9 Molten Chocolate Cake yang Melelehkan Kerinduan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sambil dengerin lagu ini, ya ....

https://www.youtube.com/watch?v=SHj2kJzVi_g

Sometimes we lose people because we over love them.

~~oOo~~

Hujan duduk di atas jok motor. Demi menghindari macet, lelaki itu sengaja naik kendaraan roda dua alih-alih mobil. Dan kini, sosok ganteng Hujan malah menarik perhatian para lawan jenisnya yang tengah melintas.

"Lama amat si Agni," keluh Hujan. "Tahu gini aku bawa mobil tadi."

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Yang dibicarakan Hujan akhirnya muncul. Wajah memerah Agni terlihat semringah. Langkahnya setengah berlari menghampiri Hujan. Senyum yang terkembang di wajah polos itu tiba-tiba meningkatkan debar jantung Hujan beberapa puluh bpm (beats per minute).

"Hujaaan, makasih. Dagangan aku habis." Agni melambaikan satu kotak plastik besar di antara setumpuk tinggi kotak.

"Aku bawa hoki, ya?" Hujan balas tersenyum tak kalah lebar.

"Dih, pede banget." Meski berkata seperti itu, Agni tak urung mengangguk semangat. "Kamu juga pinter jadi babu pula. Makasih ya, bantuannya pagi tadi."

Hujan menyeringai. Ejekan Agni tak sampai ke hatinya. Namun, ucapan tulus terima kasih perempuan itu menghangatkan hati Hujan.

"Pulang, yok?"

"Eh, aku naik angkot aja." Agni menggeleng. "Ribet bawa kotak banyak gini kalau naik motor."

Hujan mengernyit. Dia tak suka penolakan Agni. Pagi tadi dia membiarkan perempuan itu pergi seorang diri ke Pasar Minggu membawa dagangan. Namun, saat berniat mengambil hasil jualan di siang hari, Hujan langsung menawarkan diri mengantar.

Mata Hujan mengamati motor yang dinaikinya. Motor sport yang jelas susah buat bawa kotak-kotak plastik gede milik Agni. Akan tetapi, lelaki itu juga tak mau membiarkan Agni naik angkot sendirian. 

"Tunggu bentar." Hujan mengotak-atik ponsel pintarnya.

Selang lima menit kemudian, satu ojek daring datang. Agni terbengong-bengong kala Hujan memberikan kotak plastik kepada abang ojek.

"Antar sesuai alamat, ya?"

Agni terbelalak. "Eh, Hujan. Nggak bisa gitu. Masak aku–"

"Habis ini kamu ikut aku. Ada yang perlu kita omongin soal kompetisi wirausaha muda kemarin."

Mendengar kata kompetisi, Agni langsung menelan protes. Dia tak keberatan jalan bareng Hujan. Namun, Agni tak mengantisipasi kekesalan Hujan yang harus menunggu lama di parkiran dan kepanasan disengat matahari Malang jam dua siang.

"Pegangan," perintah Hujan saat Agni naik ke belakang.

"Udah pegangan ini." Agni tak bohong. Tangannya mencengkeram pinggiran dudukan belakang.

"Jatuh kamu nanti kalau nggak meluk aku."

Agni terbelalak. Posisinya serba salah. Dia mencegah dirinya berdekatan dengan Hujan. Namun, motor sport lelaki itu membuat Agni juga terpaksa menungging jika Hujan ngebut.

"Jangan kenceng-kenceng aja bawanya," ujar Agni kagok.

"Lah, ngapain pake motor sport kalau nggak dipake ngebut?" Hujan mengeluh.

Tangannya terulur ke belakang. Agni terkesiap keras saat Hujan menariknya ke depan. Perempuan itu meluncur turun hingga berada di jok depan.

"Hujan, aduh. Sempit!" Agni panik.

"Badanmu kecil. Satu jok aja cukup. Ketimbang kamu nungging entar. Pegangan!"

Agni masih menolak perintah Hujan. Namun, sekali lagi perempuan itu memekik kaget. Pasalnya Hujan membawa tangan Agni melingkari pinggangnya dan segera menggeber gas kencang.

Kendaraan roda dua itu melesat meninggalkan parkiran. Hujan tak memberi kesempatan Agni meneruskan protesnya. Bibir lelaki itu menyeringai di balik helm full face karena Agni yang memeluknya sangat erat dari belakang.

Suara raungan mesin menarik perhatian pengguna jalan yang lain. Kali ini Hujan jahil. Arus lalu lintas yang masih sedikit ramai membuat lelaki itu sengaja mengerem dadakan beberapa kali.

Dan Hujan dapat rezeki nomplok. Dengan Agni di belakang, acara rem mendadak itu membawa anugerah luar biasa besar untuk lelaki itu. Tanpa perlu bertanya Hujan bisa memperkirakan berapa ukuran dada Agni.

Di Simpang Balapan Hujan ambil arah ke kiri. Jalan Ijen dengan deretan rumah-rumah megah dan trotoar yang ditanami pohon palem botol menyejukkan mata. Hujan dan Agni melewati Monumen Melati, lantas berbelok ke arah kampus UM dan mulai masuk ke jalur padat merayap menuju Dinoyo.

"Jan, mau ke mana, sih?" Agni berteriak di tengah deru kencang angin.

"Loe Min Toe, kafe temen aku. Sekalian makan siang di sana. Kamu belum makan, kan?"

"Tapi–"

"Tenang. Aku yang traktir. Gantinya nanti kamu harus setuju sama proposal yang aku bikin. Oke?"

***

Selvi baru saja mematikan mesin mobil saat satu kendaraan roda dua berhenti tepat di depannya. Perempuan itu menyipitkan mata, merasa kesal karena jalur mobilnya ditutup oleh pendatang baru.

"Gimana entar aku keluarnya?" Selvi menggerutu. "Moga aja dia nggak lama di–"

Bola mata Selvi membeliak lebar. Didorong alasan yang tidak dimengertinya, Selvi merundukkan badan sangat rendah dan berharap si pengendara motor tidak melihatnya.

Namun, detik berikutnya Selvi memukul kepalanya sendiri. Perempuan itu bersungut-sungut.

"Kenapa aku yang sembunyi? Kan, Hujan yang selingkuh?" 

Embusan napas Selvi keras terdengar. Disambarnya tas kecil dan bergegas keluar mobil. Pengendara motor beserta penumpangnya sudah tak terlihat lagi di halaman kafe.

Langkah Selvi panjang-panjang melewati pintu masuk dengan ukiran Jawa yang kental. Lantunan gending dari pelantang suara menyambut kehadiran perempuan itu di kafe Loe Min Toe.

"Itu Hujan? Wah, ternyata beneran dia selingkuh sama si pegawai resto itu." Selvi mengepalkan tangan. Tidak peduli telapak tangannya kesakitan karena tertusuk kuku hasil manikur, Selvi hanya ingin menahan diri tidak melabrak pasangan itu.

"Mas. Mas." Perempuan itu memanggil satu pelayan yang kebetulan lewat. "Saya pesen sama seperti yang dipesen cowok di meja sana itu, ya."

Pelayan melihat ke arah Hujan lalu mengangguk. Dia meninggalkan Selvi seorang diri. Mengambil tempat duduk di satu meja tepat di bawah tangga, posisi Selvi tersembunyi cukup baik.

Lalu mata tajam Selvi menangkap gerakan Hujan yang mengeluarkan satu berkas dari ranselnya. Perempuan itu menyipit, berusaha melihat lebih saksama penampakan sampul berkas dari jarak yang tidak terlalu jauh.

"Itu kan, Kompetisi Wirausaha Muda yang diadakan kampus?" Selvi menelengkan kepala. "Hujan mau ikut? Perasaan tiap tahun dia selalu jadi panitianya. Jangan-jangan …."

Perkataan Selvi tidak tuntas. Keningnya berkerut-kerut dalam. Kecurigaan perempuan itu muncul dengan cepat.

"Wah, nepotisme ini pasti," gumam Selvi. "Pasti itu cewek minta Hujan buat ngelolosin proposalnya."

Deceh keras terdengar dari mulut perempuan itu. Diam-diam Selvi menyalakan kamera ponsel dan mulai merekam adegan Hujan dan Agni. Tampak mantan pacarnya tengah menjelaskan sesuatu di proposal yang disambut Agni dengan anggukan kepala berkali-kali.

Namun, ada juga saat di mana wajah Agni terlihat tegang. Dari tempatnya duduk, Selvi tidak bisa mendengar percakapan dua orang itu. Namun, dia yakin jika saat itu Hujan dan Agni tengah berdebat.

"Duh, mereka ngomongin apa, sih? Aku kan, kepo." Selvi mengeluh.

Durasi rekaman video itu terpaksa berakhir saat Agni tiba-tiba bangkit. Perempuan itu berjalan pergi meninggalkan Hujan yang kerepotan membereskan barang-barangnya. Kerut di kening Selvi makin banyak. 

"Eh, mereka lagi berantem? Wah, asyik, nih."

Selvi juga buru-buru beranjak dari kursinya. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini saat dirinya sangat kesulitan bertemu Hujan pasca mereka putus.

"Hujan!" panggil Selvi keras.

Yang disapa menghentikan langkah. Hujan menoleh hanya untuk mendapat serangan pelukan dari Selvi.

"Selvi? Ngapain kamu di sini?" Hujan kebingungan.

"Kangen kamu." Perempuan itu berkata tanpa malu-malu. Mata berlapis lensa kontaknya melempar tatapan pada Hujan.

"Sel, jangan gini. Malu dilihatin orang." Hujan melepas pelukan sang mantan.

"Kamu nggak kangen sama aku?"

Hujan mematung. Selvi mengetahui perubahan suasana hati Hujan.

"Aku tahu, kamu masih cinta aku, Hujan," ucap perempuan itu lagi. "Kita masih bisa bersama. Benar, kan?"

~~oOo~~

Eh, tolong. Ini kenapa Selvi malah agresif ngajak Hujan balikan? Emansipasi sih, emansipasi. Tapi .... Kenapa harus Selvi?
-author's note-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro