02 | Menari Dabke

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mustofa mengundang keluarga terdekatnya untuk makan malam. Di sebuah aula yang bisa menampung sekitar seratus orang, Mustofa sudah menyiapkan berbagai aneka masakan lezat khas Yordania. Semuanya tersaji rapi di atas meja panjang rasmanan. Aroma rempah yang menguar dari nampam berisi mansaf---nasi tanak berempah campur potongan daging di atasnya terlihat sangat menggiurkan. Biasanya mereka akan memakannya secara berkelompok menggunakan tangan dalam satu nampan bundar yang besar.

Sepulangnya Halimah, Anissa semakin merasa canggung harus membaur dengan keluarga besar Mustofa. Terlebih lagi sikap Bilal padanya semakin dingin dan kasar. Anissa diperlakukan seperti pembantunya. Ia kerap disuruh membersihkan ini dan itu. Walaupun demikian, anehnya bunga-bunga dalam hatinya justru bermekaran. Anissa tidak bisa menghalau rasanya yang sudah terlanjur ia tambatkan pada Bilal.

"Anissa, kau harus ikut menari. Ini pesta untukmu," ujar Yasmeen.

"Tidak, Kak. Aku malu."

"Ayolah, Bilal akan menari bersamamu. Dia akan mengajarimu menari dabke."

"Hah?" Anissa menggeleng.

Yasmeen menarik tangan Anissa menuju panggung di depan aula. Di sana sudah ada Bilal dan Omar yang tampak sedang menari bersama para penari dabke yang berpakaian khas. Bilal dan Omar pun memakai terusan putih dan mengenakan sorban kotak-kotak merah, lalu igal hitam yang melingkar sempurna di atasnya. Mereka menari dengan sangat lincah diiringi musik dabke dan lagu Arab. Para pemain musik di pojok panggung, mereka menabuh tabla atau gendang dan alat musik lainnya dengan sangat bersemangat.

"Bilal, ajak Anissa menari bersamamu!" titah Yasmeen.

Bilal mengeraskan rahang, lalu melempar tatapan sinis pada Anissa. "Maaf, Sayang. Kali ini aku tidak ingin menuruti keinginanmu. Dia akan sangat merepotkan," tegasnya pada Yasmeen.

"Ayolah, Bilal .... Ini pesta pernikahan kalian. Kau harus menari bersamanya!" tukas Yasmeen dengan isak yang tertahan.

Bilal tidak mampu menolak lagi saat melihat sepasang iris hijau milik Yasmeen berair.

"Baiklah," putus Bilal.

"Terima kasih, Sayang." Yasmeen mengecup singkat pipi Bilal.

Omar dan Anissa tersenyum hangat. Mereka tidak habis pikir dengan sikap Yasmeen yang terlalu baik pada Anissa. Senyuman yang mengembang di bibir pucatnya pun selalu terlihat tulus untuk Anissa.

"Kami makan dulu," ujar Omar sembari merengkuh pundak Yasmeen dan mengajaknya berlalu.

"Anissa, jika Bilal kasar padamu, kau bilang saja padaku. Aku akan menghajarnya dan menendang bokongnya ke Mesir!"

Omar terbahak. Namun sedetik kemudian dia merintih saat Bilal menendang tulang keringnya dengan sangat keras.

"Sial!"

Bilal mendesis. "Rasakan itu!"

Anissa terkekeh melihatnya. Omar dan Yasmeen memang selalu berusaha untuk menghiburnya. Anissa membekap mulut saat Bilal berdeham dan melempar tatapan tajam padanya. Ia menelan ludah, tidak tahan melihat wajah Bilal yang tampak memerah. Anissa sedikit meringis saat Bilal mencengkeram pergelangan tangannya dengan sangat kencang.

"Puas kau?" tanya Bilal.

"Maaf, Tuan. Aku tidak bermasud untuk---"

Anissa kehilangan kata-kata ketika Bilal menarik pinggulnya hingga menempel dengan tubuhnya yang kekar. Tatapan tajam pria itu membuat Anissa membeku dan meleleh dalam waktu yang sama. Bilal memang selalu terlihat memesona meski dalam keadaan marah sekalipun.

Bilal memutar-mutar tubuh mungil Anissa dengan sangat kencang, seirama dengan alunan musik dabke beritme tinggi. Ia sama sekali tidak peduli dengan orang-orang yang kini mulai menatap ke arah panggung. Ia ingin meluapkan emosinya. Kehadiran Anissa dalam hidupnya nyaris membuatnya gila. Bilal sangat membencinya.

Brukk!

Musik dabke mendadak terhenti. Anissa tersungkur di atas panggung. Kini semua pasang mata tertuju ke arahnya.

"Bilal! Apa yang kau lakukan?" tegur Mustofa dengan dada naik turun.

"Anissa ..., apa kau baik-baik saja?" Yasmeen berusaha membantu Anissa berdiri.

Anissa susah payah melebarkan mata. Ia tidak ingin air matanya jatuh saat itu juga. Padahal kedua matanya sudah sangat perih dan hatinya sangat pedih.

"Aku baik-baik saja, Kak," ujarnya serak.

Bilal bersidekap, kemudian memiringkan senyumnya. "Aku tidak melakukan apa-apa. Dia sendiri yang jatuh!"

Mustofa, Yasmeen dan Omar menggeleng melihat sikap Bilal yang selalu seperti itu. Mustofa tidak ingin berdebat dengan Bilal di depan keluarganya. Lelaki berambut putih itu menyuruh Yasmeen dan Omar untuk segera membawa Anissa ke kamar. Kaki Anissa terkilir, sehingga Omar harus menggendongnya.

Yasmeen menarik tangan Bilal untuk menjauh dari keramaian. Saat ini mereka sudah berada di tangga bawah tanah. Aula tersebut memang sengaja dibangun di bawah tanah yang kedap suara.

"Kau sangat keterlaluan, Bilal!" sinis Yasmeen.

Bilal mengusap wajahnya. "Ayolah, Sayang. Jangan selalu memojokkanku seperti ini. Kau tidak bisa terus memaksaku untuk berdekatan dengan anak pembantu itu! Aku jijik padanya."

"Anissa istrimu! Ka---"

"Istri kontrak!" potong Bilal.

Yasmeen menelan ludah. Ia nyaris putus asa untuk meluluhkan hati Bilal agar bersikap manis pada Anissa.

"Malam ini kau jangan tidur di kamarku!" tegas Yasmeen sebelum berlalu. Wanita itu memebekap mulut dan terisak.

Mata Bilal melebar. Ia berusaha untuk meraih tangan Yasmeen. Namun perempuan sakit itu menepisnya dengan sangat kasar. Bilal menendang tembok dengan segenap tenaga, lalu ia merintih kesakitan dan memegangi kakinya.

"Sial! Awas kau, Anissa! Aku akan membuat perhitungan denganmu. Anak pembantu sialan!"

****


“Anissa ... kau sangat cantik. Masyaa Allah.” 

Yasmeen memegang bahu Anissa. Iris hijau terangnya berkilat senang. Dia baru saja selesai mendandani madunya agar terlihat menarik di mata Bilal.

“Terima kasih, Kak. Kau sangat baik padaku. Tapi ... aku merasa  sangat canggung berpakaian seperti ini.”

Anissa menatap pantulan dirinya dalam cermin meja rias. Saat ini ia mengenakan gaun putih sebatas lutut yang mengembang di bagian bawahnya. Rambut hitam panjang bergelombangnya dibiarkan tergerai. Wajah mungilnya pun kian berseri dengan polesan makeup tipis yang natural.

“Tidak apa-apa berdandan       seperti ini. Lagipula semua ini      untuk dilihat suamimu.”

“Tapi, nanti Tuan Bilal akan marah padaku.”

“Bilal akan menyukainya.        Cepat pergilah, Bilal sedang menunggumu di balkon atas.”      Yasmeen mengedipkan                satu matanya lalu memberikan handuk putih pada Anissa.

Anissa tertegun atas perlakuan Yasmeen padanya. Masya Allah hatimu, Kak. Aku tidak yakin bisa seikhlas dirimu jika aku berada di posisimu.

Balkon kediaman Mustofa di lantai tiga sangat luas dan dilapisi kaca tembus pandang. Di sana terdapat sebuah kolam bundar yang luamayan besar. Sementara pelafonnya bercat biru cerah dan bermotif awan putih. Sehingga terkesan sangat megah seperti langit sungguhan.

Anissa memebeku saat langkahnya sudah berhenti di belakang tubuh polos Bilal yang basah. Punggung tegap pria itu basah, berotot dan seksi. Rambut cokelat Bilal terlihat basah, dia menyisirnya menggunakan jari-jari tangannya. Memang sudah menjadi kebiasaan Bilal di akhir pekan yang selalu berendam air hangat di musim dingin seperti ini. Sebenarnya selama ini, Anissa selalu mengintai Bilal dari kejauhan. Namun, sekarang Anissa bisa melihat keindahan tubuh Bilal dari jarak sedekat ini.
          
“Sayang, mana handukku?” tanya Bilal saat menyadari            langkah seseorang berhenti tepat di belakangnya.

Anissa tidak menyahut pertanyaan Bilal. Ia segera memberikan handuk putih itu dengan tangan gemetar.

Bilal menaruh handuk tersebut di bibir kolam. Ujung bibirnya tertarik ke samping saat sebuah ide jahil tiba-tiba tercetus di benaknya.

Anissa tersentak saat tangannya  ditarik oleh Bilal. Hingga kini tubuh mungilnya jatuh di atas pangkuan Bilal, membuat air kolam beriak di sekitar tubuh mereka berdua.

“Sudah lama sekali kita tidak berendam bersama, Sayang,"   ujar Bilal dengan mata yang   terpejam.

Bilal mengira jika perempuan       yang kini tengah berendam         bersamanya adalah Yasmeen.        Bilal menarik tangan halus Anissa menyentuh dadanya yang bidang. Lalu ia menuntun tangan Anissa untuk memainkan rambut halus yang menghiasi sekitar dadanya.

Anissa susah payah menelan  ludah. Bola matanya membulat sempurna. Jantung Anissa kian meletup-letup saat Bilal membawa kedua tangannya untuk menangkup kedua pipinya. Rambut hitam yang menghiasi sekitar rahang dan dagu Bilal membuat aliran darahnya berdesir cepat saat memainkannya.

“Sayang, sejak kapan tanganmu  mungil seperti ini?” Bilal membuka matanya. “Kau! Apa    yang kau lakukan di sini?”        tanya Bilal garang. Ia mendorong tubuh Anisaa hingga terhuyung ke belakang.   

Anissa tersentak ketika Bilal membuang tangannya dengan sangat kasar.

“Ka---kak Yasmeen yang menyuruhku untuk memberikan handuk ini untukmu. Maaf.”

“Kau ingin mencoba menggodaku?” 

"Tidak, Tuan. Bukan seperti itu."      
Bilal menyipitkan matanya. Dia menatap intens perempuan di depannya, merasa aneh dengan    dandanan Anissa saat ini.

“Lalu untuk apa kau berdandan  seperti itu? Untuk mencuri           perhatianku?” Bilal tersenyum miring. “Percuma saja, karena aku tidak akan pernah tertarik padamu. Cepat pergi!”

Anissa tersedak. Dia segera berdiri dan berusaha untuk keluar dari kolam dengan meraih pegangan besi pada tangga    kecil di depannya. Namun,    tangannya yang licin membuatnya berkali-kali harus kembali terjatuh ke dalam kolam.

Bilal mengeram dan terus mengumpati Anissa dengan kata-kata kasar. Secepat kilat tangan besarnya mengangkat tubuh Anissa keluar dari dalam kolam. Kemudian ia menjatuhkan tubuh Anissa dengan sangat kasar ke dasar lantai.

Anissa meringis. Ia melempar tatapan sendu pada Bilal.

“Kau sangat merepotkan. Lain kali jangan berpakaian seperti itu lagi!” Bilal menatap Anissa rendah. “Gaun itu sangat tidak layak untuk perempuan miskin sepertimu! Kau justru terlihat seperti wanita murahan!” Bilal meludah. Rahangnya semakin mengeras.

Anissa meremas ujung gaunnya yang basah. Lalu menyeka air matanya menggunakan punggung tangan. "Ya Allah ...! Kuatkanlah hati Anissa!" 

Bilal menyambar handuk yang tergeletak di bibir kolam     untuk menutupi bagian bawahnya yang hanya memakai celana pendek. Kemudian dia melenggang pergi begitu saja. Ia merasa sangat bodoh karena tidak menyadari bahwa tadi adalah Anisaa, bukan Yasmeen.

"Sial!" Bilal mendesis.

Subhi yang baru saja datang hendak membersihkan kolam berlari tergopoh-gopoh menghampiri Anissa.

"Nona, apa kau baik-baik saja?"

"Aku tidak apa-apa."

Anissa berdiri dibantu Subhi. Kemudian ia segera berlari untuk menata hatinya yang telah patah karena sikap Bilal. Anissa memegang bagian dadanya yang berdenyut nyeri dan sesak.

 ***

      
Ibu, Anissa mau pulang. Ibu, Anissa tidak betah tinggal di sini. Anissa tidak kuat dengan sikap Tuan Bilal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro