21.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah mengantar Papa dan Mama kembali ke mobil, Jeffrey dan Gladis berjalan bersisian menuju sisi lain tempat parkir. Mereka kini sudah berada di dalam mobil, namun Jeffrey tak segera menyalakan mesinnya. Pria itu malah terdiam memandangi Gladis dengan tatapan yang susah diartikan.

"Shasha."

"Hm?"

"Mau peluk."

"Nggak."

Jeffrey mendesah. "Tuh kan, bener, kamu jadi manis di depan Mama Papa aja. Giliran berdua, kamu cuek lagi sama aku."

Tatapan mata Gladis berubah jenaka. Ia menahan tawanya agar tidak pecah. Gadis itu tidak langsung termakan ucapan Jeffrey yang setengah ngambek.

"Jangan-jangan, ucapan yang kamu mau nikah sama aku juga main-main."

Mata Gladis membulat. "Nggak gitu, Jeffrey. Itu sih aku jahat banget."

"Jadi, beneran mau nikah sama aku, kan?" Gladis hanya tersenyum manis. "Iya atau nggak? Jangan bikin jawaban multitafsir."

"Aku mau tanya dulu ke kamu," ucap Gladis. Ia membenahi posisi duduknya hingga menghadap Jeffrey dengan lebih leluasa. "Kenapa kamu bisa yakin banget kalau aku ini jodoh kamu? Kita kenal belum sampai setahun lho."

Jeffrey tersenyum. Ia ikut duduk menyamping. Kaki kirinya ia lipat di atas kursi pengemudi.

"Kamu pernah baca cerita tentang werewolf nggak?"

"Serigala? Twilight?"

"Twilight lebih ke vampire sih."

Gladis mengerutkan kening. "Terus apa hubungannya sama pertanyaan aku?"

"Dari cerita-cerita serigala yang aku baca, para serigala nantinya akan menemukan pasangan seumur hidupnya, mate. Mereka bisa tahu dari aroma pasangannya."

Gladis tertawa. "Jadi, maksud kamu, kamu tahu aku mate kamu dari bau badan?"

"Dari perasaan aku," jawab Jeffrey jujur sambil tetap serius memandang ke dalam mata Gladis. "Begitu ketemu kamu, aku jadi tahu rasanya para serigala waktu nemuin mate mereka. Yah, serigala juga kan salah satu hewan yang melambangkan kesetiaan meskipun garang di luar."

"Kamu kebanyakan baca novel nih."

"Aku serius, Shasha," tegas Jeffrey. "Aku cuma mau kamu. Aku cuma butuh kamu."

Gladis terdiam sesaat. Ia balik menyelami mata Jeffrey. "Sampai akhir?"

"Sampai akhir."

"Sampai mati?"

"Sampai mati."

Gladis memutus tatapannya. Ia menggeleng. "Nggak ada yang bisa menjamin."

"Shasha, hubungan kita nggak terjamin langgeng kalau kamu sendiri nggak yakin." Jeffrey tersenyum tipis. "Aku minta tolong ke kamu untuk percaya aku. Kita berjuang bareng. Kita jalan bareng. Ya?"

"Aku coba."

"Nggak papa, yang penting kamu sudah mau usaha," Jeffrey mencubit pipi Gladis pelan sebelum menghidupkan mesin mobilnya. "Kita balik hotel, ya? Katanya kamu mau kenalin aku ke temen kamu."

"Oh iya, Ghina," ucap Gladis saat teringat dengan sahabatnya. "Bentar aku kasih kabar dulu ke dia."

Jeffrey mengangguk. Ia mengeluarkan mobilnya dari tempat parkir. "Jadi, namanya Ghina?"

"Iya. Sejak masuk kedokteran, aku punya tiga teman dekat yang sampai sekarang masih awet. Ghina, Naya, Loli." Gladis berkata sambil tersenyum lebar. Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah mengirim pesan. "Kalau kamu gimana? Ada temen dekat kan pasti?"

"Ada. Karena setengah hidup aku ada di arena balap, orang-orang terdekat ya ada di ranah itu juga. Lawan jadi kawan di luar sirkuit. Kru aku. Banyak pokoknya."

"Kalau teman main biasa?" tanya Gladis penasaran. "Atau teman di Indonesia? Masa kamu di Indo orang terdekatnya cuma aku?"

Jeffrey mendengus geli. Ia melirik sekilas ke samping. "Nggak lah. Ada juga teman Indo. Deket juga kok sama mereka."

Gladis manggut-manggut. "Kamu kalau sama temen-temen kamu gimana?"

"Nongkrong, ngobrol, main. Ya sama kayak hubungan pertemanan pada umumnya," jawab Jeffrey santai.

"Kalau... Jingga? Dia teman kamu juga?" tanya gadis itu hati-hati. Jujur saja, Gladis sudah penasaran dengan topik ini dari jauh hari, tapi berhasil ia tahan hingga kini.

"Kenapa memangnya?"

"Ya... cuma tanya."

"Kamu cemburu?"

Gladis mengangkat kedua bahunya, pura-pura cuek. Ia memandangi jalanan di luar jendela. "Nggak kok. Kalau kamu ada apa-apa sama dia, ya nggak papa. Aku nggak berhak melarang juga."

Jeffrey mendengus geli. Tangan kirinya terulur mengusap lengan atas Gladis sejenak, lalu kembali bersarang di atas setir. "Jingga masa lalu aku. Sekarang ya cuma teman biasa."

"Pernah pacaran?" tanya Gladis. Kini atensinya terarah pada Jeffrey.

Jeffrey menggeleng. "Cinta monyet. Ya, anak umur lima belas tahun tahu apaan sih."

"Kayaknya nggak gitu deh," komentar Gladis. "Kamu bela-belain pulang untuk ke pernikahan dia. Padahal kamu jarang balik Indo."

"Bisa dibilang, karena dia aku jadi atlet pembalap motor kayak sekarang. Lucu ya? Nggak sepenuhnya karena dia sih. Cuma, waktu aku ragu untuk melanjutkan mimpi jadi pebalap ikutin jejak Om Adam karena ditentang orang tua, sedangkan dia masih dukung aku terus."

"Oh, gitu."

"Jangan ngambek."

"Nggak kok," kilah Gladis, padahal dalam hati ada sedikit rasa gondok. "Semua orang punya masa lalu. Aku maklum."

Jeffrey mengangguk setuju. "Iya, kamu masa kini dan masa depan aku."

Tak ada balasan. Jeffrey sampai harus menoleh ke samping. Ternyata Gladis sedang mengipasi wajahnya yang tiba-tiba memanas. Jeffrey langsung tertawa melihatnya.

"Ciee, baper ya?" goda Jeffrey.

"Nggak!"

"Baper dong."

"Dikit," lirih Gladis.

"Yes!" Jeffrey menepuk setir dengan semangat. Dia senyum-senyum sendiri.

"Jeffrey."

"Ya?"

"Kamu beneran kan ini? Nggak bakal main-main sama aku?"

"Iya, Shasha."

"Nggak ada cewek lain, kan?" Gladis menautkan jemarinya di pangkuan.

Jeffrey melirik ke samping. Rupanya ini yang membuat Gladis meragukannya. Jeffrey kurang lebih bisa mengerti. Hubungan terdahulu gadis itu rusak oleh karena kehadiran orang lain.

"Cuma kamu," jawab Jeffrey sambil mengangguk mantap.

Mereka sampai di hotel. Mobil telah berhasil diparkir. Jeffrey mematikan mesinnya, namun ia tak langsung keluar. Lagipula Gladis masih diam saja.

"Shasha," Gladis menoleh. Ia membiarkan tangan kanannya digenggam Jeffrey. "Percaya sama aku, ya?"

Gladis mengangguk perlahan. Ia tersenyum.

"Aku percaya."

Jeffrey balas senyum. Ia melepaskan tangan Gladis. "Ya sudah. Ayo kita turun. Nanti temen kamu kelamaan nunggu."

Jeffrey dan Gladis berjalan bersisian. Saat mereka sampai di lobby, Jeffrey pamit ke kamar mandi dulu. Gladis langsung menghampiri Ghina yang sudah duduk menunggu sambil sibuk dengan gawainya.

Gladis menjatuhkan diri di sofa sebelah Ghina. Sahabatnya itu menoleh. Wajah Ghina seketika cerah, haus akan gosip.

"Disss, gimana? Gimana? Lancar, nggak?"

"Apanya?"

"Ketemu sama keluarganya."

"Lancar," jawab Gladis. Ia membenahi posisi duduk. "Papa Mama dia welcome banget sama aku."

"Bagus dong!" Ghina bertepuk tangan. Ia mencolek dagu Gladis main-main. "Terus ini kenapa mukanya kusut? Si doi mana?"

Gladis menggeleng. "Nggak kusut kok, cuma agak mikir aja. Hm, orangnya lagi ke toilet."

"Mikir apaan?"

"Kayaknya aku mulai bisa buka hati sepenuhnya untuk dia. Selama ini dia tahan banget sama aku."

"Kamu ngerasa bersalah?"

"Sedikit," Gladis tertawa kecil. "Aku mau buka hati bukan karena rasa bersalah, tapi kayaknya aku sudah mulai sayang sama dia, Ghin."

Ghina tersenyum. Ia merangkul bahu Gladis dan menepuknya dengan bangga. "Bagus. Sudah move on. Sudah nggak sakit hati. Aku dukung selama kamu memang yakin dan bisa bahagia sama dia."

"Makasih, Ghina," senyum Gladis makin terkembang.

"Shasha."

Gladis mendongak. Ia berdiri dan menarik lengan Jeffrey agar mendekat. Gadis itu menghadap si sahabat memperkenalkan sosok si doi.

"Ghina, kenalin ini Jeffrey," ucap Gladis. Ia mendongak, melihat wajah Jeffrey yang berdiri terpaku. "Jeffrey, ini Ghina. Sahabat aku."

"Dis, ini... ini...," Ghina mengacungkan jari telunjuknya tanpa sopan santun pada Jeffrey. "Kamu beneran jalan sama dia?!"

Gladis mengangguk bingung. "Iya." Gadis itu melihat bergantian antara Ghina dan Jeffrey. "Kalian saling kenal?"

"Wah, gue pangling sama rambut lo," komentar Jeffrey. Matanya berkedip cepat. "Dunia memang sempit ya."

Wajah Ghina memerah. Ghina mengabaikan ucapan Jeffrey. Ia menarik tangan Gladis hingga temannya itu berdiri di sisinya.

"Dis, aku mau kamu bahagia, tapi...," Ghina mengalihkan pandangannya pada Jeffrey dan memberikan tatapan tajam. "Kamu nggak akan bahagia sama cowok macam dia."

"Maksudnya?"

"Kamu tuh anak baik-baik. Nggak pantas sama dia."

Jeffrey kalang kabut. Ekor mata Gladis memperhatikan tingkah lakunya. Gladis jadi makin penasaran dan bertanya lebih lanjut pada Ghina.

"Maksud kamu, Ghin?"

"Jef itu suka tidur sama cewek lain!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro