1.6 | istirahat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika Laurel bangun pagi selanjutnya, seluruh tubuhnya terasa sakit. Pikirannya terasa berkabut, segala hal yang terjadi kemarin terasa seperti mimpi.

Laurel bangun dan berpakaian, memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dan bergerak ke luar. Harry menunggunya di depan pintu asrama seperti biasanya.

"Tidurmu baik-baik saja kemarin malam?" tanya Harry.

"Hmm," jawab Laurel, samar-samar mengingat menggigil kedinginan saat meringkuk di tempat tidurnya dan meneriaki Malfoy. Dia tidak berbicara lagi saat mereka berjalan ke Aula Besar. Mereka berpisah saat Laurel menuju ke meja Slytherin, Harry membawanya makan di meja Gryffindon pada hari-hari awal dan Laurel tahu kehadirannya tidak diinginkan di meja para singa.

Laurel duduk di sebelah Rigel, memaksakan mulutnya mengunyah sedikit roti panggang.

"Pelajaran pertama Ramuan," kata Rigel ceria. Snape tidak peduli apa pun yang mereka lakukan, Rigel bisa bermain, tidak memperhatikan pelajaran sama sekali dan Snape tidak akan berkomentar apa-apa.

Pelajaran Harry dimulai sepuluh menit lebih awal dari Laurel hari ini, dia dan Rigel berjalan ke bawah tanah tempat kelas Ramuan berada tanpa diantar Harry. Profesor Snape sudah ada di dalam ruangan, tidak menoleh ketika Laurel dan Rigel memasuki kelas dan mengambil tempat mereka di balik meja.

"Hari ini kita akan mencoba membuat Ramuan Pelupa," kata sang profesor datar ketika semua kursi sudah terisi. "Buka buku kalian pada halaman 87 dan jangan mengacau. Ramuan akhir kalian akan dinilai pada akhir pelajaran."

Ada banyak suara keluhan, tapi satu tatapan tajam ke anak-anak tertentu sudah cukup untuk membuat mereka tutup mulut dan segera bekerja.

Laurel membuka bukunya dan mulai membaca resepnya, merasakan kepalanya agak pening saat mendaftar bahan-bahan yang harus diambilnya dari lemari persediaan kelas. Rigel sudah bergerak lebih cepat darinya, menenteng bukunya dan berdesak-desakan dengan anak-anak lain di depan lemari untuk mengambil bahan.

Memastikan dia sudah membaca bagian depan resep beberapa kali, Laurel mulai mengumpulkan bahan-bahannya sendiri. Kualinya sudah dipanaskan. Petunjuk yang ada di bukunya lumayan jelas, asalkan dia hati-hati melakukan semuanya ramuannya akan lulus inspeksi Snape. Suara-suara di kelas terasa menjauh saat gadis kecil itu memfokuskan dirinya pada ramuan yang akan dibuatnya.

Dua lembar sayap rayap. Laurel hati-hati menghitungnya, memastikan tidak ada sayap yang menempel dengan yang diambilnya. Mata kumbang dan kulit sebuah makhluk entah-apa-namanya. Mengabaikan bunyi denging yang mulai didengarnya, Laurel melaksanakan perintah selanjutnya. Aduk searah dengan jarum jam empat kali, lalu berlawanan tiga kali.

Ruangan kelas itu mulai dipenuhi dengan uap panas dari kuali anak-anak. Udara terasa lembap dan berat. Laurel merasakan kulitnya memanas, kelas itu terlalu pengap.

Satu putaran lagi ke kanan, lalu diamkan satu menit sebelum aduk kembali dan tambahkan bahan lainnya, instruksi buku Ramuan. Cairan di dalam kuali Laurel menggelegak, warnanya ... apa sudah benar? Laurel mengangkat tangannya untuk membalik halaman buku, merasakan tangannya terasa berat dan tulisan di bukunya keliatan agak kabur.

Kuning kecokelatan? Ya, itu sudah benar. Dia harus menunggu satu menit sekarang. Waktu terasa berjalan lebih lambat. Ada banyak anak yang berbisik-bisik pada satu sama lain dan Snape berjalan mengitari kelas untuk mengkritik ramuan anak-anak Gryffindor. Suara mereka terdengar teredam di telinga Laurel.

Apa sudah satu menit? Laurel menyadari dia sempat jatuh melamun sebentar, atau paling tidak rasanya begitu. Kelopak matanya berat, begitu pula napasnya. Dia harus segera bergerak dan mengaduk ramuannya lagi dan-

"Laurel!" jeritan Rigel teredam juga di telinganya. Timah panas yang menyentuh kulitnya membuat Laurel mengernyit kesakitan. Semuanya terjadi cepat sekali. Seseorang menariknya ke belakang dengan cepat, dan Laurel mengamati setengah bermimpi cairan mendidih yang tumpah di lantai depannya, hampir saja menyiram tubuhnya kalau saja dia tidak ditarik.

Rigel terengah-engah. Laurel lemas di lengannya, membuatnya terhuyung ke belakang dengan bebannya. Wajah gadis itu merah.

"Dursley, apa-apaan-" Snape buru-buru berjalan mendekati mereka, perhatian seluruh kelas kini ada padanya. Laurel menarik napas cepat, mengisi paru-parunya dengan oksigen sebanyak mungkin, mulai sadar. Tangannya yang tadi menyentuh kuali membara terasa sakit dan kulitnya terasa sangat panas.

Pikiran Laurel mulai berjalan lagi, sedikit-sedikit. Dia hampir pingsan ke kualinya saat Rigel menyentaknya mundur, membuat ramuannya tumpah tapi menyelamatkannya dari direbus hidup-hidup.

Rigel menarik Laurel ke pinggir, membiarkannya duduk menyandar di dinding saat Profesor Snape memperbaiki kekacauan yang tak sengaja mereka buat. Dinding batu kastil terasa dingin di punggung Laurel.

Profesor Snape mengayunkan tongkatnya dan ramuan yang tumpah lenyap, kuali Laurel kembali ke tempatnya di atas meja sebersih baru. Sang profesor lalu mendelik pada Laurel. "Dursley-"

"Laurel hampir pingsan, Profesor! Dia sakit!"

Tatapan dingin Snape kini terarah pada bocah berambut gelap itu. "Aku bisa lihat itu dengan jelas, Black."

Rigel merengut mendengar nada Snape saat menyebutkan nama belakangnya.

"Dursley, sayap rumah sakit. Kau boleh ikut dengannya, Black."

Sekali lagi melemparkan pandangan kesal pada Snape, Rigel lalu beralih pada temannya yang masih setengah sadar. "Ayo, Laurel."

Laurel sudah bisa berdiri, kepalanya berdenyut pada setiap langkah yang diambilnya. Semua indranya terasa menumpul, dia tidak ingat banyak selain Rigel yang menggumamkan tentang betapa panasnya dia saat membantunya berjalan.

"Oh, dear, dear!" Madam Pomfrey bergerak cepat mengambil Laurel dari Rigel begitu mereka memasuki sayap rumah sakit. "Apa yang terjadi?"

"Dia panas sekali, tadi hampir pingsan di Ramuan," Rigel menjawab. "Sepertinya ada luka bakar di tangannya. Laurel tidak apa-apa, kan?"

Laurel didorong untuk berbaring ke salah satu tempat tidur rumah sakit yang berseprai putih bersih oleh sang matron yang memeriksa suhunya dengan sigap, lalu mengecek tangannya. "Aku dapat memperbaiki yang ini dalam hitungan detik, tapi demamnya tinggi. Dia butuh istirahat. Dia tidak akan mengikuti pelajaran hari ini."

Madam Pomfrey lanjut berbicara pada Rigel untuk memberitahu gurunya, tapi Laurel sudah keburu jatuh tertidur.

***

Laurel terbangun pada tengah hari, mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Dia mencoba untuk bangun, langsung merasakan kepalanya berdengung berat.

"Tidak, tidak secepat itu!" Madam Pomfrey buru-buru bergerak ke arahnya, tangannya cekatan mengambil gelas di sebelah Laurel dan menyuapkan sesuatu ke mulutnya, setelah itu menyuruhnya minum. "Ramuan penurun panas. Apa yang kau lakukan kemarin, hujan-hujanan?"

Laurel mengangguk, agak malu.

Madam Pomfrey mendesah lelah. "Tidak ada yang parah, hanya butuh istirahat. Besok kunjungan Hogsmeade pertama tapi kau tidak boleh perg- oh, kau masih kelas satu. Tidak ada berlarian di pekarangan, kalau begitu. Dan malam besok setelah perjamuan Halloween, kembali ke sini untuk kuperiksa."

"Aku tidak bisa kembali ke asrama malam ini?" tanya Laurel dengan suara kecil.

"Tidak, kau tidak akan kembali ke asrama. Kamar Slytherin terlalu dingin untukmu," kata sang matron tegas. "Demammu itu tidak apa-apa, tapi kau butuh tinggal di sini untuk beristirahat."

Harry datang setelah Laurel menyantap makan siangnya, merasa bersalah karena dialah yang membuat Laurel kehujanan malam sebelumnya.

"Hanya perlu istirahat, kata Madam Pomfrey," Laurel meyakinkannya. "Aku tidak apa-apa. Aku malah bisa bolos pelajaran hari ini."

Harry membalas cengirannya setengah hati.

Rigel membawakan buku-bukunya. Laurel tidak membuka catatan yang diambil Rigel untuknya sama sekali, tidak berbuat apa-apa sepanjang hari. Laurel jatuh tertidur dan bangun. Kepalanya sudah mendingan, tapi dia masih merasa terputus dari dunia nyata.

Harry berusaha menemaninya di antara jam kosongnya agar Laurel tidak kesepian, tapi Madam Pomfrey mengusirnya, berkata Laurel perlu istirahat.

Ya, istirahat dari berpikir dan mengkhawatirkan segalanya yang belum terjadi.

***

Harry muncul keesokan paginya sebelum jam sarapan.

"Kunjungan Hogsmeade hari ini," katanya.

"Kamu bisa pergi tahun depan. Kalau Papa tidak mau menandatangani, Mama masih bisa diyakini," Laurel memberitahunya.

"Yeah." Harry tersenyum lemah. "Apa yang akan kamu lakukan hari ini?"

Laurel mempertimbangkan sebentar. Bukannya dia tidak menyukai waktu yang dilaluinya bersama Harry, tapi dia merasakan kesendirian sedari kemarin di sayap rumah sakit dan memutuskan bahwa dia ingin menyukainya. Mungkin dia akan memperpanjangnya sedikit ... sebentar saja. "Aku sudah boleh keluar, hanya harus melapor ke Madam Pomfrey nanti malam. Kurasa aku akan pergi ke kamarku saja sekarang dan berbaring-"

Harry mengangguk suram, sudah mengharapkan bisa menghabiskan waktu dengan Laurel. Namun, tentu saja, sepupunya masih terlihat pucat dan tidak sehat. Harry tidak bisa tahan dengan pikiran membuatnya semakin sakit dengan tidak mengizinkannya istirahat.

"Aku akan ke Aula Besar untuk sarapan sekarang," kata Harry setelah beberapa saat. "Setelah itu aku akan mengantar Ron dan Hermione dan yang lain ke depan."

"Aku tinggal di sini dulu," balas Laure, tersenyum kecil pada kakak sepupunya menghibur. "Madam Pomfrey masih mau memeriksaku sekali sebelum melepaskanku."

Ketika Harry pergi, sang matron langsung menghampirinya dan memeriksanya, seperti yang tadi Laurel katakan pada Harry. "Nah, asal kau tidak hujan-hujanan atau berlelah-lelahan, kau akan baik-baik saja," Madam Pomfrey menginformasikan. "Kau boleh pergi."

"Terima kasih, Profesor," sahut Laurel. Tadi malam dia memakai piamanya yang didatangkan ke sayap rumah sakit, sekarang dia menggantinya dengan seragam jubahnya kemarin.

Laurel berjalan ke asramanya sendirian. Hogwarts sepi, hanya tersisa anak-anak kelas satu dan dua serta sebagian anak kelas atas yang entah dengan alasan apa tinggal di kastil.

Teman-teman sekamar Laurel tidak terlihat. Gadis kecil itu menikmati kesunyian yang ada, membersihkan diri dan memakai pakaian bersih. Laurel lelah akan kehadiran kakak sepupunya yang tak pernah meninggalkannya, berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia hanya akan mengambil sedikit lagi tambahan istirahat dari Harry dengan segala kekhawatirannya.

Membaringkan tubuhnya di tempat tidurnya sendiri, Laurel mendesah. Dia berhasil menjaga pikirannya agar tidak ke mana-mana, membendung kekhawatirannya dengan menyembunyikan diri dari kenyataan yang ada. Kalau tidak, bagaimana caranya dia menghadapi kenyataan bahwa dia dan Harry semakin lama semakin jauh dan dia mulai merasa terganggu dengan kehadiran Harry setiap saat dan mungkin, mungkin dia tidak benar-benar diterima seperti yang dikiranya-

Hentikan! Laurel menjerit di dalam kepalanya, menggerutu pada dirinya sendiri dan berputar sehingga dia berbaring di sisinya.

Setelah beberapa lama, Laurel mendapati bahwa dia tidak bisa menjaga pikirannya agar tetap kosong seperti di rumah sakit. Seluruh interior kamarnya mengingatkannya pada malam-malam saat rasa takutnya seperti menelannya di kegelapan, malam-malam yang berusaha diabaikannya setiap dia bangun untuk memulai hari baru.

Ada kemungkinan Papa tidak mau menerimanya lagi, asrama yang seharusnya menjadi keluarganya malah tidak menginginkannya, dan sekarang satu-satunya yang dia punya adalah Harry.

Bagaimana kalau Harry juga menolaknya, seperti semua yang ada di dunia ini?

Menggerung frustrasi mendapati dia berpikir lagi, Laurel bangun dari ranjangnya.

Laurel memakai sweter dan jubah luarnya. Setelah memastikan tubuhnya cukup hangat, Laurel bergerak ke luar, ke pekarangan depan.

Hanya perlu beberapa detik untuk Laurel menyadari bahwa itu adalah ide buruk. Anak-anak lain seumurannya semua sedang berkumpul di sana, bermain atau mengobrol. Laurel melihat teman-teman sekamarnya dan anak-anak sekelasnya yang lain, tapi tidak ada Rigel.

Laurel mengubah tujuannya, berjalan ke lapangan Quidditch. Tempat itu kosong, seperti dugaannya. Laurel memanjat tribun yang paling dekat, duduk di atasnya.

Angin berembus dingin, tapi Laurel tidak memperhatikannya. Rasanya menyegarkan, duduk di udara luar pada pagi hari musim gugur seperti ini. Kepalanya terasa lebih jernih. Tidak ada orang yang terlihat, hanya tiang-tiang gawang Quidditch di udara dan langit luas di atasnya.

Laurel duduk dan tidak berpikir tentang apa-apa, membuka matanya dan menikmati segalanya. Ketenangan tempat itu, ketenangan pikirannya.

Tidak ada suara yang terdengar, tapi mata Laurel menangkap seseorang berjalan ke tempat penyimpanan sapu. Laurel mengamati tempat itu, menunggu sosok itu keluar lagi.

Tidak lama, orang itu keluar menenteng sapu dan langsung melesat ke udara. Laurel dapat melihatnya lebih jelas sewaktu dia mulai terbang mengitari lapangan. Seorang anak kelas atas, mungkin enam belas tahun. Meski tidak memakai seragam, pemuda itu memakai syal berwarna kuning, mengindikasikan asramanya.

Pemuda itu kelihatannya tidak di sana untuk sesi terbang santai. Laurel mengamati pemuda itu melatih manuver-manuver, meliuk-liuk di udara dan menukik ke tanah sebelum melesat ke atas lagi. Latihan kelincahan, mungkin? Pemuda itu bukan seorang Beater, berarti. Dan dia tidak berusaha berlatih dengan Quaffle, jadi dia pasti seorang Seeker. Laurel belajar banyak dari Harry tentang Quidditch.

Melepaskan pikiran-pikiran soal Harry, Laurel kembali memfokuskan matanya pada si pemuda Hufflepuff yang sedang berlatih sendirian, lama sekali. Laurel tidak bergerak, tidak berbicara, matanya mengikuti gerakan-gerakan si pemuda tanpa menggerakkan bagian tubuh yang lain.

Dia tidak bermaksud menonton, pikiran bawah sadarnya hanya otomatis memperhatikan gerakan anggun si pemuda di atas sapu.

Laurel tersentak tersadar dari kondisi hampir trans-nya saat si pemuda Hufflepuff mendadak terbang ke arahnya dan berhenti di depannya.

"Hai."

"Hai," Laurel membalas otomatis.

"Kau diam saja dari tadi. Kau tidak apa-apa?" tanya si pemuda ramah.

"Kenapa kau tidak di Hogsmeade?"

Si pemuda tidak keberatan Laurel tidak menjawab pertanyaannya. "Aku ingin sendirian."

"Sendirian biasanya berarti singular." Laurel sudah belajar untuk menutup mulutnya dan tidak membalas ucapan orang yang lebih tua dengan 'sok pintar', tapi Laurel tidak pikir pemuda yang lebih tua darinya itu keberatan.

Pemuda itu nyengir. "Kau juga ke sini untuk sendirian? Kita bisa sendirian bersama-sama."

"Cara kerjanya bukan seperti itu."

"Ravenclaw kecil, kau?" tanyanya, tersenyum lebar.

Laurel mengangkat alisnya. "Slytherin."

"Oh." Si pemuda tampak tak mengharapkan balasan itu, tapi senyumnya tidak menyusut. "Kau tidak bersama teman-temanmu? Anak-anak Slytherin yang lain ada di pekarangan."

"Mereka bukan temanku. Kenapa masih berbicara denganku?"

"Aku seorang prefek," jawab si pemuda. "Cedric Diggory, dalam pelayananmu. Sudah tugasku untuk membantu anak-anak yang lebih muda."

"Aku bahkan tidak tahu siapa prefek Slytherin. Mereka tidak pernah membantuku."

"Ah." Melihat wajah Cedric, Laurel sudah tahu bahwa kini dia sudah dapat menghubungkan titik-titik yang jelas bahwa Laurel seorang kelahiran Muggle.

"Bantuan apa yang ingin kau tawarkan?"

"Sudah dapat pelajaran terbang?" tanya Cedric. Laurel mengangguk. "Terbang biasanya menaikkan semangatku. Sapu sekolah terlarang untuk digunakan kecuali dengan izin, tapi aku bisa meminjamkan sapuku."

Cedric tertawa melihat ekspresi Laurel yang langsung tertarik.

"Sapuku Komet yang baru, kalau kau sudah tahu tentang jenis-jenis sapu," kata Cedric, terlihat bahwa dia sangat membanggakan benda itu.

"Komet Dua Ratus Enam Puluh," jawab Laurel, mengingat cerocosan Harry. Senyumnya dan si pemuda Hufflepuff mengembang.

"Nah, kau tahu sapumu! Namamu siapa, sih?"

Laurel agak ragu sedikit. "Laurel Dursley."

Cedric tidak berkata apa-apa untuk sesaat, lalu tawanya meledak. "Kau sepupu Harry Potter!" Melihat wajah Laurel memucat ketika menyadari dia mengenal namanya, Cedric buru-buru berkata, "Maksudku, sapu Potter Nimbus 2000. Itu seperti dua kali lipatnya Komet manapun! Dan aku membanggakan sapuku di depanmu!"

Laurel akhirnya ikut tertawa. "Nimbus masih tidak ada apa-apanya dibandingkan Firebolt."

"Ah, ya. Sapu yang bagus sekali." Cedric mengangguk-angguk menyetujui. "Tapi kita hanya punya Komet tuaku di sini. Fancy a ride?"

Laurel tersenyum. "Komet-mu tidak tua sama sekali, ini kan keluaran baru."

Cedric ceria menunjuk sapunya. "Ayo-eh, tunggu," katanya, memotong ucapannya sendiri tiba-tiba. "Lebih baik kalau ... eh, kita mulai dari tanah."

"Oh, ya!" Laurel baru sadar dia sedang duduk di tribun tinggi. "Aku turun sekarang."

Dia bersenang-senang siang itu, mencoba sapu Cedric dan terbang beberapa meter di atas tanah karena, mau bagaimanapun, Laurel baru sebelas tahun dan ini baru kedua kalinya dia mencoba mengendarai sapu terbang.

"Terbangmu sudah sangat bagus untuk pemula, Laurel." Senyum Cedric hangat padanya. "Kau bisa jadi pemain Quidditch bagus kalau terus berlatih."

Laurel tahu Cedric melebih-lebihkan, kemampuan terbangnya luar biasa standar. Namun, Laurel tetap membalas senyum pemuda yang lebih tua lima tahun darinya itu.

Saat pikirannya terisi dengan sapu terbang dan Quidditch, tidak ada kekhawatiran tentang Harry Potter yang menyelip masuk dan menuntut perhatiannya.

30 Desember 2020 (00.35 waktu selesai ditulis. waw saya tidur kemaleman lagi.)

Another filler chapter hehe. Rasanya part ini gaya penulisannya agak mabok gitu yak '-')? maapkan Rye

Gambar di bawah ini buat kalian :)

Question of the chapter: Hybrid Hogwarts house?
(dua asrama dominan kalian kayak Neville itu Gryffinpuff, Harry itu Gyrffinrin, dan Tonks itu Huffledor)

Rye? Slytherclaw pride! Hybrid housemate, anyone?

Rye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro