1.14 | memori dan nostalgia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku mendengar James dan Lily setiap kali dementor mendekatiku," tanpa aba-aba, mendadak Harry menginformasikan Laurel suatu hari. 

"A-apa?"

"Ibuku memohon pada Voldemort untuk mengampuni nyawaku dan membunuhnya saja alih-alih. Ayahku menyuruh ibuku untuk membawaku lari." Harry terdengar sangat ringan saat membicarakan ini semua, tapi Laurel mengenal Harry lebih baik dari siapa pun juga. Ini cara Harry memberitahu orang tentang hal-hal yang penting baginya. Harry begitu tidak egoisnya bahwa dia selalu membuat segala tentangnya terdengar remeh.

"... Kenapa Voldemort ingin membunuhmu?" Laurel bertanya. "Kalau ibumu memohon agar dia yang dibunuh alih-alih denganmu ...? Kupikir Voldemort ingin membunuh keluargamu karena orang tuamu menentangnya?"

"Aku tidak tahu," kata Harry, hampir frustrasi. "Semuanya terulang-ulang setiap kali ada dementor di dekatku. Aku tidak bisa berkonsentrasi."

Laurel tahu proses pembelajaran Harry dengan Profesor Lupin mengenai mantra penolak dementor tidak berjalan dengan lancar. Sang profesor DADA masih dengan sabar terus melanjutkan sesi belajar mereka, sekaligus juga memegang janji dengan menyelingi pelajaran mereka dengan cerita-cerita mengenai orang tua Harry, terutama James.

Setiap sesi pembelajaran dengan Profesor Lupin meninggalkan Harry terbelah antara kekecewaan karena belum juga menguasai Expecto Patronum dan kegembiraan karena mengetahui lebih banyak hal tentang orang tuanya.

"Bagaimana rasanya untukmu, Laurel?" Harry bertanya tiba-tiba. "Saat sebuah dementor berada di dekatmu?"

Laurel mengambil waktunya untuk berpikir, mempertimbangkan. "Dingin," katanya pelan. "Dingin sekali, seperti setiap waktu aku sendirian di panti asuhan." Memori sangat pudar mengenai orang tua yang meninggalkannya. Detik saat dia menyadari keluarga Dursley tidak menginginkannya lagi. Waktu dia berpikir Harry menolaknya sebagai seorang Slytherin. 

Perasaan yang sama dengan yang menyelimutinya setiap kali semua orang menolaknya dan tidak ada yang mau menerimanya.

Laurel tidak bisa mengungkapkannya pada Harry.

"Oh," gumam Harry. Dan duduklah mereka berdua, dua anak yatim piatu yang tidak diinginkan keluarga Dursley.

"Bagaimana tentang sapumu?" Laurel tetap bertanya meski dia sudah mengetahui jawabannya. Harry akan langsung memberitahunya (barangkali dalam teriakan dan pelukan bersemangat) jika Profesor McGonagall akhirnya mengembalikan Firebolt yang dikirim anonim itu padanya di  hari Natal. Rigel mungkin juga akan tahu jika Firebolt yang dikirimkan padanya akhirnya dinyatakan aman meski sapu balap itu tidak akan dikembalikan kepadanya yang masih kelas satu.

"Masih belum ada kabarnya."

Laurel memikirkan tentang hadiah Natal-nya sendiri. Dia menangkap Astoria tersenyum padanya beberapa kali, yang terutama lebar sekali pada saat melihat Laurel memakai jubahnya suatu hari. Beberapa kali juga Astoria dengan halus menyuruh kedua temannya untuk tutup mulut saat mereka menjelek-jelekkan Laurel. Laurel telah mengirimkan kartu terima kasih padanya.

"Oliver masih menggila pada Profesor McGonagall," kata Harry melanjutkan. Apa yang sedang mereka bicarakan lagi. Oh, betul. Firebolt Harry. Dan kapten Quidditch Harry yang fanatik soal memenangkan piala Quidditch di tahun terakhirnya di Hogwarts. "Menuntut sapu itu dikembalikan kepadaku secepatnya. Dia sama sekali tidak senang mendengar Rigel juga mendapatkan sebuah Firebolt, meratap soal Slytherin yang terus-meneruskan mendapatkan sapu bagus."

"Ha." Laurel ingat Harry menyebutkan soal Malfoy yang membelikan keseluruhan tim Slytherin Nimbus 2001 tahun lalu.

"Yeah." Harry tersenyum kecil. "Kau tahu, Profesor Lupin menyebutkan bahwa ayahku masuk tim Quidditch di tahun keduanya."

"Oh ya?"

"Katanya ayahku akan sangat bangga mengetahui aku adalah pemain termuda seratus tahun belakangan ini, masuk ke tim asrama saat tahun pertamaku."

Laurel ikut tersenyum. Harry terlihat sangat gembira setiap kali menceritakan ulang cerita-cerita Profesor Lupin tentang orang tuanya. 

"Aku berharap aku bisa mengingat lebih banyak tentang mereka," kata Harry, mendadak muram. "Satu-satunya yang kuingat hanyalah suara mereka di detik-detik terakhir mereka."

Laurel membayangkannya. Harry, lima belas bulan, di tempat tidurnya menyaksikan Lily memohon pada Voldemort. Dan itu satu-satunya memori Harry tentang orang tuanya.

Laurel memikirkan ingatannya tentang orang tuanya sendiri. Octavia. Mereka menyebut namanya dengan begitu sayang, tapi mereka meninggalkannya begitu saja. Dua tahun dan kebingungan, di depan panti asuhan. Gadis kecil itu berbohong saat berkata itu adalah satu-satunya ingatan tentang orang tuanya. 

Laurel ingat kehangatan suara mereka, dan rasa takut. Banyak rasa takut. Laurel tidak suka mengumumkannya, bahwa ada dua orang yang menyebutkan namanya dengan kehangatan tapi masih meninggalkannya karena rasa takut.

"Aneh, bukan?" tanya Laurel. "Kau bisa mengingat semua itu. Kau baru setahun."

Harry tertawa sedikit. "Aku tidak berpikir aku bisa melupakan seseorang mencoba membunuhku, berapa pun umurku."

"Kau juga ingat soal motor terbang, bukan?" kata Laurel. "Itu sesuatu."

"Hagrid, yeah. Aku tadinya berpikir itu cuma mimpi." Harry diam sejenak. "Aku sebenarnya tidak berpikir bayi dapat mengingat dari semuda itu. Kau pikir itu hal penyihir lain, seperti waktu hidup yang lebih lama dari Muggle?"

"Dumbledore pasti berumur lebih dari seratus tahun," Laurel menyetujui, tapi pikirannya masih di orang tuanya sendiri. Octavia Laurel, hanya dua nama itu yang ditinggalkan mereka untuknya. Bahkan tidak ada nama keluarga. Apa dia ingin mengetahui siapa mereka, dua orang yang telah menelantarkannya? Mereka bisa jadi masih berada di luar sana. Mereka bisa jadi masih hidup.

Mereka bisa jadi penyihir. Orang tuanya. 

Laurel menelan ludah, kemungkinan itu baru pertama kali terlintas di benaknya. 

"-rel? Laurel?" Suara Harry terdengar khawatir.

"Ya?" Laurel mendongak.

"Kau terlihat terganggu dengan sesuatu."

"Tidak. Ya." Laurel mengatupkan bibirnya. "Orang tuaku bisa jadi penyihir."

Harry kelihatan terkejut. "Itu ... tidak pernah kupikirkan sebelumnya." Sekarang Harry terdengar waspada, perlahan menyusun kata-katanya, "Apa kau ingin mencari mereka?"

"Aku tidak tahu--"

"Maksudku aku tidak akan keberatan-- aku akan membantumu!" Harry berkata buru-buru. "Merlin tahu apa yang akan kulakukan untuk menemukan mereka kalau aku tahu kalau ada kesempatan orang tuaku masih hidup," dia melanjutkan dengan muram.

"Aku tidak tahu, Harry," ulang Laurel. Bagaimanapun, mereka sedang membicarakan tentang orang tua yang menelantarkannya sendirian. "Kau tahu, aku bahkan tidak lagi yakin soal nama belakangku. Aku tidak tahu apa aku masih bisa terus memakai nama Dursley, rasanya salah."

"Hmm?"

"Mereka tidak menginginkanku lagi, Harry. Tidak apabila aku terus belajar sihir," kata Laurel.

"Apa ...? Mereka tidak bisa berbuat begitu saja, 'kan? Menarik paksa nama keluarga yang sudah diberikan padamu, mengembalikanmu ke panti asuhan?!"

"Aku tidak tahu. Tapi mereka tidak akan menerimaku."

"Tapi mereka menerimaku lagi dan lagi, setiap tahun!"

"Dumbledore meyakinkan mereka, entah bagaimana. Tapi kau lihat sendiri bagaimana mereka membencinya, memilikimu di rumah normal mereka."

"Dumbledore bisa--"

"Harry," kata Laurel, lebih lembut. "Aku tidak mau kembali ke sana."

"Mereka keluargamu!" Harry memprotes.

"Kau keluargaku," tukas Laurel, lalu mengatupkan bibirnya, baru menyadari bahwa dia sepenuhnya memercayai pernyataan itu.

Laurel mungkin memanggil mereka Mama dan Papa. Dudley mungkin dikenal orang sebagai kakak Laurel. Akan tetapi, satu-satunya orang di Privet Drive yang dikenal Laurel sebagai keluarga adalah Harry. Selalu.

"Oh," ucap Harry, pelan. "Kupikir aku juga tidak akan menolak jika aku bisa keluar dari rumah itu selamanya." Ada keheningan di antara mereka. "Mungkin keluarga Weasley akan mau menampungmu."

"Jangan konyol." Laurel bertanya-tanya apa ada semacam panti asuhan di dunia sihir.

"Tidak konyol," Harry membalas. "Mrs Weasley menyukaimu--"

"Mrs Weasley menyukai semua orang."

"--dan aku tahu mereka akan menampungku kalau Dumbledore mengizinkan. Kau tidak punya alasan untuk terus tinggal di Privet Drive, Dumbledore akan mengizinkan."

Jantung Laurel terasa hampir berhenti ketika dia menyadari bahwa jika dia meninggalkan keluarga Dursley, Harry akan sendirian di Privet Drive liburan yang akan datang.

"Liburan musim panas masih lama," kata Laurel, lemah. "Kita tidak perlu membicarakan ini semua sekarang."

***

"Kau terlalu banyak mengharap pada dirimu sendiri," Profesor Lupin menegur ketika untuk keberapa kalinya Harry pingsan setelah memaksakan dirinya sendiri. "Yang kau capai sudah termasuk hebat untuk seorang penyihir berumur tiga belas tahun."

"Ya, tentu saja. Kabut perak. Sangat mengesankan," gumam Harry, memijat kepalanya. "Ugh."

Profesor Lupin tersenyum sedikit, menggeleng-gelengkan kepala. "Kau tahu betapa sulitnya untuk menciptakan patronus nyata?"

"Tapi Anda bisa melakukannya, bukan?" Harry bertanya, mengutuk dirinya sendiri saat bangkit dari lantai terlalu cepat dan membuat kepalanya lebih pening.

Sekarang senyum sang profesor terlihat agak dipaksa. "Ya. Membutuhkan beberapa bulan, saat usiaku tujuh belas." Suara sang profesor lembut, "Jangan memaksakan dirimu sendiri. Aku sama sekali tidak mengharapkanmu mencapai bentuk corporeal patronus pada umurmu sekarang. Aku sudah menyebutkan, bukan, kalau banyak Auror yang tidak menguasai patronus? Yang bisa kau lakukan sekarang sudah jauh lebih dari polisi sihir resmi, pikirkan itu."

"Aku tidak bisa berhenti belajar. Kalau ada dementor yang muncul lagi saat Quidditch--"

"Kau akan bisa menahannya cukup lama untuk kabur dan menyelamatkan diri," potong sang profesor. "Yang sudah bisa kau lakukan sudah lebih dari cukup, Harry."

"Aku tidak bisa berada di dekat dementor!" Harry membenci fakta bahwa suaranya terdengar begitu putus asa. "Suara-suara orang tuaku."

Profesor Lupin menegang, seperti yang setiap kali dilakukannya ketika James dan Lily disebut. "Harry, mereka tidak akan menginginkanmu menyakiti dirimu sendiri. Yang akan terjadi kalau kau terus memaksakan diri. Patronus bukan sihir sembarangan."

"Apa pula yang ada di bawah kerudung dementor?" Harry bertanya-tanya, meringis ketika kepalanya berdenyut lagi. "Sesuatu yang begitu buruknya sampai-sampai mempengaruhi semua orang?"

"Ah," kata Profesor Lupin. "Tidak ada yang tahu. Soalnya begini, Harry, dementor hanya akan menurunkan kerudung mereka pada orang yang ingin mereka cium."

"Ih. Siapa yang ingin berciuman dengan dementor?"

"Kecupan Dementor adalah hal terburuk yang bisa terjadi pada seseorang. Semestinya ada semacam mulut di bawah kerudung itu, mencengkeram wajahmu dan menarik jiwamu keluar. Lebih buruk dari kematian."

"Oh."

"Otak dan organ-organmu yang lain masih dapat bekerja, tapi tanpa sebuah jiwa, sebuah tubuh ... hanyalah sebuah tubuh. Berfungsi, tapi tidak merasakan apa-apa. Dan pada akhirnya tubuhmu akan berhenti bekerja juga, tidak bisa hidup lama tanpa adanya jiwa yang menghuni." Lupin diam sejenak, seperti hampir tidak jadi mengatakan apa yang akan dikatakannya selanjutnya, "Itu hukuman yang menunggu Sirius Black saat dia tertangkap."

"Oh." Harry hampir-hampir tidak tahu harus bereaksi seperti apa. "Dia layak mendapatkannya," katanya pada akhirnya.

"Pantaskah dia, Harry?" tanya profesornya. "Apakah ada orang yang layak disedot keluar jiwanya?"

Harry memikirkan tawa melengking dan suara ibunya memohon. "Ya, untuk perbuatan-perbuatan tertentu."

Wajah Lupin kosong, hampir terhantui. "Aku tidak bisa bilang itu adalah nasib yang ingin kujatuhkan bahkan untuk Sirius Black."

Harry hampir bisa mengerti, tapi dia juga masih ingat kemarahannya mengetahui bagaimana Sirius Black telah mengkhianati orang tuanya. Namun, dia tidak bisa menyalahkan Profesor Lupin untuk pendapatnya. Memikirkan tentang jiwa yang disedot membuatnya mual, bahkan jika itu Sirius Black. Dan Harry tidak pernah mengenalnya secara pribadi. 

Sekarang, Harry hampir-hampir berharap dia tidak bertanya soal kerudung dementor.

"Aku tahu ayahku saling tidak menyukai dengan Snape," kata Harry, mencoba mengganti bahan pembicaraan dan membebaskan mereka dari atmosfer dingin tidak nyaman yang dibawa dengan membicarakan soal dementor. "Bagaimana dengan ibuku? Apa dia memiliki ... musuh di sekolah??"

"Sepertimu dan Malfoy?" Profesor Lupin tersenyum lagi. "Tidak ada yang seperti itu. Semua orang menyukai ibumu. Nyaris semua orang. Ada seseorang." Harry menatap profesornya dengan mata terbuka lebar, memperhatikan Lupin tenggelam dalam memori masa lalu. "Arachne Carrow membenci Lily habis-habisan. Dia membenci semua kelahiran Muggle, tapi Lily terutama, karena dia berani-beraninya menjadi lebih baik dari banyak anak-anak Darah-Murni dan Carrow sendiri, tentu saja." Sang profesor tertawa kecil.

"Omong-omong, Lily tidak pernah menggubrisnya, semua ejekan dan gangguan dari Carrow. Membuat Carrow marah luar biasa. Carrow selalu agak gila. Banyak Darah-Murni yang seperti itu, karena semua pernikahan antar sepupu itu." Lupin menggeleng-geleng. "Carrow bisa saja dikeluarkandari sekolah kalau Laura Prewett tidak selalu menghentikannya sebelum dia melangkahi batas."

"Prewett? Itu nama Mrs Weasley, bukan?" Harry mengingat.

Profesor Lupin berhenti sejenak, ragu, seperti hal itu baru teringat olehnya. "Ya. Dia teman Carrow dan satu-satunya yang bisa mengendalikannya sedikit di sekolah, itu yang kutahu. Carrow mungkin menganggap Lily sebagai musuhnya, tapi Lily tidak pernah memedulikannya. Kurasa hanya itu tentang musuh Lily, kecuali kita menghitung James yang selalu mengganggunya dulu."

"Apa Carrow seorang pengikut Voldemort?"

"Jika ya, itu tidak pernah terbukti. Jangan khawatirkan dia, Carrow ada di Azkaban sekarang. Sudah di sana dari sembilan tahun yang lalu."

"Hm? Untuk apa?"

Profesor Lupin mengernyitkan wajahnya. "Dia dan suaminya ... membunuh dua orang dengan sihir hitam."

"Oh."

"Mari kita bicarakan hal lain. Lily punya beberapa teman dekat--Marlene McKinnon, Alice Fortescue, dan Mary Macdonald."

"Di mana mereka sekarang?"

Ekspresi Profesor Lupin tidak nyaman. "Marlene tewas oleh Voldemort. Alice Fortescue ... namanya Longbottom setelah lulus, dia ibu Neville--"

Harry tahu Neville tinggal dengan neneknya tanpa pernah menyebutkan orang tuanya. "Oh."

"Ya. Dan Mary memutuskan untuk kembali ke dunia Muggle sepenuhnya, putus sama sekali dengan dunia sihir."

"Kau bisa melakukan itu?" Harry bertanya, terkejut.

"Ya. Tapi kau harus mematahkan tongkatmu."

Jari Harry berkedut, menggenggam tongkatnya erat tanpa bisa dihentikan. Pikiran untuk mematahkan tongkatnya ... hampir-hampir menyakitkan. "Kenapa ada orang yang dengan sukarela mau mematahkan tongkat mereka?"

"Entah itu, atau nyawamu terancam. Saat perang banyak penyihir kelahiran Muggle yang memutuskan untuk mematahkan tongkat mereka dan mundur dari dunia sihir. Aku tahu beberapa penyihir berdarah murni juga. Tidak sepenuhnya menyenangkan, tapi kalau kau berhasil melakukannya dengan benar dan sama sekali tidak menggunakan sihir, kau bisa bersembunyi dengan aman di tengah para Muggle."

Ide penyihir berdarah murni mencoba bersembunyi di tengah para Muggle terdengar konyol. Bahkan keluarga Weasley yang menyukai Muggle tidak akan bisa hidup di antara mereka tanpa sihir dan tidak menimbulkan kecurigaan.

"Mereka teman-teman sekamar Lily," Profesor Lupin mulai melanjutkan lagi, tapi Harry tidak bisa fokus sekarang, dengan teror perang masih menghantui kepalanya. Suasana cerita-cerita Profesor Lupin tak lagi nyaman.

26 Juni 2021

Rye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro