25.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepanjang sisa malam itu, Jeffrey ekstra keras menemani Gladis. Ia menyediakan bahunya sebagai tempat bersandar. Tangannya bekerja mengusap bahu Gladis memberinya ketenangan. Jeffrey rela memberikan jaketnya yang kebesaran pada Gladis untuk menghalau dinginnya udara malam.

"Niko ke rumah aku."

Jeffrey menoleh. Gladis sedang menerawang ke depan. Ekspresinya datar.

"Dia bilang anaknya sudah lahir. Bulan depan mereka cerai."

Tangan kanan Jeffrey mengepal kuat. Ia sangat marah. Ingin rasanya Jeffrey menghajar Niko sekali lagi, tidak hanya babak belur tapi sampai mampus.

Gladis menghela napas berat. Ia menunduk.

"Dia maksa aku untuk nikah sama dia. Niko juga marah-marah waktu aku tolak. Serem banget. Niko bener-bener terobsesi sampai dia berani masuk rumah dan ngomong sama Ayah langsung," Gladis melanjutkan ceritanya dengan nada bergetar. Jeffrey mengusap bahu Gladis lagi.

"Kalau aku bisa tahan Niko di luar rumah, pasti Ayah nggak perlu menderita kayak gini," ucap Gladis.

"Kamu nggak salah," lirih Jeffrey. Tangannya menarik kepala Gladis agar bersandar di bahunya. "Kamu sampai luka gini. Gimana ceritanya coba?"

"Niko mau mukul aku." Sampai sini, tangan Jeffrey yang sedang mengusap bahu Gladis berhenti. Pria itu sangat marah. "Tapi dia berhenti. Dia malah lempar vas bunga. Pipi sama tangan aku kena pecahan kaca."

"Tangan juga?"

Gladis mengangguk di bahu Jeffrey. "Nggak parah kok."

"Tetep aja, Shasha. Kamu jadi sakit."

"Aku nggak papa, malah Ayah yang kaget lihatnya. Makanya Ayah sampai masuk rumah sakit gini."

Jeffrey menghela napas berat. Rangkulannya mengetat. Dagunya bertumpu pada puncak kepala Gladis. Baru sekarang mereka bisa sedekat ini. Biasanya Gladis akan menolak segala bentuk kontak fisik yang dirasa berlebihan.

"Maaf aku nggak bisa jagain kamu," bisik Jeffrey. "Padahal aku sudah janji ke Ayah."

"Aku juga minta maaf. Aku egois."

"Maaf aku bikin kamu kecewa."

Gladis memisahkan diri dari Jeffrey. Pria itu melepaskan dengan tak rela. Tatapan mata mereka bertemu.

"Beneran kamu sudah nggak main cewek lagi?"

Jeffrey mengangguk dan tersenyum sedih. Ternyata Gladis masih ragu padanya.

Tangan gadis itu terulur. Gladis melingkarkan lengannya di pinggang Jeffrey. Wajahnya menyusup di dada si pria. Mendapat perlakuan seperti itu, Jeffrey hanya bisa mematung.

"Aku maafin," bisik Gladis selirih angin. "Kalau kamu bener-bener sayang aku, kamu bakal buktiin sendiri kalau aku cuma satu-satunya."

Jeffrey mengangguk kuat. Ia membalas pelukan Gladis sangat erat. Rasa bahagianya membuncah. Tak peduli saat ini mereka sedang ada di rumah sakit dan jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi, Jeffrey tak rela jika Gladis melepas pelukannya.

Gladis mengerjapkan mata perlahan. Kepalanya menoleh ke samping. Wajah tidur Jeffrey tetap menawan. Gladis tersenyum tipis. Ia melepas jaket milik Jeffrey dari tubuhnya dan menyampirkannya pada pria di sebelahnya.

Mereka baru tidur satu setengah jam yang lalu, selesai sesi mengobrol panjang berakhir. Jeffrey yang mengakhirinya, katanya, Gladis harus istirahat. Keduanya tidur dalam posisi duduk bersebelahan, tidak seperti penunggu pasien lain yang membawa tikar dan memilih tidur di lantai.

Gladis meraih tasnya dan berlalu ke kamar mandi umum. Dia cuci muka dan sikat gigi. Gerakannya terhenti ketika ingat satu hal. Jeffrey bawa sikat gigi nggak ya? Gladis segera menyelesaikan acara bersih-bersihnya. Dia harus ke mini market sebelum Jeffrey bangun.

"Kamu darimana?" tanya Jeffrey. Tatapannya khawatir. Ponsel yang tadi tertempel di telinganya turun ke pangkuan.

"Ke minimarket," jawab Gladis santai. Dia duduk di samping Jeffrey. "Aku lagi belanja, repot kalau sambil angkat telepon kamu."

"Kirain kamu sudah pergi," kesal Jeffrey.

Gladis tersenyum. Ia menyerahkan satu tas plastik pada Jeffrey. "Aku nggak tahu sabun cuci muka, sikat gigi, atau odol yang biasa kamu pakai. Semoga cocok ya."

"Kamu pergi beliin ini untuk aku?"

"Iya," jawab Gladis santai. "Kan kamu dari bandara langsung ke sini. Koper aja dibawa ke rumah Mbak Silvi. Kamu nggak ada peralatan bersih-bersih kan pasti?"

Jeffrey tersenyum. Ia mencubit pipi Gladis main-main. "Makasih ya. Sarapan nanti biar aku aja yang cari."

Gladis memandangi punggung Jeffrey yang berjalan menjauh. Senyum tipis terukir di bibirnya. Dia bersyukur Jeffrey datang di saat yang tepat. Gladis tidak merasa sendiri menghadapi segala masalah di hidupnya.

"Aku beli sarapan ya. Nasi bungkus aja nggak papa?"

Tatapan mata Gladis teralihkan dari layar ponsel. Ia mendongak. Tadi dirinya memang sempat memeriksa group chat teman-teman residen, dia minta izin satu hari lagi. Besok Gladis akan kembali ke pelayanan rumah sakit.

"Duduk dulu sini."

Jeffrey menurut. Keningnya berkerut. "Ada apa?"

"Wajah kamu masih basah. Aku lupa nggak beliin kamu handuk," ucap Gladis. Ia menarik beberapa lembar tisu sekaligus dan mulai membersihkan tetesan air di wajah dan rambut Jeffrey.

"Shasha."

"Hm?"

Jeffrey diam saja. Bahkan sampai Gladis telah selesai mengeringkan wajah Jeffrey, pria itu masih tidak membuka mulut. Jeffrey terus tersenyum dengan tatapan hangatnya.

"Ada apa?"

"Nggak papa, aku cuma mau manggil nama kamu aja," kilah Jeffrey.

Gladis mendengus geli. Ia menepuk bahu Jeffrey. "Sudah sana katanya mau beli sarapan."

"Sun dulu," ucap Jeffrey sambil menyodorkan pipi kirinya.

"San sun san sun," ucap Gladis sambil mendorong pipi Jeffrey. "Orang-orang sudah pada bangun. Nggak sopan."

"Kalau pada tidur, mau?"

"Nggak."

Jeffrey tertawa. Ia memaklumi tipikal jawaban Gladis. Gadisnya telah kembali.

"Kalau aku beli nasi bungkus, kamu mau lauknya apa?"

"Apa aja. Aku nggak punya alergi kok."

"Okay," Jeffrey berdiri. "Pergi dulu ya. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku aja."

Gladis melirik arloji di jam tangannya. Satu jam lagi Silvi akan datang. Kakaknya itu bilang setelah selesai mengurus Raka pulang dari sekolah dan beberapa pekerjaan di rumah, dia akan bergantian menjaga di rumah sakit.

Pagi ini dokter jantung dan dokter saraf sudah memeriksa Ayah. Kebetulan, dokter Furqon yang menjadi dokter penanggung jawab dari bagian Neuro. Beliau menjelaskan pada Gladis bahwa kemungkinan Ayah untuk sembuh dari stroke-nya kecil, ada area di beberapa bagian otaknya yang mati oleh karena supply oksigen yang terputus. Kemampuan motorik tubuh bagian kiri Ayah lumpuh total.

Berita buruk tidak sampai situ, dari dokter jantung hanya bisa memberikan terapi paliatif. Hal yang saat ini harus dijaga betul adalah tekanan darahnya. Untuk kelainan di bagian jantung, dokter tidak menyarankan dilakukan operasi. Hasilnya tidak akan lebih baik.

Perasaan Gladis sebagai anak tentu putus asa dan kesal. Sebagian dari dirinya ingin marah dan mengumpat para dokter yang merawat ayahnya. Namun, sisi lain Gladis sebagai orang yang tahu persis dunia kedokteran pun sadar. Andaikan dia yang menjadi dokternya, Gladis juga tidak dapat berbuat apa-apa selain mencegah perburukan kondisi.

Jeffrey menyimpan ponselnya ke dalam saku ketika melihat Gladis telah kembali. Pria itu berdiri. Raut wajahnya khawatir.

"Gimana? Ayah baik-baik saja, kan?"

Gladis mengangguk. Ia memilih duduk. Jeffrey pun ikutan duduk di sebelahnya.

"Tadi aku sudah ngomong sama dokter jantung dan dokter saraf. Aku juga sudah ketemu sama ayah, bahkan kita sempat ngobrol meskipun sekarang cara bicara Ayah makin nggak jelas," jelas Gladis sambil tersenyum sendu.

Jeffrey meraih sebelah tangan Gladis. Ia meremasnya pelan.

"Kamu mau ketemu sama Ayah?"

"Boleh?"

Gladis mengangguk. Ia tersenyum. "Cuma satu orang anggota keluarga yang boleh nengok pasien ke dalam, tapi nanti aku coba nego sama dokter di dalam biar kita bisa masuk bareng. Dari koas sampai residen kan aku belajar di rumah sakit ini."

"Nepotisme nih?"

"Privilege," jawab Gladis sambil terkekeh. "Asal kita nggak terlalu berisik, pasti dibolehin. Tapi kamu jangan kaget ya. Di dalam sana pasiennya banyak, terpasang alat bantu dan alat monitor, batas satu bed ke bed lain cuma tirai."

Jeffrey mengangguk paham. Ia sedikit bisa membayangkannya.

"Kalau gitu, aku masuk lagi ya. Mumpung nggak ramai. Semoga kita bisa langsung masuk."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro