01 | Istri Bayaran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Pemandangan di sepanjang jalan kota Amman begitu indah dengan bentangan gurun di sisi kanan dan kiri jalan. Anissa duduk di kursi penumpang. Sedari tadi ekor matanya tidak bosan menatap ke arah jendela kaca mengikuti laju mobil yang ia tumpangi. Tatanan kota, gedung-gedung, rumah-rumah di sana bentuk dan strukturnya terlihat hampir serupa. Semua berbentuk kotak dan terbuat dari bebatuan berwarna putih khas bangunan di Timur Tengah. Jalanan serta tanahnya pun berbukit-bukit dan padat. Terlihat juga beberapa pohon kurma yang menjadi aksesoris di sepanjang jalan kota.

Bibir Anissa merekah sempurna. Seandainya kedatangannya ke Yordania untuk berlibur atau bekerja, mungkin itu akan sangat menyenangakan baginya. Namun, ia datang ke Yordania justru untuk menikah kontrak dengan anak majikan ibunya yang telah beristri.

Anissa menoleh ke samping kanannya. Ia menelan ludah saat tatapannya terkunci dengan sepasang iris cokelat terang milik Bilal yang dingin. Dia adalah pria yang telah mencuri hatinya sejak pandangan pertama. Mereka baru saja kembali dari kantor urusan agama Yordania setelah melangsungkan pernikahan.

"Kalau saja Yasmeen tidak memohon padaku, aku tidak akan pernah sudi menikahi anak pembantu sepertimu." Bilal mendesis, lalu membuang pandangannya ke arah lain.

Anissa menghela napas hingga dadanya mengembung. Rasa sesak yang menghunjam dadanya membuat kedua matanya memanas dan berair. Semenjak kedatangannya ke kediaman Mustofa satu bulan yang lalu, perkataan Bilal memang selalu pedas padanya.

Mobil yang mereka tumpangi berhenti sempurna di bagasi kediaman Mustofa yang sangat luas. Bilal turun dari mobil, lalu membanting pintu dengan sangat kasar.

"Mau sampai kapan kau mematung di sana?" Bilal melempar tatapan sinis.

Anissa tersentak seraya meremas gaun kaftin putih yang membalut tubuhnya, lalu ia segera turun dari mobil dan membuntuti langkah panjang Bilal.

Bilal menghela napas berat seraya mengeraskan rahangnya. "Cepat masuk!" bentaknya sebelum melenggang pergi.

Kedua tungkai kaki Anissa gemetar. Ia menghapus air matanya yang berjatuhan banyak menggunakan punggung tangannya yang putih. Surat kontrak pernikahan itu telah mencekik hati Anissa. Kini kehidupannya tidak akan lagi sama. Anissa harus kuat untuk menghadapi berbagai badai ujian yang sudah jelas di pelupuk mata.

***

Degup jantung Anissa meletup-letup saat langkah lebar pria berbadan kekar itu semakin mendekatinya. Anissa mengalihkan pandangannya pada lilin-lilin kecil yang berpendar di setiap penjuru kamar. Anissa tidak sanggup membalas tatapan tajam Bilal yang sangat dingin menembus jantungnya. Anissa sudah pasrah dan hendak menurunkan sedikit gaunnya sampai sebatas bahu.

"Gaunmu tidak usah dibuka! Biarkan saja seperti itu lebih baik. Lagipula, aku tidak tertarik untuk melihat tubuhmu!" tegas Bilal mematahkan hati Anissa.

Anissa menelan ludah perih. Dia merasa seperti seorang perempuan penghibur yang sama sekali tidak menarik di mata suaminya.

"Jangan berharap lebih dengan pernikahan ini, aku hanya ingin menghamilimu dan setelah kau melahirakan, aku secepatnya akan menceraikanmu!"

Anissa mendongak untuk mengunci tatapan mereka. Rasanya Anissa ingin sekali melayangkan sebuah tamparan pedas pada pria berlidah pedang itu. Tapi kenapa Anissa harus sakit hati? Bukankah perjanjian ini memang sudah disepakati dari jauh-jauh hari sebelum mereka menikah? Karena setelah Anissa melahirkan anaknya, hak asuh anak akan diambil alih oleh pihak Bilal sepenuhnya.

"Kau hanya istri bayaranku. Jadi, kuharap kau bisa bersikap bagaimana semestinya!" tegas Bilal mutlak.

Anissa menggigit bibir bawahnya. "Ya, aku tahu. Tapi bisakah kau bersikap sedikit lembut padaku? Bisakah kau menghargai perasaanku sedikit saja, Tuan Bilal Mustofa Abu Naba?" tanya Anissa dengan isak yang tertahan. Air matanya luruh begitu saja dengan sangat deras.

Bilal mengusap wajahnya kasar. "Berhentilah menangis! Aku benci melihat seorang perempuan menangis. Kau sangat cengeng."

"Kau yang membuatku menangis, Tuan!" Bibir ranum Anissa bergetar. Dadanya naik turun menahan sesak.

Rahang Bilal yang ditumhuhi rambut halus semakin mengeras. "Ah sudahlah! Aku paling tidak suka bertele-tele. Kita langsung saja memulainya. Lebih cepat lebih baik!" pekiknya tidak sabaran.

Mata bundar Anissa melebar saat tangan besar Bilal mencengkeram bahunya sangat kasar. Dalam satu kali dorongan, tubuh mungil Anissa sudah terlentang di atas ranjang yang telah ditaburi ribuan kelopak bunga mawar merah yang semerbak.

Bilal langsung menindihinya dengan sangat rakus. Bahkan Bilal tidak peduli dengan rintihan dan bening yang terus mengalir dari kedua sudut mata Anissa.

Anissa mengeratkan remasan tangannya pada seprei sutra putih yang ditidurinya. Kedua matanya terpejam sempurna menahan sakit yang tiada terkira.

Tubuh mungil Anissa meringkuk di atas ranjang. Bahunya bergetar sambil terisak. Anissa memeluk tubuhnya sendiri. Perempuan itu merintih merasakan linu dan perih di bagian intimnya.

Malam pertama yang seharusnya menjadi momen indah bagi sepasang pengantin baru tidak Anissa rasakan. Tidak ada untaian kata cinta yang Bilal ucapkan. Tidak ada belaian sayang. Pria itu sangat kasar melakukannya. Bilal seperti anjing gila yang mengobrak-abrik keperawanannya dengan sangat rakus.

Bilal tidak memberikan sebuah kecupan sayang, atau sentuhan lembut untuk menenangkan dan pereda rasa nyeri untuk Anissa. Bahkan, setelah melakukannya pun Bilal langsung melenggang pergi begitu saja tanpa pamit.

"Ibu ...." Tangisan Anissa sangat memilukan.

Apa bedanya Anissa dengan seorang pelacur? Mungkin bedanya Anissa hanya mendapat embel-embel status istri saja. Ya, istri! Istri bayaran yang akan segera dicampakkan.

Anissa tersenyum getir. Pikirannya menerawang jauh, mengingat acara pernikahannya yang telah berlangsung tadi pagi. Tidak banyak orang yang hadir, hanya beberapa sanak saudara dari keluarga Mustofa saja yang diundang. Pernikahan ini memang sengaja sangat dirahasiakan.

Ironis, Bilal bahkan tidak mengizinkan Anissa untuk mengecup punggung tangannya setelah ijab kabul. Bilal tidak mengecup keningnya seperti pria lain pada wanita yang baru dinikahinya. Tidak sama sekali.

****

Umpatan demi umpatan kasar terlontar dari bibir Bilal. Bercinta dengan seorang anak pembantu baginya sangatlah menjijikan.

Bilal Mustofa Abu Naba. Pria yang terlahir dari keluarga terpandang di negaranya. Satu-satunya pewaris aset perusahan dan kekayaan Mustofa yang melimpah ruah dan tak terhitung jumlahnya. Bahkan saat ini, namanya termasuk dalam peringkat pertama dari deretan nama-nama pengusaha muda terkaya di Yordania. Di usianya yang baru menginjak dua puluh tujuh tahun, dia sudah banyak mendirikan beberapa resort dan restoran berbintang di Eropa dan di Yordania. Tentunya sudah sangat banyak pundi-pundi uang yang sudah ia hasilkan dari bisnisnya tersebut.

Amarah yang membludak di dadanya sirna sesampainya ia di kamar tempat peraduannya dengan Yasmeen. Bilal mendaratkan bokongnya di tepi ranjang, lalu tersenyum tulus pada istri yang sangat dicintainya.

Yasmeen terlelap begitu damai. Wajah putih pucat dan bibir biru istrinya sangat menohok hati Bilal. Dia tidak ingin kehilangan semesta terindahnya, pusat kehidupannya. Tangannya terulur menyibak anak rambut yang menutupi sebagian wajah Yasmeen dengan penuh kelembutan.

"Eh, Bilal! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Yasmeen dengan kerutan di dahi.

Bilal tidak menjawab, ia justru mencuri sebuah kecupan singkat di bibir Yasmeen dengan gemas. Sehingga perempuan berdarah Arab-Eropa itu pun memekik kaget dan menatapnya berang.

"Kau sangat tidak punya perasaan, Bilal. Seharusnya kau tidur bersama Anissa. Ini malam pertama kalian."

Bilal mendesis, lalu membaringkan badannya di sebelah Yasmeen. Tangan besarnya menangkup wajah Yasmeen seraya menatapnya lekat.

"Jangan memaksaku, Yasmeen. Percuma, aku tidak akan sudi tidur dengan anak pembantu itu."

"Anissa istrimu. Kumohon bersikap lembutlah padanya," pinta Yasmeen setulus hati. Yasmeen mengerti perasaan Anissa. Pasti saat ini Anissa sangat terpukul oleh perlakukan Bilal.

Rasa cemburu itu memang ada, terlihat dari garis hitam di bawah matanya yang begitu kentara. Semenjak kedatangan Anissa ke rumah ini, Yasmeen selalu menangis dalam diam.

perempuan mana yang rela menyuruh suaminya untuk berpoligami? Namun, Yasmeen tidak ingin egois. Kematian sudah di depan mata. Dia ingin lelakinya hidup bahagia dan mempunyai keturunan, meskipun bukan dengannya.

"Urusanku sudah selesai dengannya," ujar Bilal sangat enteng.

"Bilal ...."

"Aku tidak akan menghabiskan malam-malamku dengan wanita lain, kecuali denganmu. Hanya kamu, Yasmeen. Aku sangat mencintaimu, hanya kamu."

Yasmeen membeku saat Bilal menarik pinggulnya untuk menempelkan tubuh mereka.

"Aku sanga mencintaimu. Tidurlah dan jangan memikirkan Anissa."

****

Halimah memasukkan baju-bajunya ke dalam koper hitam. Pagi ini dia akan pulang ke Indonesia dan meninggalkan Anissa sendirian di Yordania. Wanita paruh baya itu sangat menenyesal telah menyetujui kesepakatan nikah kontrak ini. Ibu mana yang rela anak gadisnya dipoligami? Namun, untuk menolak pun Halimah sangat tidak berdaya.

Utang yang menggunung akibat ulah mantan suaminya membuat Halimah tidak pernah pulang ke Indonesia, menuntutnya harus terus membanting tulang dan memeras keringat. Selama ini, Anissa dan ketiga adiknya yang masih kecil tinggal bersama bibinya di kampung. Rumah peninggalan ibunya pun sudah dijual oleh mantan suaminya yang melarikan diri dengan wanita lain. Selama Halimah kerja di Yordania menjadi TKI, Anissa yang merawat dan mengasuh adik-adiknya sambil sekolah. Sekarang Anissa baru saja lulus SMA dan harus menikah dengan pria yang terpaut usia sepuluh tahun lebih tua darinya.

Halimah menghela napas panjang. Air matanya perlahan luruh menuruni kedua pipinya yang sudah tampak sedikit keriput.

"Ibu, sudahlah jangan menangis."

Anissa yang baru saja keluar dari kamar mandi segera duduk di samping ibunya. Ibu jarinya mengusap air mata di pipi Halimah dengan lembut.

"Maafkan ibu yang sudah mengorbankan kebahagiaan dan masa depanmu, Nak. Ibu sungguh tidak bisa menolak tawaran Tuan Mustofa dan Madam Yasmeen yang memintamu untuk menikah dengan Tuan Bilal. Hutang Ibu sudah terlalu banyak pada Tuan Mustofa. Maafkan Ibumu yang kejam ini, kamu boleh membenci Ibu setelah ini."

"Kumohon jangan bicara seperti itu, Bu. Anissa sudah ikhlas menerimanya. Mungkin ini memang sudah takdir yang harus aku jalani. Anissa sangat menyayangi Ibu. Anissa tidak akan pernah membenci Ibu ...," ujar Anissa setulus hati.

"Terima kasih, Sayang. Ibu sangat mencintaimu. Hanya saja Ibu sungguh tidak rela, Nak."

Halimah merengkuh tubuh Anissa dalam pelukannya. Bahu Halimah sedikit berguncang menahan sesak di dada. Dia mengusap lembut punggung putrinya, menciumi kedua pipi Anissa dan puncak kepala Anissa yang dilapisi hijab merah jambu.

"Maafkan Ibu sekali lagi," pinta Halimah diiringi isak yang sangat memilukan.

"Sudah, Bu. Jangan nangis lagi. Anissa sayang benget sama, Ibu."

Anissa menghambur memeluk Halimah. Hatinya perih melihat ibunya sampai seperti itu. Anissa tahu, selama ini Halimah sudah sangat lelah memikul beban keluarganya seorang diri.

****

Ibu ....

Jika pernikahan kontrak ini bisa meringankan beban Ibu, Anissa ikhlas menjalaninya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro