26.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ayah, aku dateng lagi," bisik Gladis sambil tersenyum. Ia menarik sebelah tangan Jeffrey agar mendekat. "Aku ajak Jeffrey. Ayah sempat nanyain Jeffrey, kan?"

Jeffrey meraih tangan kanan Ayah. Ia menyalaminya penuh rasa hormat. Jeffrey tersenyum menyapa Ayah.

Ayah menggerakkan tangan kanan, menyuruh agar Jeffrey menunduk. Jeffrey menurut. Tanpa disangka, ternyata Ayah hanya ingin mengusap kepalanya. Perlakuan sarat makna tanpa perlu bicara. Jeffrey sudah dianggap seperti anak sendiri.

Gladis berkaca-kaca melihat hal itu. Ia berpaling. Gladis berkedip cepat menghalau air mata yang ingin mendobrak keluar. Jangan sampai dia menangis di sini.

"Kok kamu nggak pulang?" tanya Ayah tak jelas sambil mengusap tangan Gladis lagi.

Gladis mengulas senyum. "Pulang?" tanyanya mengkonfirmasi. "Nanti aku pulang kok, Yah. Nunggu Mbak Silvi datang dulu."

"Istirahat."

"Iya, Ayah. Aku bakal istirahat kok." Gladis mengusap punggung tangan Ayah dan menempelkannya di pipi. "Ayah harus semangat. Aku juga semangat."

Ayah tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Jemarinya yang berada di genggaman tangan Gladis mengetat.

"Kamu kapan mau menikah? Biar ada yang jagain."

Gladis menunduk. Ucapan Ayah memang tidak terdengar begitu jelas, namun ia masih bisa mendengarnya. Dua bulan belakangan ini Ayah selalu menanyakan hal yang sama. Tentu ada maksud khusus di balik pertanyaannya. Kekhawatiran seorang ayah untuk meninggalkan anak gadisnya.

"Aku masih mau sama Ayah," balas Gladis. Air matanya berhasil lolos. "Ayah jangan mikir yang nggak-nggak. Ayah bakal sama aku. Ya?"

Air mata keluar satu per satu dari mata Ayah. Gladis langsung berdiri dan meraih selembar tisu untuk mengelapnya. Tangan Gladis bergerak mengelus lengan atas Ayah, menenangkannya.

"Jangan nangis, Ayah. Ayah mau lihat aku bahagia. Sama. Aku juga mau lihat Ayah bahagia," Gladis memaksakan sebuah senyum. "Jangan nangis lagi, Ayah. Aku nggak akan bikin Ayah khawatir."

Jeffrey mengamati interaksi ayah dan anak itu dengan hati terenyuh. Jujur saja, dia tidak terlalu mengerti dengan kalimat-kalimat panjang yang keluar dari mulut Ayah. Makanya dia sedikit heran kenapa tiba-tiba Gladis dan Ayah menangis bersama.

Saat ini Gladis dan Jeffrey sudah ada di rumah Silvi. Mereka berdua sudah pada mandi dan segar kembali. Raka dan Lala pun sedang tidur siang.

Jeffrey dan Gladis duduk di ruang televisi berdua. Mereka bercengkerama dengan suara kecil, takut mengganggu tidur anak-anak. Sejujurnya Gladis amat sangat lelah, tubuh maupun pikiran. Namun, ketika mencoba berbaring di sebelah Lala, Gladis tak kunjung bisa terlelap. Dia keluar kamar dan malah menemukan Jeffrey di ruang tengah.

Awalnya hanya ada obrolan ringan. Membahas hal-hal yang mereka berdua lewatkan saat saling tak bertukar kabar. Akhirnya, dengan segenap keberanian, Jeffrey menyuarakan kebingungannya. Dia bertanya tentang percakapan singkat yang terjadi antara Ayah dan Gladis di rumah sakit tadi.

Gladis mengungkapkan secara lugas kegundahan hati ayahnya yang selama ini beliau tahan. Gladis juga cerita bahwa sejak Jeffrey pergi ke luar negeri untuk mengurus turnamennya, Ayah sering menanyakan kabarnya. Mau tak mau, Gladis harus menjawab dengan kebohongan bahwa Jeffrey baik-baik saja. Padahal saat itu dia tak tahu sama sekali keadaan Jeffrey karena sedang lost contact.

Kini, keduanya terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Jeffrey menunduk, berpikir keras. Sedangkan Gladis memijat kepalanya yang terasa berat.

"Okay, kita urus."

Gladis membuka matanya. Ia mengernyit bingung. "Urus apa?"

Jeffrey mengangkat kepala. Ia balik menatap Gladis. Tak ada senyum. Hanya ada determinasi kuat terpancar di matanya.

"Mau gimana pun kondisinya, kamu bakal aku nikahin."

"Hah?"

"Kalau bisa tahun ini juga."

"Tunggu, tunggu," Gladis mengangkat kedua tangannya. "Ini nikah lho."

Jeffrey mengangguk. "Aku nggak pernah main-main waktu aku bilang mau nikah sama kamu."

"Tapi, kamu kan masih sibuk turnamen sampai akhir tahun ini," ucap Gladis. "Aku tahu mimpi kamu. Kamu mau jadi pembalap motor yang melegenda."

"Aku juga mau nikah sama kamu."

Tatapan mata Gladis melembut. "Jangan dipaksain. Aku nggak mau kamu menyesal di akhir nanti."

Jeffrey menggeleng. Senyumnya terbit. "Aku bakal nyesel kalau aku nggak nikahin kamu dengan segera. Aku ngelakuin ini karena aku memang mau. Ucapan Ayah bikin aku makin yakin."

Gladis balas tersenyum. Ia mengangguk. Gladis menghembuskan napas panjang, dia lega. Gadis itu menyembunyikan wajahnya di kedua belah telapak tangan.

Jeffrey beringsut mendekat. Ia menarik masuk Gladis ke dalam pelukannya. Jeffrey menjatuhkan kecupan ringan di puncak kepala gadisnya.

"Kita urus bareng ya. Kita berjuang bareng." Suara berat Jeffrey meyakinkan Gladis. Gadis itu membalas dengan anggukan kepala.

Bicara itu memang lebih mudah dari kelihatannya. Pasalnya, banyak sekali hal yang harus disiapkan sebelum pernikahan. Mama Jeffrey pontang-panting nggak jelas waktu tahu anaknya mau langsung nikah, nggak pakai acara tunangan dulu. Adam juga mencak-mencak melulu, menyuruh Jeffrey segera menyusul ke Catalunya. Ya kali kejuaraan dunia sudah di depan mata mau langsung dihempaskan begitu saja, padahal Jeffrey berhasil meyakinkan tim pabrikannya ini untuk perpanjangan kontrak.

Dengan berat hati, Jeffrey meninggalkan Gladis. Jeffrey juga sudah siap mental dan tebal kuping akan mendengar kemurkaan pelatihnya tersebut. Di usianya yang ketigapuluh ini, Jeffrey termasuk pemain veteran di arena balap. Banyak pendatang baru dengan usia jauh lebih muda darinya. Perbuatannya bisa dianggap tidak profesional jika mengenyahkan pertandingan begitu saja.

Benar saja, sampai di bandara Catalunya, Adam langsung menghadiahi pukulan ringan di kepala Jeffrey. Jeffrey mengaduh kesakitan. Dia nyaris kabur ke tempat taksi untuk pulang sendiri ke hotel tempat tim-nya menginap. Adam tak mau kalah. Ia menyeret Jeffrey masuk ke mobil dengan mudah, seperti menyeret anak kucing.

"Lo tuh ya. Awalnya galau nggak jelas karena patah hati. Tiba-tiba kabur ke Indonesia tanpa pengumuman. Telepon gue bilang mau kawin. Bikin gue jantungan, tahu nggak?!"

"Nikah, Om. Bukan kawin."

Adam berdecak kesal. Ia mengendarai mobil menuju penginapan.

"Kenapa tiba-tiba?"

"Nggak tiba-tiba kok. Gue memang sudah ada niat mau nikahin Gladis, cuma ya, kemarin sempat ada masalah yang bikin kita renggang."

"Labil banget."

"Kok nggak seneng? Ponakan lo mau nikah lho ini."

"Ya gini nih, umur doang yang tua, tapi nggak bisa mikir panjang," keluh Adam. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk setir. "Nikah tuh nggak mudah. Jam kerja lo padat, bakal sering terbang ke belahan dunia lain. Istri lo rela ditinggal memang?"

Jeffrey mengangguk. "Dia nggak masalah tuh. Calon istri gue juga lagi nerusin sekolah. Lagian, gue kan bisa pulang kapan aja ke Indo."

Adam diam beberapa saat. "Gue sama Trisha juga gitu. Dulu."

"Kenapa? LDR-an?"

"Iya sempat LDR Inggris-Bandung kan tuh. Setahun pertama nikah, masih adem ayem. Setahun berikutnya, dia mulai ngeluh. Akhirnya gue bawa dia ke Inggris," Adam memulai cerita. "Di Inggris, dia nggak bisa beradaptasi cepat, sedangkan gue masih mati-matian berkarier di arena balap. Gue tahu gue salah, gue nggak ada di sebelahnya waktu dia butuh gue."

Jeffrey manggut-manggut. Ia berpikir, membandingkan dengan kondisinya sendiri. Daripada membawa Gladis ke Italia, sepertinya lebih baik Jeffrey membiarkan Gladis di Indonesia. Dia yang akan bolak-balik Italia-Indonesia. Capek sih, tapi tetap harus berjuang.

"Masalahnya makin parah waktu dia hamil dan nggak ada seorang pun di samping dia. Gue syok parah. Turun podium, baca pesan masuk, isinya tentang dia keguguran. Gue jelas merasa bersalah banget."

Jeffrey diam. Tak berkomentar sedikit pun.

"Yah, gue tahu gue bukan suami yang baik. Makanya, waktu Trisha minta pisah, gue bebasin dia gitu aja. And yeah, you know. Gue cedera berat. Karier gue di sirkuit berhenti. Gue merasa kehilangan segala-galanya, karier, Trisha, mimpi. Gue juga bikin Trisha sakit hati, Jef."

"Om, lo tuh pernah jago dalam hal urusan gas-rem," Jeffrey mulai berucap. "Menurut gue, lo cuma nggak tahu caranya nge-rem aja."

Jeffrey menoleh ke samping. Ia memandang profil wajah Adam.

"Gue tahu apa yang harus gue perjuangkan. Thanks to masa lalu lo, gue jadi punya pelajaran berharga," ucap Jeffrey. Ia menarik napas. "Hidup gue nggak melulu di lintasan. Ada waktunya nanti gue bakal pensiun dari dunia balap. Saat itu terjadi, gue cuma mau habisin waktu untuk keluarga gue. Nggak bakal jadi anggota tim secara aktif karena gue punya tanggung jawab lain."

Adam tersenyum miring. "Lihat aja nanti."

Jeffrey mengangguk. "By the way, Om. Tante Trisha masih sendiri lho. Kali aja lo tertarik merajut kasih yang belum kelar."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro