22.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jeffrey mendesah panjang. Entah untuk yang keberapa kalinya dalam satu hari ini. Ponsel di tangannya beralih tempat ke atas meja. Jeffrey merebahkan tubuhnya di bangku dalam van milik kru-nya. Kaki panjangnya dibiarkan menggantung. Ia menghalau sinar matahari yang masuk ke dalam mata dengan lengannya.

"Jef, ayo, pindah ke box."

"Nanti."

"Kenapa lo?"

Jeffrey bangun dari posisi berbaring. Ia meraih ponsel miliknya dan melemparkannya pada Adam. Untung saja Adam dengan sigap bisa menangkapnya.

"Shasha?"

Jeffrey mengangguk lemah. Ia mengacak rambutnya. "Masih nggak bisa dihubungin. Gue kirim pesan juga nggak ada balasan. Gue jadi nggak semangat."

"Di luar banyak fans lo."

"Beda, Om."

Adam berdecak kesal. Ia menendang pelan kaki Jeffrey lalu mengedikkan dagunya ke arah pintu. Kalau sudah begini, Jeffrey tak bisa mengeluh lagi. Tanpa semangat ia berdiri dan mulai melangkah pergi.

"Lo nggak ikut?"

"Nyusul. Masa mau cenglu naik motor?"

"Oh, kirain lo yang mau boncengin gue," balas Jeffrey sambil memakai snapback di kepalanya secara terbalik. "Titip HP ya."

Adam mengangguk. Ia membersihkan bekas makan Jeffrey sebelum berlalu keluar van. Adam tersenyum lebar mendengar sorak sorai pendukung setianya yang kini ganti mendukung Jeffrey. Fans turunan.

Pria berusia empat puluh lima tahun itu mengendarai motor ke box, menyusul Jeffrey. Begitu masuk ke ruang ganti, ternyata ponakannya itu sedang mengganti baju menjadi pakaian full protection untuk turnamen nanti. Seorang kru pria membantunya memakai pelindung lutut.

"Gue tahu lo lagi patah hati, Jef," ucap Adam. "Tapi jangan lupa nikmatin turnamen ini."

Jeffrey mengangguk tanpa minat. Seluruh persiapan yang ia lakukan nyaris sempurna. Kurang kehadiran Gladis saja di hidupnya.

Adam meraba-raba kantung celana. Ada getaran. Ia menarik keluar ponsel miliknya, tapi ternyata benda itu tidak menunjukkan hal apa pun. Adam merogoh kantung di sisi lain celana. Ternyata yang bergetar adalah ponsel Jeffrey.

Tanpa meminta izin, Adam membuka ponsel Jeffrey yang memang tidak pernah dikunci. Tatapan mata Adam beralih bergantian dari Jeffrey yang masih sibuk sendiri lalu pada pesan masuk di tangannya. Adam lancang membacanya.

"Jeffrey, semangat ya."

"Aneh banget lo," komentar Jeffrey menggerutu. "Iya, gue bakal menang, sesuai mau lo."

"Katanya menang itu nggak penting, yang utama pulang dengan selamat."

Jeffrey mengerutkan dahi. "Tumben lo ngomong gitu."

Adam menggeleng. Ia mengangkat ponsel di tangannya. "Gue cuma bacain pesan masuk di HP lo."

Jeffrey tak langsung mengerti. Sedetik kemudian matanya melebar. Ia menyambar ponselnya dari tangan si Om.

"Dari Shasha!" pekik Jeffrey kesenangan. Dia loncat-loncat tanpa tahu malu. "Ah, gue mau telepon dia."

"Jangan." Larang Adam sambil merebut ponselnya. Takutnya, mood Jeffrey akan kembali turun jika teleponnya diabaikan. "Buruan persiapan. Gue liat motor lo dulu."

Bahagianya Jeffrey berbuah manis. Ia berhasil memboyong titel juara satu. Pria itu naik ke podium dengan bangga. Senyumnya lebih lebar daripada biasanya. Meskipun ia sedang menghadapi banyak orang di bawah sana, pikiran Jeffrey hanya tertuju pada Gladis. Dalam hati ia mengucap rasa terima kasih pada gadis itu. Kalau bukan karena pesan singkat yang diberikannya, mungkin Jeffrey tidak akan semangat, nyaris gila-gilaan, memacu kecepatan motornya. Maklum, di babak kualifikasi, posisi Jeffrey tidak terlalu menguntungkan.

Begitu turun, tubuh Jeffrey langsung diangkut oleh teman-teman satu tim. Mereka berteriak bersama. Tentu saja, kemenangan Jeffrey adalah kemenangan bersama. Para anggota tim nyaris pesimis saat tahu konsentrasi pembalap andalan mereka sangat kacau karena masalah cinta.

Dasar, budak cinta. Berasa umur masih belasan tahun saja. Harusnya, Jeffrey bisa memisahkan masalah pribadi dengan masalah pekerjaan. Sejak mengenal Gladis, Jeffrey sedikit berbeda. Dia tidak bisa bertanding tanpa sumber kekuatannya.

"Om, HP gue," pinta Jeffrey begitu ia melihat wajah Adam.

"Masih ada press conference. Persiapan sana."

Jeffrey berdecak. "Serius? Itu nggak penting sekarang."

"Penting lah, Jef," kesal Adam. "Lo baru menyetak sejarah baru. Dari posisi start ke-tujuh bisa meroket di akhir, mana lo cetak rekor tercepat untuk satu lap. Pertandingan dua lap terakhir juga seru. Tuh, tim sebelah aja jiper lihatnya."

"Eh, seriusan?"

Adam mengangguk meyakinkan. "Sumpah, gue nggak pernah lihat lo semangat kayak tadi. Gue sampai takut lo bakal cedera. Lain kali jangan gitu ya."

Jeffrey meringis. "Kebanyakan bahan bakar, Om. Kayak hujan di tengah kemarau. Seger."

"Ya sudah, sana. Siap-siap. Gue yakin cewek lo juga nonton pertandingan ini dari Indo."

"Bener juga," pekik Jeffrey. "Ah, gue mau ninggalin pesan khusus untuk dia."

Adam mengacak rambut Jeffrey dan mendorongnya masuk lebih dalam ke Box. "Jangan berlebihan. Kata lo, dia kan pemalu. Bisa-bisa malah kabur tuh anak."

Kebahagiaan Jeffrey hanya bertahan tiga jam. Dimulai dari mulai balapan hingga selesai acara selebrasi bersama tim. Begitu dirinya bisa memegang ponsel, Jeffrey langsung mencoba menghubungi Gladis. Teleponnya langsung di-reject di dering pertama. Luigi, pembalap lain di timnya sampai bingung. Kejuaraan dunia bisa dikalahkan oleh rasanya putus cinta.

"Perlombaan dua minggu ke depan ikut nggak, Jef?"

Jeffrey melepaskan pandangannya dari layar ponsel. Percuma. Gladis tidak lagi mengiriminya pesan.

"Dua inggu ke depan? Dimana?"

"Sepang, Malaysia."

"Oh," Jeffrey berpikir sejenak.

Tatapannya terarah pada Adam yang saat ini sedang minum-minum di meja lain. Pelatihnya itu pasti akan marah jika Jeffrey lagi-lagi berulah. Kemarin saja dia sudah diberi kebebasan selama empat bulan. Jelas Adam tidak mau melewatkan pertandingan seri lain untuk Jeffrey di musim MotoGP kali ini.

"Mungkin," balas Jeffrey sambil berdecak kesal. Sejujurnya Jeffrey amat, sangat, ingin, banget, pulang ke Indonesia untuk bertemu dengan Gladis.

"Ajak saja dia untuk datang. Malaysia dan Indonesia dekat," usul Luigi.

Jeffrey menghembuskan napas panjang. "Not that easy, dude."

Luigi tertawa kecil. Ia menggeleng. Rekannya itu jelas sekali tidak menikmati pesta ini. Padahal dia lah artis utamanya.

"Apa yang lucu?"

"Tidak ada," jawab Luigi. Ia tersenyum miring. "Aku penasaran dengan gadis yang dapat membuatmu kesal seperti ini."

Jeffrey mengatupkan bibirnya. Dia bangkit berdiri sambil memakai topi. Pria itu pergi tanpa mengucapkan satu patah kata pun.

Adam mengamati kepergian si keponakan. Dia sadar. Percuma Jeffrey dikejar, bocah itu malah makin marah nantinya. Biar saja Jeffrey merenung sendiri. Hanya si pawang, Gladis, yang dapat menjinakkannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro