0.6 | kejutan untuk keluarga dursley

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Begitu tiba di rumah untuk liburan, buku pelajaran Harry dan segala miliknya yang berhubungan dengan sihir dikunci oleh Papa di lemari bawah tangga. Harry perlu mengerjakan PR liburannya, jadi Laurel mengambil kunci Papa diam-diam dan mencicil mengeluarkan semua barang yang ada di sana dan menyeludupkannya masuk ke dalam kamar Harry. Lemari itu toh tak akan dibuka sampai akhir liburan oleh Papa.

Laurel sekarang sering menyelinap ke kamar Harry malam-malam untuk menontonnya mengerjakan PR. Dibandingkan dengan pelajaran sekolahnya, PR-PR Harry terasa menarik sekali. Harry memperbolehkan Laurel membaca buku Sejarah Sihir-nya, Laurel kini dapat membantu Harry mengerjakan esai sejarah.

Malam ini istimewa. Laurel tetap menemani Harry mengerjakan tugasnya seperti biasa, tapi dia terus-menerus memperhatikan jam. Begitu waktu menunjukkan pukul dua belas tepat, Laurel meloncat maju dan memeluk Harry, tidak memedulikan tinta dari pena bulunya yang mengotori piamanya.

"Selamat ulang tahun, Harry," bisik Laurel di telinga kakak sepupunya. Harry terdiam kaget untuk sedetik, kemudian balas memeluk.

"Terima kasih, Laurel."

Laurel mengeluarkan sepotong kue. Dia membelinya diam-diam dan menyembunyikannya di kulkas. "Aku bawa lilin," bisik Laurel nakal. "Cuma sebatang, sih. Tapi lebih baik dari tidak sama sekali."

Laurel menancapkan lilin kecil itu di potongan kue Harry dan menyalakan sebatang korek api. "Tiup lilinnya, Harry." Laurel dapat melihat mata Harry bercahaya memantulkan api lilin.

Harry tersenyum dan meniup lilinnya. Laurel memajukan tubuhnya sedikit dan mengecup pipi Harry.

Kakak sepupu Laurel itu sedang membelakangi jendela sehingga tidak melihat beberapa bayangan gelap yang melintasi langit malam, semakin mendekati mereka. "Harry!" bisik Laurel memanggil.

Tiga ekor burung hantu memasuki kamar Harry, salah satunya kelihatan hampir pingsan. Harry buru-buru menggendong si burung hantu yang pingsan sementara Laurel melepaskan ikatan bungkusan yang dibawa Hedwig. Burung hantu yang satunya membawa surat Hogwarts Harry.

Harry merobek bungkusan dari Ron—sebuah kartu, guntingan surat kabar, sebuah surat, dan teropong kecil. Harry membaca guntingan surat kabar itu lebih dahulu, Laurel menempel di sebelahnya, sepenuhnya terpesona melihat gambar keluarga Weasley yang bergerak-gerak. Rupanya mereka memenangkan undian uang dan menggunakannya untuk mengunjungi si sulung di Mesir.

"Kau kenal Ron, dan Fred, dan George," bisik Harry pada Laurel, menunjuk seorang anak laki-laki dengan seekor tikus di bahunya dan si kembar. "Yang ini Ginny dan ini Percy. Apa itu lencana ketua murid di topinya? Kurasa yang ini Bill dan Charlie."

Harry membiarkan Laurel mengambil guntingan surat kabar itu dan terus mengamati gambarnya yang bergerak sementara dia lanjut membaca surat Ron.

"Baguslah," kata Harry setelah selesai membacanya. "Kamu mau lihat juga, Laurel?"

Salah satu bungkusan yang dibawa Hedwig ternyata dari Hermione, yang mengirimkan surat dan hadiah untuk Harry. Laurel dan Harry hampir memekik melihat kotak Peralatan Perawatan Sapu yang necis itu. Mereka membuka kotak kulit itu dan mengagumi isinya. Laurel tentu saja tidak pernah menaiki sapu, tapi dia berusaha memahami obsesi Harry pada sapu-sapu terbang dan Quidditch.

Bungkusan satu lagi yang dibawa Hedwig merupakan hadiah dari Hagrid. Sebuah buku yang mencaplok dan berjalan miring seperti kepiting. Judulnya 'Buku Monster'. Laurel membantu Harry untuk menangkap si buku dan mengikatnya erat-erat, senang dapat melihat makin banyak hal yang berhubungan dengan dunia sihir.

Harry membuka surat Hogwarts berisi pemberitahuan yang biasa ditambah formulir kunjungan Hogsmeade dan daftar buku yang diperlukannya. Laurel membacanya penuh ingin tahu.

"Di mana sih Hogsmeade?" tanyanya.

"Dekat Hogwarts, satu-satunya desa yang semua penduduknya merupakan penyihir. Stasiunnya tempat Hogwarts Express berhenti setiap tahunnya," jawab Harry. "Aku perlu minta tanda tangan wali untuk kunjungannya." Harry mendesah, sepertinya sedang memikirkan bagaimana caranya agar dia bisa meyakinkan Papa untuk melakukannya. Sepertinya mustahil.

Setelah itu, Harry memaksa Laurel untuk kembali ke kamarnya sendiri untuk tidur. Ingatan wajah berseri Harry malam itu membuat Laurel tidur dengan gembira. Harry bahagia, dia juga bahagia.

***

Berita tentang kaburnya Sirius Black, seorang pembunuh massal, ada di mana-mana. Berita itulah yang ditayangkan di televisi selagi mereka makan malam. Dudley dibelikan TV baru untuk ditaruh di dapur sehingga dia bisa menonton TV sambil makan. Dudley sudah gendut sekali. Laurel sudah mencoba bicara dengan Mama tentang Dudley jelas-jelas kelebihan berat badan, tapi Mama tidak mau mendengarkan.

Mereka selesai menyelesaikan sarapan dan berkumpul di ruang keluarga. Laurel sedang membaca bukunya yang paling baru ketika bel pintu berbunyi.

"Harry," kata Papa. "Buka pintunya. Jika ada menawarkan majalah lagi, bilang aku tidak tertarik."

Harry tidak punya pilihan lagi selain bangkit dan berjalan ke pintu depan dengan patuh. Laurel mendengar suara pintu dibuka, kemudian ...

"Profesor Snape?

"Potter," balas suara bernada rendah datar, yang diucapkan seolah-olah si pembicara menggerakan mulutnya sesedikit mungkin.

Laurel langsung menegakkan badannya dan menoleh cepat ke arah pintu. Dia tidak bisa melihat Harry sama sekali dari tempatnya duduk. Laurel mengenali nama yang disebutkan Harry. Profesor Snape. Yang Harry katakan tentangnya hanyalah bahwa dia membenci Harry.

"Profesor ... apa yang Anda lakukan di sini? Saya tidak melakukan apa-apa, saya tidak melakukan sihir di luar sekolah .... Sumpah, Profesor."

"Masih berpikir dunia berputar di sekelilingmu, Potter?" tanya Snape datar. "Aku tidak di sini untukmu. Di mana paman dan bibimu?"

Papa meloncat bangun dan menyerbu ke arah pintu. Wajah Mama pucat. Dudley mengalihkan pandangannya dari televisi, kelihatan ketakutan. 

"Pergi," Papa meludahkan kata itu seperti meludahkan racun, Laurel dapat mendengarnya dengan jelas dari tempatnya duduk. "Kami tidak menerima jenismu di sini.

Ada keheningan sebentar, lalu seorang laki-laki dalam jubah hitam melangkah dengan pasti ke dalam ruang keluarga. Wajahnya tanpa ekspresi dan rambutnya berminyak. Laurel menangkap kilat berbahaya di mata si laki-laki dan memutuskan dia tak akan pernah bermain-main dengannya.

"Ah," kata Snape. "Tuney."

"Apa yang kau lakukan di sini?" Suara Mama bergetar.

Tatapan Snape menyapu ruang keluarga mereka. Dia mendecih pada Dudley yang mundur sejauh mungkin darinya. Tatapan Snape berhenti satu detik terlalu lama pada Laurel sebelum melanjutkannya ke Papa yang muncul di mulut lorong, mukanya merah hampir ungu karena marah. Harry menyusul sejenak kemudian, tidak kelihatan sangat senang.

"Apa yang kau lakukan di sini?!" Suara Papa dipenuhi amarah bercampur rasa takut. "Pergi dari rumahku saat ini juga!"

"Sayangnya aku tak dapat melakukan itu, Dursley," kata Snape tanpa intonasi. "Menyedihkan, tapi aku punya pekerjaan untuk dilakukan. Severus Snape, kepala asrama Slytherin dan profesor ramuan di Hogwarts."

"Kami tak peduli dengan sekolah kaummu!" geram Papa yang tampak betul-betul marah. "Sudah cukup kami harus membayari seorang tinggal di bawah atap kami. Pergi!"

Mata Snape yang berada di Papa terlihat bosan.

"Jadi, Dursley, tujuanku berada di sini." Suaranya yang dalam tak tergoyahkan. Dia memasukkan tangan ke balik jubahnya dan menarik keluar sepucuk surat dari perkamen tebal, menyerahkannya pada Mama di depannya.

Bibir Mama bergetar. "Ve-Vernon." 

Di bagian depan amplop, tertulis dengan huruf-huruf indah dari tinta hijau zamrud, tertulis:

"Tidak," gumam Papa. "Tidak, tidak, tidak, TIDAK." Suaranya makin keras. "Tidak, ini tidak mungkin terjadi!"

Mama merobek surat itu terbuka dengan tangan gemetaran. Laurel bangun untuk mengintip dari balik punggung ibunya isi surat tersebut, merasakan dirinya sendiri gemetar, tapi dengan alasan yang sama sekali berbeda dengan Mama dan Papa. Apakah ini nyata? Rasanya Laurel seperti ditarik masuk ke dalam dunia dongengnya.

Laurel mengangkat pandangannya, matanya bersirobok dengan milik Harry yang hijau cemerlang. Warnanya kelihatan lebih bercahaya dari biasa. Harry sedang menahan cengirannya, tapi matanya tidak bisa berbohong. 

"Biasanya tugas saya adalah untuk menjelaskan kepada orang tua Muggle tentang keberadaan sihir, tapi karena Anda sudah tahu, saya tidak akan melakukannya."

"Tidak, ada kesalahan di sini! Laurel bukan penyihir! Putriku normal!"

"Dengan menyesal saya sampaikan bahwa kami tidak mungkin keliru. Semua bayi penyihir yang lahir di Inggris sudah terdaftar di Hogwarts sejak mereka diberi nama. Dan perlu saya tambahkan, Dursley, bahwa Miss Dursley sangat normal untuk seorang penyihir muda. Saya berani taruhan dia sudah punya kasus sihir selama ini." 

Papa terlihat benar-benar ungu. Matanya yang marah diarahkan pada Harry. Snape mengikuti pandangannya.

"Ah, atau kalian menyalahkan semuanya pada Potter," datar dia berkata. 

"Ini salah! Kami tidak akan mengizinkannya ke tempat itu dan menjadi salah satu dari kaum kalian!" 

Hidung Snape bergerak sedikit, lalu dia lanjut berbicara, "Orang tua dari murid punya hak untuk tidak mengirimnya ke Hogwarts dan mengajarnya sendiri di rumah."

"Kami tak mengirim Laurel ke tempat itu! Dan kami tak akan pernah mengizinkannya mempelajari itu!"

"Namun," kata Snape licin, "peraturan tersebut berlaku bagi calon siswa dengan minimal satu orang tua penyihir. Saya menyesal untuk mengatakan bahwa kalian tidak punya pilihan selain mengirimkan Miss Dursley ke Hogwarts atau sekolah sihir lainnya."

"Aku akan makan sepatuku sendiri sebelum mengizinkan putriku diajari kaummu itu!" raung Papa.

Untuk sepersekian detik, raut wajah Snape mengisyaratkan bahwa dia kepingin menyihir sepatu Papa untuk dijejalkan ke mulutnya. 

"Jika kalian setuju untuk mengirimkan Miss Dursley ke Hogwarts, salah satu perwakilan sekolah akan kembali untuk menjemput Miss Dursley berbelanja perlengkapan sekolahnya di Diagon Alley." Dia mengucapkan itu seolah-olah dia sudah tahu dengan pasti apa jawaban yang akan didapatnya. Snape terlihat agak menikmati kemarahan Papa, tampak geli sendiri melihat pasang mata yang melotot padanya itu. 

"PERGI!" gelegar Papa.

Snape mengangkat alisnya sedikit, tampak agak puas. Lalu, dia mengibaskan jubahnya dan berjalan keluar, melewati Papa dan Harry yang masih berdiri di pintu. Semua orang terpaku, entah karena marah (jelas Papa), takut (Mama dan Dudley), atau takjub (Laurel dan Harry).

Snape sudah melangkah keluar rumah ketika Harry sepertinya tersadar. Dia berlari mengejar. Laurel dapat mendengarnya dari dalam rumah, "Tunggu! Profesor, Anda tidak boleh pergi! Bagaimana dengan adik saya?"

"Potter, tugasku di sini sudah selesai," kata suara datar Snape. "Sekarang, kalau kau tidak keberatan—"

Suara lecutan cemeti terdengar, dan Harry berjalan masuk ke dalam rumah, tak terlihat siap sama sekali ketika Papa mengangkatnya dan menghantamnya ke dinding. "SUDAH KUBILANG— SUDAH KUBILANG PADA KAU JANGAN BAWA-BAWA KELUARGA INI!"

"Vernon, Vernon—"

"ADIKMU, HAH? ADIKMU? PUTRIKU BUKAN ADIKMU, KAU DENGAR? JANGAN PIKIR KAU BISA SEENAKNYA SAJA DI SINI, DI BAWAH ATAP RUMAHKU!"

Lampu di ruangan keluarga mulai berkedip-kedip. 

"SUDAH BAGUS KUTERIMA KAU TINGGAL DI SINI MESKIPUN KAU DARI KETURUNAN YANG TIDAK NORMAL. SUDAH BAGUS KUTERIMA KAU TINGGAL DI SINI MESKIPUN AKU TAHU AKAN JADI APA KAU NANTINYA—CACAT ABNORMAL SEPERTI ORANG TUAMU."

Mata hijau Harry terlihat menyala. Laurel mengenali bahaya ketika dia melihatnya, sama seperti Dudley yang langsung kabur ke ruangan lain.

"APA BALASAN YANG KAU BERIKAN, HAH? MENGOTORI PUTRIKU? MENULARI PUTRIKU? TIDAK CUKUPKAH AKU PUNYA SATU ORANG GILA DI RUMAHKU, KAU HARUS MENULARI PUTRIKU JUGA? HAH?" Kedua tangan gemuk Papa masih menahan Harry di dinding, suaranya makin lama makin cemas.

"Vernon." Suara Mama makin cemas. Laurel menekankan tubuhnya ke sofa.

"APA SEKARANG? KAU HARAPKAN AKU AKAN MEMBAYARI PUTRIKU UNTUK DIAJAR PRIA TUA SINTING KEPALA SEKOLAHMU ITU UNTUK JADI SEPERTI KAU?"

"PROFESOR DUMBLEDORE TIDAK SINTING!" Harry kali ini balas berteriak. Tangannya mengepal keras sekali, tergantung kaku di samping tubuh kurusnya. "DAN SAYA TIDAK PEDULI KALAU ANDA TIDAK MAU MEMBAYARI LAUREL, SAYA AKAN PASTIKAN SENDIRI DIA DAPAT PENDIDIKAN TERBAIK DI HOGWARTS, PEDULI AMAT DENGAN APA YANG ANDA HARAPKAN."

"OH, BERANI YA KAU. APA YANG AKAN KAU LAKUKAN, HAH? KALAU KAU MENYIHIR LAGI KAU AKAN DIKELUARKAN DARI SEKOLAH GILAMU ITU, MASIH BEGITU BERANI SEKARANG? HAH? HAH?" Papa terlihat menggelembung saking marahnya. "HAH?"

Papa memang menggelembung, Laurel menyadari.

Harry menyipitkan mata, dan Papa semakin lama semakin bulat. Dan dia mulai melayang. "APA YANG KAU LAKUKAN PADAKU DASAR KAU ANAK—" Dia terantuk langit-langit ruangan, keras.

"Vernon!" seru Mama ngeri. Dia mendongak memandang suaminya di langit-langit, tangannya menutupi mulut. 

Laurel mengamati dengan mulut menganga saat ayahnya perlahan melayang melintasi ruangan dan terus ke lorong, terantuk macam-macam ("PETUNIA! PETUNIA!"). Bersama dengan Mama, Laurel mengejar ayahnya. Dudley entah ada di mana, mungkin sedang meringkuk sambil menggigil ketakutan. Pintu rumah terdorong terbuka ketika Papa menekannya, dan tubuh bulat laki-laki gemuk itu terus melayang ke langit malam.

Napas Mama terdengar jelas. Wajahnya tegang. "Tidak apa-apa," katanya, tapi dia tidak berbicara pada Laurel. Mama sedang meyakinkan dirinya sendiri. "Mereka punya orang untuk mengurus ini. Kementerian Sihir punya orang yang akan mengurus ini."

Laurel belum sempat bertanya kepada Mama kenapa dia tahu tentang Kementerian Sihir, tapi mendadak dia ditarik ke belakang.

"Ayo," kata Harry, wajahnya tegas. Dia mengambil tangan Laurel dan menariknya ke atas, meninggalkan Mama di luar.

"Harry, apa yang—"

"Kita pergi," potong Harry yakin. Dia berdiri di depan kamarnya dan pintunya terbuka tanpa Harry menyentuhnya sama sekali. Harry masuk ke dalam kamarnya, dan dalam sekejap barang-barang Harry yang tidak banyak sudah berdesak-desakan dalam kopernya.

Laurel cepat tanggap, berlari ke kamarnya sendiri dan mengeluarkan kopernya yang tidak pernah dipakai. Mereka tidak bisa tinggal. Harry baru saja menggunakan sihir, dia akan didatangi Kementerian Sihir. Dan Laurel ... Laurel harus pergi ke Hogwarts.

Segembira apa pun Laurel dengan gagasan bahwa dirinya adalah penyihir seperti Harry, dia masih dapat berpikir lumayan jernih, tahu bahwa Papa tidak akan menerima perkembangan baru ini. Bisa-bisa dia dikurung di rumah seperti Harry tahun lalu agar dia tidak pernah menginjakkan kaki di Hogwarts.

Barang-barang yang Laurel anggap penting juga tidak banyak. Dia melemparkan tumpukan celana dan kaos dan baju hangat, lalu setumpuk pakaian dalam dan kaus kaki ke dalam kopernya. Buku-buku favoritnya dan batang-batang cokelat. Laurel suka cokelat. Dia suka rasa manis pahit dalam mulutnya. Dan jaket serta topinya, kehangatan benda-benda itu selalu membuatnya tenang, dan menutupi kulitnya sebanyak mungkin selalu membuatnya merasa lebih aman .... 

Laurel terus mengalihkan perhatiannya dengan memikirkan hal-hal acak saat dia menutup kopernya dan berlari lagi keluar, bergabung dengan Harry dan koper dan sangkar kosong Hedwig serta sapunya.

Mama mencegat mereka di bawah tangga. 

Laurel membeku. Ibu angkat atau bukan, Mama telah merawatnya dengan baik dan penuh kasih sayang selama empat tahun.

"Aku sudah dengar semua tadi. Kalian tidak mau mengirim Laurel ke Hogwarts dan tak mau membiayainya. Laurel akan masuk ke Hogwarts," desis Harry pada bibinya. "Jangan pedulikan soal uang, aku yang akan membiayai Laurel. Sekarang minggir atau sebelum kupaksa. Kami pergi."

Mama menggeleng, matanya berlinangan air mata. Lalu, dia bergerak ke pinggir, memberikan Laurel dan Harry jalan.

Harry terdiam untuk sesaat, seakan tidak percaya. Lalu, dia menarik Laurel ke pintu. Mama menangkap ujung jari Laurel dan gadis kecil itu menoleh.

"Maaf," bisik Mama, dan dia melepaskan Laurel, yang masih menatapnya dengan matanya yang lebar.

Harry membuka pintu dan pergilah mereka—seorang anak laki-laki yang baru menginjak usia tiga belas tahun dengan bekas luka sambaran petir di keningnya dan seorang anak perempuan berumur sebelas tahun dengan rambut pirang terang—ke dunia luar. 

10 November 2020

kalian lancar nggak bahasa inggrisnya? atau setiap pengumuman, surat, dll. harus ada terjemahannya? soalnya buat aesthetic (bleh) lebih mantep gitu pake bahasa inggris.

Rye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro