1.5 | lepas kendali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Laurel sudah mengenali ritmik kehidupan barunya di Hogwarts. Bukan berarti dia sudah terbiasa dengannya.

Dia bangun pagi dan tidak berbicara dengan teman-teman sekamarnya. Hayley benar, sekali lagi. Jika Laurel berperilaku seolah-olah dia tidak penting, sebagai seseorang yang bahkan terlalu remeh untuk ditindas, orang-orang akan meninggalkannya sendiri. Jadi, Laurel tetap menjaga kepalanya menunduk, tidak membiarkan dirinya dikenal.

Laurel tidak mendapati pelajarannya mudah, meski gadis itu juga tak menemukan banyak kesulitan dalam pelajaran sihir. Transfigurasi-nya bukan yang terbaik, tapi bukan yang terburuk. Pelajaran Jimat dan Jampi-Jampi, Laurel tak pernah menjadi yang berhasil pertama, tapi dia tidak yang terakhir menguasai mantra. 

Pertahanan terhadap Ilmu Hitam Laurel sedikit lebih baik. Tidak ada yang terkejut ketika Rigel menjadi yang terbaik di teori maupun praktik pelajaran ini. Herbologi dan Sejarah Sihir Laurel standar. Laurel bukan orang terburuk saat latihan terbang dengan sapu usang sekolah, tapi dia tidak menonjol juga meski Rigel memberitahunya bahwa dia seorang yang alami.

Pelajaran terbaik Laurel ada di Ramuan.

Snape tidak pernah mengomentarinya, tidak seperti dia bolak-balik mempermalukan anak-anak Gryffindor pada kesalahan-kesalahan kecil yang mereka lakukan. Laurel tidak banyak menemukan alasan untuk berbicara atau memperhatikan hal yang lain, fokusnya ada di buku dan kualinya sendiri.

Kemampuan Ramuan Laurel jauh dari sempurna, tapi beberapa lama di Hogwarts melatih Laurel untuk diam dan tidak memperhatikan yang lain. Ketelitian, hanya itu yang sebenarnya dibutuhkan untuk kemampuan standar agar bisa lulus kelas Ramuan.

Satu-satunya yang membuat Laurel menonjol hanyalah bagaimana Harry menariknya ke mana-mana. 

Laurel tidak bisa menghentikan dirinya untuk tidak mulai membenci perilaku Harry itu. Dia mulai dikenal sebagai peliharaan Harry, anak-anak Slytherin tampaknya semakin tidak menyukainya.

Laurel bisa merasakan tatapan anak-anak yang seasrama dengannya setiap saat. Intensnya tatapan mereka terasa menembus punggungnya dan membakar keberaniannya, membuatnya hampir muntah.

Gadis kecil itu berusaha sebaik mungkin untuk menghindari keramaian. Pada malam hari, dia mendekam di kamarnya. Kebanyakan anak lain mengobrol atau mengerjakan tugas di ruang rekreasi Slytherin yang berlebihan luasnya. 

Mendengarkan Malfoy menyombongkan lukanya membuat Laurel harus menahan diri untuk menendangnya. Harry mengeluh juga padanya soal itu. Malfoy sedang berusaha membuat Hagrid dipecat dengan alasan kecelakaan bodoh dengan Buckbeak yang sebenarnya merupakan kesalahannya sendiri. Kalau mendengarkan cerita Harry tentang bagaimana dramatisnya Malfoy berulah setelah digores sedikit saja dan dibandingkan dengan bagaimana heroiknya Malfoy terdengar saat dia sendiri menceritakan ulang kejadian itu di ruang rekreasi Slytherin, muncul lagi dorongan dalam hati Laurel untuk diam-diam meracuni makanan Malfoy.

Anak laki-laki itu pikir dia hidup dalam dunia lain di mana dia adalah tokoh utamanya, Laurel bersumpah.

Saat ini, Harry membawa Laurel untuk duduk di pinggir danau dengan Hermione dan Ron untuk belajar. Hermione membawa bukunya yang setumpuk besar, tebal dan berat-berat. 

"Aku tidak mengerti kenapa kau masih saja harus belajar sebanyak itu, Hermione," kata Ron. "Kau masih nomor satu di setiap pelajaran."

"Arithmancy-ku mulai ketinggalan!" kata Hermione dengan panik. "Aku perlu menanyakan beberapa hal ke Profesor Vector nanti. Aku tidak bisa menjawab beberapa pertanyaan yang tadi diajukan di kelas."

"Kalau kau tidak bisa menjawab, aku yakin tidak ada anak lain yang bisa, 'Mione," Harry mencoba menghibur.

"Tapi bagaimana dengan O.W.L.-ku nanti? Juga Rune Kuno, PR-ku kemarin salah satu!" Hermione membalik halaman bukunya dengan panik, lalu berhenti sebentar untuk menatap tajam kedua anak laki-laki sahabatnya. "Kalian berdua juga sebaiknya belajar dari sekarang untuk O.W.L., itu menentukan masa depan dan karir kalian, tahu."

"Itu masih dua tahun lagi, Hermione. Kita punya banyak waktu."

Laurel diam saja, pelajarannya tidak ada apa-apanya, dia lihat, kalau dibandingkan dengan Ron dan Harry, apalagi Hermione. Dia bisa bersantai, tugasnya yang sedikit kebanyakan sudah selesai.

Laurel agak heran dengan Hermione. Gadis itu juga Muggleborn seperti dirinya, tidak pernahkah ada yang berkata padanya untuk menahan diri memamerkan kehebatannya? 

"Laurel, kamu sebaiknya mulai belajar untuk ujianmu di akhir tahun. Natal dua bulan lagi, setelah itu semuanya akan terasa sangat cepat, pelajaranmu mungkin akan lewat begitu saja." Hermione beralih pada Laurel.

"Note that," gumam gadis yang lebih muda itu, tidak terlalu senang.

Paling tidak, ada sesuatu yang bisa ditunggu-tunggu oleh Laurel. Musim Quidditch sebentar lagi, Laurel akan menonton pertandingan pertamanya dalam waktu singkat. Oliver Wood memecut tim Gryffindor habis-habisan, entah bagaimana kabarnya tim Slytherin. Harry terobsesi untuk memenangkan piala Quidditch, sepertinya hanya olahraga itu dan Laurel yang ada di pikirannya.

Hermione dan Ron berusaha keras untuk tidak membicarakan kunjungan Hogsmeade yang kan terjadi sebentar lagi kepada Harry, secara formulir milik Harry tidak ditandatangani oleh Papa. Namun, Laurel dapat melihat bahwa meski kakak sepupunya agak pedih karena tidak bisa pergi bersama teman-temannya, Harry terhibur dengan fakta bahwa Laurel juga belum bisa pergi ke Hogsmeade.

"Liburan depan mungkin aku bisa meyakinkan Papa," Laurel memberitahu Harry kemarin. "Bilang aku mau cokelat ajaib dan belum bisa pergi atau apalah."

Laurel sebenarnya tidak terlalu yakin. Dia tidak tahu apa Papa membencinya atau tidak. 

"Aku punya Transfigurasi sebentar lagi," Laurel akhirnya angkat bicara setelah beberapa saat tidak ada yang membuka mulut.

"Ayo." Harry beranjak bangun. 

Laurel mengamati kakak sepupunya mengumpulkan buku-bukunya dalam diam. Harry masih akan mengantarkannya.

Hermione dan Ron tidak berkomentar saat Laurel dan Harry meninggalkan mereka.

"Potter!" seru seseorang setelah mereka memasuki kastil. Pundak Laurel langsung menegang ketika melihat dengan siapa mereka berpapasan. Malfoy. "Aku tidak tahu kau harus mengasuh di Hogwarts!"

"Pergilah, Malfoy," Harry membalas, mengeratkan tangannya di lengan Laurel dengan protektif. Harry menarik adiknya mengitari Malfoy.

"Kau yakin kau tidak jatuh cinta dengan adikmu sendiri, Potter?"

Laurel dan Harry berjalan semakin cepat, meninggalkan Malfoy jauh di belakang.

***

Oliver Wood luar biasa paranoid mengenai Laurel menonton latihan tim Gryffindor, tapi Harry berhasil meyakinkannya untuk membiarkan gadis kecil itu tinggal di salah satu tribun. Harry, entah mengapa, berhasil meyakinkan dirinya sendiri bahwa Laurel punya bakat dalam Quidditch dan bersikeras dia belajar dengan menonton. 

Well, Harry tidak sebegitu yakin lagi ketika hujan mulai turun. Dia sendiri tidak peduli kalau dirinya basah, tapi tribun tempat Laurel menonton tidak memiliki atap. Ditambah dengan angin kencang yang berembus, Harry mengkhawatirkan kesehatan Laurel yang terpapar semua itu. Harry jadi menyesal membawa Laurel ke latihannya tadi.

Oliver tidak mengizinkan mereka untuk berhenti sebelum waktu latihan mereka benar-benar habis. Mereka, basah kuyup, masuk ke ruang ganti. Harry mengeluarkan napas lega ketika Angelina, Katie, dan Alicia mengizinkan Laurel masuk juga ke ruang ganti perempuan untuk menghangatkan diri setelah melihat betapa kedinginannya Laurel, yang entah kenapa bertahan menonton Harry meski sudah basah kuyup.

Setelah mengganti seragam Quidditch-nya dengan jubah biasa, Harry langsung keluar buru-buru. Laurel tidak punya baju ganti, dia harus cepat-cepat mengantarnya kembali ke bawah tanah tempat asrama Slytherin berada.

 Kulit Laurel pucat dan rambutnya yang terkepang basah. Harry berjalan dengannya kembali ke kastil. Gadis itu menggigil seperti anak kucing. Melihat itu, Harry melepaskan jubah luarnya dan mengambil milik Laurel yang kuyup, melilit leher adiknya dengan syalnya sendiri. 

"Harry—"

"Aku tidak apa-apa." Harry sekarang menggigil juga. Udara Oktober terasa dingin di kulitnya. "Ayo."

Harry menemaninya sampai ke bawah, ke depan asramanya. Laurel masuk setelah mengucapkan kata kuncinya ("Noble House.") dan dengan cepat, tanpa diperhatikan siapa pun, menyelinap naik ke kamarnya.

Laurel menghabiskan waktu di kamar mandi, merasa lebih baik begitu memakai piamanya yang sepenuhnya kering. Dia tidak harus mengkhawatirkan mengerjakan PR-nya dan dia masih kedinginan, jadi Laurel merangkak naik ke ranjangnya, menyelinap ke balik selimut tebalnya setelah menarik tertutup kelambu tempat tidurnya. 

Tapi dia tidak bisa jatuh tertidur.

Laurel mendengar ketika Astoria, Valentina, dan Stacey masuk ke dalam ruangan dan masing-masing bersiap untuk tidur. Laurel tidak pernah berbicara pada mereka, kecuali Valentina dan Stacey melemparkan umpatan padanya bisa disebut sebagai 'berbicara'. Astoria tidak pernah mengikuti kedua temannya, tapi juga tak berbuat apa-apa melihat Laurel dihina habis-habisan.

Setelah lampu dimatikan, rasanya lama sekali Laurel berbaring di tempat tidurnya. Dia hanya tidak bisa jatuh tertidur, selelah apa pun dia merasa. Laurel berbaring lama sekali sampai dia tahu ruang rekreasi pasti sudah kosong sekarang. 

Laurel bangun, tanpa suara memakai sandal kamarnya dan menyambar syal untuk membungkus tubuhnya. Sudah terlatih, Laurel sehening tikus ketika merayap ke ruang rekreasi. Tidak ada suara yang terdengar.

Seperti dugaannya, ruang rekreasi kosong. Perapiannya masih menyala, Laurel ingin duduk di depannya, merasakan kehangatan api menyerap masuk ke tubuhnya.

Saat itulah dia sadar bahwa ada seseorang yang sudah duduk di depan perapian.

Laurel membeku. Malfoy belum melihatnya. Pelan-pelan, dia berbalik dan mengambil jalannya kembali ke kamarnya. Namun, dalam kepanikan diam-diamnya, Laurel tersandung salah satu dari banyak kursi di ruangan itu.

Laurel tidak terjatuh, kursi itu bahkan tidak mengeluarkan suara keras—hanya berkeriut sedikit. Akan tetapi, itu sudah cukup untuk membuat Malfoy menoleh.

"Dursley," seringainya merendahkan. Lalu, tatapannya menurun dari wajah Laurel. "Apa itu syal Gryffindor?!"

Laurel menyadari dia tadi menyambar syal Harry dan bukan miliknya sendiri di kegelapan, dengan defensif membalutnya semakin erat di tubuhnya. "Ini punya Harry," katanya.

"Tentu saja," dengkus Malfoy. "Kau tahu, menempel ke Harry Potter setiap saat dan memakai syalnya tidak akan membuatmu disukai orang, Dursley."

"Siapa peduli?" balas Laurel, marah. "Apa sih urusanmu? Hanya karena Harry menolak pertemananmu, kau pikir kau bisa seenaknya saja berusaha menginjak-injaknya?"

Wajah Malfoy mengeras. "Harry Potter," katanya dengan nada mengejek. "Sangat hebat. Kesayangan para profesor, anak emas Gryffindor, selalu punya segalanya yang dia inginkan. Kenapa kau tidak melihat apa sebenarnya dia? Anak manja, begitu bergantung pada orang-orang yang memujanya, berpikir dia bisa berbuat apa saja karena dia punya bekas luka bodoh di dahinya—"

"Tutup mulut!" seru Laurel. "Tutup mulut!" Kemarahannya berkobar mengingat seburuk apa Harry diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebelum Laurel datang ke Privet Drive ... malam-malam saat Harry dikunci di kamarnya sendiri dan hanya diberi makan makanan yang bahkan tidak cukup baik untuk binatang. Laurel mengingat hari-hari dia harus menyelinap keluar untuk menyeludupkan makanan untuk Harry, berbohong pada orang tuanya demi memastikan Harry tidak kelaparan.

Laurel mengingat Harry yang berbicara padanya mengenai orang tua kandungnya. Foto yang didapatnya dari Hagrid, juga di cermin tarsah. Laurel mengerti bagaimana Harry merindukan orang tua yang bahkan tidak diingatnya lagi. Harry merindukan sebuah keluarga ... dan si bocah Malfoy yang mengadukan semua pada ayahnya itu tidak akan mengerti.

"Satu lagi pemuja Potter," ejek Malfoy. 

"Jadi kau mau menjadi seperti Harry, begitu?" Laurel melangkah mendekatinya, napasnya pendek-pendek. "Semoga kau medapat apa yang kau inginkan, kalau begitu! Semoga Kau-Tahu-Siapa membunuh orang tuamu suatu hari dan kau mendapatkan bekas luka yang sangat kau inginkan itu!"

Kini Malfoy juga tersulut. "Tarik ucapanmu tentang orang tuaku!"

"Mungkin mereka bisa mati dalam hari yang sama!" balas Laurel. "Dan kau ditinggalkan di rumah kerabatmu untuk mati kelaparan!"

"Kau hanyalah seorang Darah-Lumpur!" desis Malfoy. "Berani taruhan kau tidak akan sangat berani dengan tongkat di lehermu, mungkin menjerit-jerit agar diselamatkan Harry-mu tersayang."

Laurel bahkan tidak terpengaruh dengan sebutan itu, saking seringnya kata itu disebut secara kasual di antara anak-anak Slytherin. "Atau mungkin kau yang jadi terkapar di lantai, memohon-mohon agar Mummy dan Daddy datang membantumu sebelum kau ingat kau yatim piatu seperti Harry Potter yang sangat kau irikan."

"Tarik itu, Dursley," geram Malfoy, mengambil tongkatnya di kantong dan berdiri menghadapnya.

"Atau apa? Kau akan mengutukku? Darah-Murni kelas tiga melemparkan kutukan pada kelahiran Muggle dengan perkenalan satu bulan terhadap dunia sihir, kedengarannya tidak terlalu adil bukan? Oh, betul. Kau tidak peduli dengan adil karena kau seorang pengecut!" Laurel mengerahkan tenaganya untuk mendorong Malfoy ke belakang.

Tidak mengharapkan itu, Malfoy terhuyung ke belakang, hampir terjatuh. Dia tidak menyangka Laurel tidak mencabut tongkatnya sendiri dan malah memakai fisik.

Peduli amat dengan menjadi hening dan berusaha agar kehadirannya tidak disadari, Laurel berlari kembali ke kamarnya.

Oh, Merlin. Oh, Merlin.

Dia kehilangan kendali diri lagi.

Laurel bisa saja menendang jatuh Malfoy, lalu menginjaknya seperti yang diteriakan otaknya tadi.

Dia hanya mendorong Malfoy.

Tapi itu sudah cukup buruk.

Dia kehilangan kendali diri lagi, membiarkan kemarahan menguasai tubuhnya.

Dia bisa saja melukai Malfoy parah.

Dia ingin melukai Malfoy parah.

Ini buruk sekali.

Kembali di ruang rekreasi, Draco Malfoy sudah kembali ke tempat duduknya barusan di depan perapian. Kemarahan yang tadi menguasainya mulai menyurut.

Tertegun, menatap perapian, sementara salah satu ucapan Laurel terngiang-ngiang di telinganya.

"Dan kau ditinggalkan di rumah kerabatmu untuk mati kelaparan!"

Itu tidak benar-benar terjadi pada Potter, bukan?

Tapi hal pertama yang diperhatikan Draco dari si Anak yang Bertahan Hidup adalah betapa kurusnya dia. Dan betapa kegembiraan terlihat salah tempat berada di mata hijaunya.

Si gadis kelahiran Muggle tadi menyumpahi orang tuanya, tentang bagaimana Harry tidak memiliki orang tua kandungnya.

Dan sejujurnya, Draco Malfoy tidak pernah mengingat bahwa Harry Potter adalah seorang yatim piatu melihat seberapa beruntungnya anak laki-laki dengan bekas luka berupa sambaran petir itu di Hogwarts, dengan teman-temannya yang setia dan guru-guru yang menyayanginya, dan sekarang ditambah dengan seorang adik yang selalu membelanya.

Potter punya segala sesuatu yang tidak Draco miliki, hanya itu yang selalu diingat oleh si pewaris Malfoy.

Dan Draco lupa bahwa dia punya hal-hal yang tidak akan pernah Potter miliki.

28 November 2020 (00.43 waktu chapter ini selesai ditulis)

Tolong Rye ngakak sendiri ngebanyangin anak cewek kecil dorong ferret sampe hampir jatoh ಥ‿ಥ

Dan kalau kalian penasaran seberapa jauh Rye udah merencanakan cerita ini ...

Rye udah punya nama buat anak-anak Laurel buat chapter Nineteen Years Later kayak di seri aslinya :)

Jadi *uhuk* suami masa depannya Laurel juga udah ada fix

Question of the Chapter: kalau ada question of the chapter kalian bakalan jawab nggak sih?

Rye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro