0.3 | surat harry

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Peristiwa di kebun binatang itu membuat Harry dihukum berat, tidak diizinkan keluar dari lemarinya lama sekali selain untuk sekolah. Harry sering disuruh tidur tanpa makan malam, jadi nyaris setiap hari Laurel harus bangun dan turn diam-diam untuk memberi Harry makan.

Karena mereka sudah tertangkap satu kali, Laurel kini berbohong lagi, mengatakan dia sering lapar pada malam hari, jadi sekarang Mama menyiapkan makanan-makanan enak kalau-kalau Laurel mau makan pada tengah malam. Laurel tidak pernah makan sama sekali, dia hanya menunggu Harry selesai lalu setelah itu memastikan Harry masuk ke ruangannya dan mengunci selot pintu.

Papa senang sekali melihat makanan yang disiapkan Mama sering habis pada pagi harinya. Menurutnya Laurel terlalu kurus.

Liburan musim panas hampir tiba ketika akhirnya Harry diizinkan untuk keluar. Menurut Papa lebih awal beberapa minggu dari yang pantas diperoleh Harry, tapi Laurel memaksa dan merajuk agar Harry boleh kembali menjadi pesuruhnya saat bermain.

Harry menderita sekali selama liburan karena teman-teman Dudley datang. Mereka suka mengganggu Harry. Kata Harry sebelum Laurel datang perlakuan mereka lebih parah padanya. Dudley sudah memberitahu teman-temannya bahwa adik perempuannya akan menangis kalau ada yang dipukuli, jadi selama Harry bersamanya dia aman.

Harry dan Dudley akan naik tingkat tahun ajaran yang akan datang. Dudley dikirim ke sekolah Papa dulu dan Harry disekolahkan di sekolah lokal yang jelek.

Seragam baru Dudley berwarna merah dan jingga, dengan sebuah tongkat yang katanya digunakan untuk memukul murid lain. Saat Dudley memakainya malam itu dan mulai bergaya, Laurel menangkap pandangan Harry dan nyengir padanya. Dudley kelihatan konyol. Tapi, Mama kelihatan bangga sekali padanya.

Keesokan paginya, ada ember bau berisi pakaian lama Dudley di dapur. Kata Mama baju itu diwarnai untuk seragam Harry nantinya. Laurel menatap ember itu jijik, bersyukur bukan dia yang harus memakai pakaian di dalamnya tapi merasa kasihan untuk Harry.

"Ambil surat, Dudley," kata Papa dari balik korannya.

"Suruh saja Harry."

"Ambil surat, Harry," Papa berkata lagi.

"Suruh saja Dudley." Laurel melotot tidak setuju pada Harry, dia bisa dihukum.

"Sodok dia dengan tongkat Smeltings-mu, Dudley," perintah Papa, dan Harry langsung meloncat bangun dan menghindari sodokan Dudley, melesat ke luar.

"Cepat sedikit, Harry!" Papa berseru ketika dia belum juga kembali. "Apa yang sedang kau lihat?"

Harry masuk lagi membawa surat-surat, menyerahkan semuanya pada Papa kecuali satu. Laurel memandang surat yang digenggam Harry erat-erat, penasaran.

"Marge sakit," Papa baru saja mulai berbicara. "Makan kerang aneh--"

"Dad!" panggil Dudley keras, menyadari juga surat di tangan Harry. "Dad, Harry dapat surat!"

Surat yang sedang dibuka Harry direbut oleh Papa. "Siapa yang menulis padamu?" seringainya pada Harry, lalu menunduk membaca alamat surat itu. Seketika wajah Papa menjadi pucat ketakutan. "Petunia!"

"Itu suratku!" Harry memprotes. "Kembalikan!"

Mama melihat sekilas amplopnya. "Vernon! Oh, astaga, Vernon!"

"Aku mau membacanya!" teriak Dudley.

"Aku mau membacanya," Harry berteriak juga, "karena itu suratku!"

"Keluar, kalian semua," gerung Papa, menyelipkan kembali surat itu ke amplopnya.

"AKU MAU SURATKU!" teriak Harry.

"SINI AKU LIHAT!" seru Dudley.

"Keluar! Kalianakan menakuti Laurel! Keluar!

Papa mengangkat Harry dan Dudley keluar, kemudian kembali lagi dengan wajah marah, lalu mendorong Laurel keluar lebih lembut dari yang dilakukannya pada kedua anak laki-laki sebelumnya, dan membanting pintu di hadapan mereka.

Dudley dan Harry secara otomatis langsung bergulat untuk mendengarkan di lubang kunci. Dudley, jelas-jelas, lebih ungggul. Harry akhirnya kebagian dari mendengarkan dari celah pintu dan lantai.

Laurel mencemooh keduanya, memilih untuk naik ke atas.

Saat Papa pulang hari itu, dia masuk ke dalam lemari Harry.

"Mana suratku?" tanya Harry. "Siapa yang menulis padaku?"

"Tidak ada. Surat itu keliru dialamatkan padamu," kata Papa, suaranya tidak terlalu jelas terdengar dari luar, tempat Laurel mencuri dengar. "Sudah kubakar."

"Tidak keliru!" balas Harry berang. "Di alamatnya tertulis lemariku."

"DIAM!" raung Papa. Laurel mendengarnya menarik napas dalam beberapa kali. "Er ... ya, Harry, tentang lemari ini. Bibimu dan aku sudah berpikir-pikir ... kau sebetulnya sudah terlalu besar untuk tinggal di sini ... kami rasa lebih baik jika kau pindah kekamar Dudley yang satunya." Kamar Harry saat Laurel baru datang sebelum orang-orang dari agen adopsi berhenti datang mengecek Laurel dan Harry kembali ditendang ke lemarinya di bawah tanah.

"Kenapa?" tanya Harry.

"Jangan tanya-tanya!" tukas Papa. "Bawa barang-barangmu ke atas, sekarang."

Setelah Laurel pindah ke 'kamar Dudley yang satunya' nomor satu, Dudley diberikan kamar tamu yang sekarang jadi 'kamar Dudley yang satunya' nomor dua. Biasanya Bibi Marge tidur di sana saat dia berkunjung, tapi sudah beberapa lama Bibi Marge tidak datang.

Dudley hampir mengamuk karena kamarnya diberikan pada Harry kalau saja Laurel tidak terus memandangnya. Laurel tidak mengatakan apa-apa, hanya terus menatap Dudley dengan mata kelabunya yang kebesaran untuk wajahnya, dan Dudley akhirnya diam.

Keesokan paginya Papa menyuruh Dudley mengambil surat. Kakak angkat Laurel itu berteriak dari lorong, "Ada surat lagi! Mr H. Potter, Kamar Paling Kecil, Privet Drive nomor 4 ...."

Papa melompat dari tempat duduknya, begitu pula dengan Harry. Keduanya berbalapan ke lorong, lalu terdengar suara pergulatan.

"Kembali ke lemarimu--maksudku, kamarmu," katanya kepada Harry. "Dudley ..., pergi. Pergi."

Dan Laurel masih di tempat duduknya di sebelah Mama, dengan penasaran mencoba mencari ide apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa wajah Mama sangat pucat.

Pagi selanjutnya Laurel terbangun karena suara teriakan. Harry mencoba berjingkat keluar untuk mengambil surat, tapi Papa tidur di depan pintu. Papa memarahi Harry habis-habisan. Saat sarapan Laurel melihat surat yang sama dengan yang kemarin-kemarin dikirimkan pada Harry ada pada pangkuan Papa, tiga buah.

Papa merobek-robek semuanya di hadapan Harry.

Hari itu Papa tidak pergi ke kantor. Dia tinggal untuk memaku kotak surat.

"Kalau mereka tidak bisa mengirim surat, mereka akan menyerah," jelasnya pada Mama. Laurel mengangkat pandangannya heran. Siapa mereka?

"Aku tak yakin, Vernon," kata Mama.

"Oh, cara berpikir orang-orang ini aneh, Petunia, tidak seperti kita," kata Papa.

Siapa sih orang-orang yang dibicarakan Papa?

Hari selanjutnya, ada lebih dari dua belas surat yang datang, diselipkan lewat bawah pintu depan dan jendela. Papa membakar semuanya dan tinggal lagi di rumah untuk memaku semua celah yang ada di rumah, sekecil apa pun.

Hari Sabtu keesokan harinya, surat-surat itu ada di mana-mana. Mama menghancurkan semuanya dengan blender, tapi tidak sebelum Laurel mencoba untuk mengambil dan membaca satu.

Papa tidak pernah semarah itu pada Laurel.

"Jangan marahi dia, Vernon. Laurel masih kecil, dia belum mengerti," Mama membelanya, dan Papa melunak. Disuruhnya Laurel berjanji tidak akan menyentuh lagi surat-surat itu, menyebut surat-surat itu akan membawa penyakit kalau dipegang. Seperti Laurel tidak sudah terbiasa mendengar segala kebohongan orang dewasa saja.

Hari Minggu, Papa kelihatan senang sekali. "Tukang pos tidak datang pada hari Minggu."

Ada suara berdesis dan sebelum Laurel sempat mengedipkan matanya, berpuluh-puluh surat berjatuhan dari cerobong asap. Papa, Mama, dan Dudley menunduk menghindar, tapi Laurel hanya duduk diam dengan mulut menganga terpesona dan Harry meloncat mencoba menggapai satu surat.

"Keluar! KELUAR!" Papa melemparkan Harry ke luar ruangan, lalu mengangkat Laurel bersamanya. Mama dan Dudley mengikuti, wajah ketakutan. Suara arus surat yang keluar dari cerobong asap masih jelas terdengar.

"Ini sudah kelewatan," kata Papa setenang mungkin. "Aku mau kalian semua kembali ke sini lima menit lagi, siap berangkat. Kita pergi. Bawa saja pakaian secukupnya. Jangan membantah!"

Mama berlari ke kamar dan berkemas cepat, lalu menarik Laurel ke kamarnya di lantai atas dan mengambil baju-bajunya. Di luar, Papa meneriaki dan memukul Dudley karena dia ingin membawa TV dan mainan-mainannya yang besar. Mama terus bergerak dengan gugup, memasukkan pakaian-pakaian Laurel ke dalam tasnya dan memakaikan jaket dan topi pada Laurel. Gadis kecil itu sempat menyambar tas kecilnya yang berisi air minum dan camilan.

Tidak ada yang berkata apa-apa kecuali Papa yang terus-menerus mengulang, "Sesatkan mereka, sesatkan mereka." Mereka berlima tidak makan lama sekali sementara mobil mengebut dan berputar sepanjang hari. Pada akhirnya, permen dan cokelat di tas Laurel dibaginya pada Dudley dan Harry. Dudley terlihat marah sekali.

Papa berhenti di sebuah hotel pada malam hari. Harry harus berbagi kamar dengan Dudley sedangkan Laurel tidur di kamar Mama dan Papa.

Saat mereka sarapan keesokan harinya, seorang petugas mendatangi mereka dan menyatakan ada sekitar seratus surat untuk Harry di meja depan. Papa langsung bangkit, wajahnya keunguan.

Mereka berkendara lagi hari itu. Papa berhenti di banyak tempat, tapi tak pernah tampak puas. Akhirnya, mereka berhenti di pinggir pantai dan Papa meninggalkan mereka, lalu kembali dengan ceria.

Hujan sudah deras saat mereka mendayung ke gubuk yang disewa Papa. Gubuk itu menjijikan. Hanya ada satu kamar dan tampilannya jelek sekali. Makanan yang dibelikan Papa juga tidak enak, tapi Laurel sangat kelaparan.

Dudley diberikan tempat tidur di sofa dan Laurel tidur di tempat tidur reyot bersama Mama dan Papa. Saat suara badai mengantarnya tidur, yang dapat Laurel pikirkan hanyalah Harry harus meringkuk kedinginan di lantai yang keras ....

BOOM!

Laurel tersentak bangun. Papa sudah meloncat melintasi kamar membawa sebuah senapan.

BOOM!

"Siapa itu?" teriak Papa di luar. "Kuperingatkan, aku bersenjata!"

Mama memeluk Laurel. "Tidak apa-apa, sayang. Tidak apa-apa, jangan takut." Suaranya bergetar saat dia melepaskan pelukannya, seperti lebih meyakinkan dirinya sendiri dari pada meyakinkan Laurel. Mama bangkit dan berjalan keluar perlahan.

Laurel mengikutinya penasaran.

Di ruang depan terlihat seorang raksasa. Well, tidak mungkin dia raksasa betulan, tapi laki-laki itu besar sekali. Laurel tertegun, samar-samar mendengar teriakan ayahnya dan raksasa itu balas berbicara.

"Yang jelas, Harry," kata si raksasa saat Laurel kembali sadar dan kembali mendengarkan si raksasa menghadap Harry dan memunggungi mereka,  "selamat ulang tahun untukmu, semoga panjang umur. Bawa sesuatu buatmu-mungkin tadi kududuki, tapi rasanya pasti masih enak."

Dia memberikan sebuah kotak dari sakunya pada Harry, yang membukanya pelan-pelan seperti tidak percaya apa yang sedang terjadi.

"Siapa kau?"

Si raksasa tertawa."Betul, aku belum perkenalkan diri. Rubeus Hagrid, pemegang kunci dan pengawas binatang liar di Hogwarts."

Dia mengulurkan tangan yang besar sekali dan mengguncang antusias seluruh lengan Harry.

"Apa ada teh, eh?" katanya, seraya menggosok-gosokkan tangannya. "Aku juga tidak tolak minuman yang lebih keras, kalau memang ada."

Rubeus Hagrid menunduk di depan perapian dan dalam sekejap api sudah menyala, memancarkan kehangatan ke seluruh pondok reyot itu. Dia mengeluarkan barang-barang dari kantongnya, mulai memasak sosis dan membuat teh. Laurel baru sadar dia lapar sekali.

"Jangan sentuh apa pun yang diberikannya padamu, Dudley," kata Papa keras.

Si raksasa tertawa seram. "Anakmu yang sudah sebulat bola tidak perlu digemukkan lagi, Dursley, jangan khawatir." Dia menyerahkan sosis-sosis itu kepada Harry, yang langsung melahapnya dengan cepat. "Dan siapa ini?" Dia menatap Laurel dengan penasaran. Laurel menatapnya balik, tertarik.

"Jangan menakuti putriku!" Suara Papa terdengar keras. Mama yang ketakutan mencoba mendorong Laurel ke belakangnya, tapi Laurel tidak bisa melepaskan pandangannya dari Rubeus Hagrid. Dia tidak takut.

"Huh," kata si raksasa. "Tidak tahu kau punya anak lagi, Dursley. Dumbledore pasti tahu. Kau makhluk kecil yang pemberani, eh?" Dia mengedip pada Laurel dengan ramah. Laurel langsung menyukainya, balas tersenyum kecil.

"Maaf, tapi saya tetap belum tahu siapa Anda," kata Harry kemudian.

Si raksasa menghirup tehnya dalam tegukan besar, dan mengelap mulut dengan punggung tangannya."Panggil aku Hagrid," katanya. "Semua panggil aku begitu. Dan seperti sudah kubilang, aku pemegang kunci di Hogwarts--kau tentunya sudah tahu tentang Hogwarts."

"Eh, belum."

Laurel mendengarkan dengan penuh ingin tahu.

"Maaf," kata Harry cepat-cepat ketika melihat Hagrid yang terperangah.

"Maaf?" ulang Hagrid, menoleh menatap Mama dan Papa yang gemetar. "Merekalah yang harus minta maaf! Aku tahu suratmu tidak kau terima, tapi tak pernah kuduga kau tidak tahu tentang Hogwarts. Astaga! Tak pernahkah kau ingin tahu di mana orangtuamu belajar semua itu?"

"Semua apa?" tanya Harry.

"SEMUA APA?" gelegar Hagrid. "Tunggu dulu!" Dia melompat berdiri dan melotot pada Mama dan Papa. "Apa ini berarti," dia menggeram,"bahwa anak ini ... anak ini! Tidak tahu tentang... tidak tahu ... APA-APA?"

"Aku tahu beberapa hal,"kata Harry. "Aku bisa matematika dan pelajaran-pelajaran lain."

"Tentang dunia kita, maksudku. Duniamu, Duniaku. Dunia orangtuamu," kata Hagrid.

"Dunia apa?"

Hagrid kelihatannya sudah siap meledak."DURSLEY!" teriakannya mengguntur. Papa meloncat kaget.

"Tapi kau pasti tahu tentang ayah dan ibumu," kata Hagrid kembali pada Harry. "Maksudku, mereka terkenal. Kau terkenal."

"Apa? Ja-jadi, ayah dan ibuku terkenal?"

"Kau tak tahu ... kau tak tahu ...." Hagrid menyisir rambut dengan jari-jarinya, memandang Harry keheranan."Kau tak tahu, kau ini apa?" katanya akhirnya.

"Stop!" teriak Papa. "Stop! Saya larang Anda memberitahu anak ini apa pun!"

"Kau tak pernah bilang padanya? Tak pernah beritahu dia apa yang ada dalam surat yang ditinggalkan Dumbledore untuknya? Aku ada di sana! Aku lihat sendiri Dumbledore tinggalkan surat itu, Dursley! Dan kau sembunyikan itu darinya selamabertahun-tahun ini?"

"Menyembunyikan apa dariku?" tanya Harry tak sabar.

"BERHENTI! KULARANG KAU!" teriak Papa panik.

"Ah, peduli amat dengan kalian berdua," kata Hagrid. "Harry--kau penyihir."

Semua orang diam.

"Aku apa?" tanya Harry kaget pada akhirnya.

"Penyihir, tentu saja," kata Hagrid. "Dan penyihir yang hebat, kalau dilatih sedikit. Dengan ayah dan ibu sehebat itu, mana bisa lain lagi? Dan kurasa sudah waktunya kau baca suratmu."

"Bawa Laurel masuk," perintah Papa pada Mama, gemetar karena ketakutan dan amarah. Laurel dipaksa dan ditarik masuk kamar, dan karena dia sangat kelelahan, dengan cepat Laurel jatuh tertidur lagi, mengabaikan teriakan-teriakan dari luar. Mimpinya dipenuhi Harry menaiki sapu terbang.

7 November 2020

Rye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro