan Agni sederhana. Apakah dirinya sudah putus atau belum dari Selvi.

Sangat sederhana. Namun, jawabannya ternyata tidak sesederhana itu.

Secara de facto dia sudah mengucap perpisahan pada Selvi. Berhubung mereka belum menikah, tak ada kewajiban untuk melegalkan perpisahan mereka ala tata cara de jure.

Namun, yang terjadi saat ini justru aneh. Hujan sudah putus, tapi dia masih melakukan hal besar demi Selvi.

Apa ini yang dinamakan galau?

Hujan bertanya dalam hati. Pandangannya hampa dan kosong, bingung memikirkan jawaban pertanyaannya sendiri.

"Woey, malah bengong aja. Kesambet setan gedung terus kesurupan baru tahu rasa kamu."

Lamunan Hujan terputus. Bibirnya tersenyum tipis.

"Tahu aja kalau di sini sering kesurupan. Anak Malang asli ya, Mbak?" Hujan menggoda.

"Yaelah. Pas maba dulu temen-temen seangkatan banyak yang kesurupan di Gedung Serbaguna. Itu kan, gedung memang angker."

Agni menatap Hujan lekat-lekat. 

"Kamu jangan mengalihkan pembicaraan. Pertanyaanku belum kamu jawab."

"Soal Selvi?" Hujan balik bertanya.

Melihat anggukan Agni, lelaki itu menghela napas berat. Dia menandaskan kopi. Tahu petis masih tersisa separuh, tapi tak lagi menarik selera Hujan.

"Cabut, yok?" Lelaki itu mengajak.

"Eh, makanannya?"

"Udah. Biarin aja."

"Eh, jangan. Mubazir, tahu." Agni mengeluarkan beberapa lembar tisu dari dalam tasnya dan membungkus tahu petis sisa dengan tisu-tisu itu.

Hujan mengerutkan dahi. Dia ingin berkomentar, tetapi berhasil menahan diri. Lelaki itu tak habis pikir apa Agni sebegitu hematnya sampai perlu membungkus kudapan yang tak seberapa harganya itu.

"Yok, cari kos–"

"Kamu tinggal di tempatku aja." Hujan memotong cepat.

"Tapi–"

"Biar mudah juga kita koordinasi. Mau bagian seratus juta gak?"

Protes Agni teredam. Dia setengah bergumam saat menjawab tawaran Hujan.

"Aku bukan cewek matre, tapi nggak nolak kalau dikasih duit."

"Cewek pinter." Hujan mengulurkan tangan dan mengacak-acak rambut perempuan itu.

Lagi-lagi Agni membeku. Pipinya kembali merona. Sensasi panas yang belakangan mulai familier kembali dirasakannya.

Duh, Hujan. Jangan bikin aku baper, dong.

Agni hanya bisa berjalan sambil menunduk. Tangannya mencengkeram tali ransel kuat-kuat. Dan sekali lagi, dia pulang bersama Hujan ke kontrakan lelaki itu.

"Kamu kamar di belakang aja. Udah dibersihin sama si Bibik. Barang-barangmu cuma ini doang?"

Agni mengangguk seraya menerima satu koper yang diberikan Hujan.

"Minimalis banget ya, kamu?"

"Bisa stop ledekin aku?" Agni melirik sebal.

Hujan langsung angkat tangan. "Oke, kita gencatan senjata dulu sekarang."

Lelaki itu balik badan, tapi segera menghentikan langkah. Dia kembali balik badan menghadap Agni saat mendengar suara lembut perempuan itu.

"Uang sewanya bakal aku bayar setelah dapat kerja sambilan lagi, ya?" Agni berkata malu-malu. 

Hujan menjilat bibir yang kering. Sosok Agni yang sekarang membangkitkan insting maskulinnya. Egonya sebagai lelaki muncul. Dia serasa ingin meraih Agni dan memeluk tubuh ramping itu erat-erat lalu membisikkan janji jika semua akan baik-baik saja.

Sayangnya Agni bukan siapa-siapa Hujan. Dan lelaki itu cukup bijak untuk menghormati Agni yang terlihat menjaga jarak dengannya.

"Oke." Hanya itu jawaban Hujan.

Wajah Agni semringah. Senyum tipis tersungging di wajah ayu itu. Hujan kembali balik badan.

"Kalau mau nyemil, ada di kulkas. Kalau mau masak, ambil sendiri juga bahannya di sana. Feel free di sini."

"Ada larangan lain?" tanya Agni memastikan.

"Nggak ada. Kalau kamu mau mandi bareng biar bisa hemat air, bisa langsung ke kamarku, kok. Nanti–"

"HUJAN!" Wajah Agni sudah semerah kepiting rebus.

Tawa Hujan terdengar keras. Lelaki itu melenggang pergi meninggalkan Agni seorang diri. 

Agni memastikan Hujan benar-benar menghilang dari pandangan sebelum menutup pintu kamar. Pandangannya lantas menyapu suasana sekitar.

"Aku nggak sedang bermimpi, kan?" Agni memelototi tempat tidur yang menempel di satu sisi dinding.

Kamarnya berukuran tidak terlalu besar, tetapi juga tidak terlalu kecil. Cukup untuk mobilitas seorang mahasiswi sepertinya. Furnitur yang terdapat di kamar tiga kali empat meter itu sangat fungsional.

Tempat tidur dengan laci-laci serbaguna di bawahnya. Lemari setinggi dinding yang memiliki banyak kompartemen. Tidak ada meja belajar, tetapi tempat belajar mungil disediakan tepat di samping jendela setinggi tembok.

"Dan aku punya karpet bulu tebal di sini." Agni duduk selonjoran. "Duh, aku bawa sial buat Hujan, tapi dia bawa keberuntungan buat aku. Win-win solution apa nggak sih, ini? Kenapa takdir aku gini amat coba?"

Monolog perempuan itu terhenti. Dia mengeluarkan selebaran berisi informasi kompetisi wirausaha muda. 

Digagas oleh Bank Tunggal Jaya yang merupakan salah satu bank tersohor di Indonesia, kompetisi kali ini terbagi dalam lima kategori dengan hadiah utama berupa uang pembinaan sebesar seratus juta rupiah.

"Industri jasa dan perdagangan, boga, kreatif, sosial, dan teknologi. Aku pengen ikut yang boga. Tapi harus satu tim sama Hujan. Entar dia malah pilih kategori lain."

Agni menggigit-gigit bibir. Pandangannya setengah melamun.

"Pokoknya Hujan harus kubujuk ambil kategori boga aja. Rukonya juga semoga bukan yang aku taksir sejak dulu."

Agni membuka ponsel bututnya. Ada beberapa gambar yang diambilnya saat lewat jalan Suhat Malang. Satu ruko di lokasi yang strategis, berukuran cukup besar, dua lantai, dan dibandrol dengan harga yang tidak terlalu tinggi.

"Tapi tetep aja mahal buat mahasiswi kere macam aku." Agni mengeluh. "Andai ruko itu bisa aku miliki, Mama bakal aku boyong ke sini aja dan temenin aku sampai kuliah selesai. Rumah di Jakarta biar disewakan ke orang laen. Untung semualah."

Napas perempuan itu berat. Dia mengamati lagi selebaran lecek di tangannya. Agni hanya berniat rebahan sebentar untuk memulihkan tenaga.

Nyatanya dia bablas ketiduran. Dia baru terbangun saat merasakan hidungnya gatal digelitiki sesuatu. Kala membuka mata, jeritan perempuan itu membahana kencang.

"Buset, ini aku!" Hujan buru-buru membekap mulut Agni.

Mata Agni terbelalak. Tangannya berusaha melepas bekapan lelaki itu.

"Aku lepas asal jangan jerit-jerit lagi. Dikira aku mau ngapa-ngapain anak orang entar."

Agni mengangguk. Begitu Hujan melepaskan tangan, perempuan itu langsung menyembur panik.

"Kok, bisa masuk? Kamu punya kunci cadangan, ya? Aku tadi udah tutup pintunya. Kamu ngapain ke sini? Kamu mau niat jahat sama aku?"

Hujan mengembuskan napas keras. Kepala lelaki itu menggeleng-geleng.

"Kamu bisa berhenti negative thinking sama aku? Tadi aku udah ketuk pintu kamarmu, tapi gak ada jawaban. Aku juga udah izin mau masuk, kok. Pintunya nggak dikunci."

Agni memicingkan mata setengah curiga. Namun, ingatannya berangsur-angsur kembali.

"Mau apa ke sini?" tanya Agni galak.

"Nih, makan malam. Tadi aku beli fuyunghai."

Agni masih menatap penuh selidik. "Kok, makan malam?"

"Ini udah jam tujuh, Non. Makanya tidur tuh, jangan kayak kebo. Ngebangunin kamu serasa bangunin orang mau sahur. Susah banget."

Agni terbelalak. "Tujuh malam?"

"Iya. Hei, mau ke mana?"

"Kamar mandi? Mana kamar mandi?"

Hujan menunjuk arah luar kamar. "Pintu dekat lemari kaca."

Agni langsung menghambur tanpa mengindahkan Hujan. Tinggallah lelaki itu seorang diri di kamar teman barunya.

"Dia aneh banget. Emang cewek segitu random, yo?"

***

Agni melupakan makan malam pemberian Hujan. Begitu keluar dari kamar mandi, perempuan itu langsung pergi dari kontrakan dan baru pulang mendekati pukul dua belas malam.

Hujan dibuat heran. Namun, dia tidak bertanya macam-macam. Hanya saja rasa penasaran Hujan kembali diuji saat pukul tiga pagi dia terbangun karena mendengar suara berisik di dapur.

"Kamu ngapain?" Hujan bersandar ke kosen pintu dapur.

"Oh, maaf. Bangunin kamu, ya?" Agni menghentikan kegiatannya. "Aku bakal lebih pelan. Tidurlah lagi."

Namun, Hujan tidak menuruti perintah Agni. Dia justru berjalan menghampiri perempuan itu.

Di meja dapur bertebaran banyak bahan makanan. Lantai dapur cukup bersih pertanda Agni bukan tipikal jorok. Dapurnya memang berantakan, tetapi tidak kotor menjijikkan.

"Bikin kue?" tanya Hujan lagi begitu mengamati bahan-bahan yang berada di atas meja dapur.

Agni mengangguk. Dia masih tekun menguleni adonan berwarna merah hingga kalis.

"Besok Pasar Minggu. Aku mau siapin jualan."

Hujan mengernyit. "Jualan … maksudnya jualan di lapak gitu?"

Agni mengangguk. "Nggak di lapak sendiri, sih. Aku nitip di beberapa tempat. Lumayan hasilnya. Bisa buat makan tiga-empat hari ke depan."

"Tiap pekan gini?"

Agni mengangguk. Dia memasukkan adonan merah ke cetakan kue, mengisinya dengan kacang hijau yang sudah direbus dan dihaluskan, kemudian menekan-nekan cetakan.

Bentuk stroberi indah muncul setelah Agni mengeluarkan adonan dari cetakan. Dia mengatur kue tradisional itu di kukusan dan mulai memasaknya.

"Selesai." Perempuan itu tersenyum lega.

"Kamu belum tidur?" 

Agni mengangkat bahu. "Nih, mau tidur. Sebentar. Aku pasang timer dulu."

Hujan menahan tangan Agni. "Itu namanya bukan tidur. Ini ngukus berapa lama? Dua jam?"

"Duh, niat habisin gas? Nggaklah. Cuma setengah jam doang."

Hujan menyambar ponsel Agni dan mematikan timer perempuan itu. Tinggal Agni yang langsung senewen dengan ulah Hujan.

"Tidur!" perintah Hujan galak.

"Eh, tapi kue aku …."

"Biar aku yang urus. Setengah jam doang kan, ngukusnya?"

"Hujan, nggak bisa gini, dong." Agni protes.

"Kamu kalau pasang timer, entar pasti kebangun. Habis itu kamu nggak bisa istirahat lagi. Sama aja kamu cuma tidur setengah jam doang."

Agni terdiam. Dia tidak menyanggah perkataan Hujan karena memang benar adanya.

Namun, perempuan itu tidak bisa menerima bantuan Hujan terus-menerus. Sungkan dia dengan kebaikan lelaki itu.

"Udah, tidur sana." Hujan mendorong bahu Agni.

"Tapi …."

"Tidur sendiri atau mau aku gendong ke kamar terus aku tidurin?"

Agni terbelalak. Secepat kilat dia melesat menjauhi Hujan. Teriakan perempuan itu bergema di dalam rumah.

"Dasar Hujan mesum!"

~~oOo~~

Feel free banget buat bantuin Hujan dan Agni dengan tap love kalian. Betewe, siapa yang mau Agni dan Hujan jadi pasangan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro