03 | Luka Yang Sempurna

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langkah gontai membawanya keluar dari restoran mewah milik Bilal yang terletak di Rainbow street---Amman. Anissa membekap mulut agar tidak ada satu isak pun yang lolos dari bibirnya. Bilal dan Yasmeen tadi mengajaknya untuk makan siang bersama di sana. Namun, Anissa harus menelan rasa panas dari api cemburu yang membakar hatinya. Perlakuan Bilal sangat tidak adil, selalu saja Yasmeen, Yasmeen dan Yasmeen yang ia perhatikan.

Di depan mata Anissa, Bilal menyuapi Yasmeen dengan begitu lembut. Tatapan hangat penuh cinta pun tidak pernah luput dari wajah cantik Yasmeen. Bahkan, berkali-kali pria itu sengaja mengecup pipi Yasmeen dan menjawil hidung lancipnya dengan gemas. Sedangkan Bilal belum pernah bersikap semanis itu pada Anissa. Tidak pernah sama sekali.

"Tuan, aku juga ingin kau menyuapiku."

"Memangnya kau tidak punya tangan ha? Makan saja sendiri! Jangan manja!"

Kata-kata itu bagaikan kaset rusak yang terus berputar-putar di otaknya. "Bahkan kalian tidak mengejarku! Kalian tidak peduli dengan perasaanku ...." Pandangan Anissa memburam. Entah sudah beberapa kali kakinya tersandung batu dan terjatuh, namun dia bangkit lagi dan kembali berlari.

Bilal sangat mencintai Yasmeen. Sedangkan Anissa, dia hanyalah segelintir debu yang tidak berharga sama sekali di matanya. Ya, dia hanyalah gadis miskin yang hina, yang dinikahinya hanya untuk melunasi hutang-hutang ibunya saja. Dia hanya menginginkan anak dari rahimnya. Orang kaya itu hanya memanfaatkan kelemahannya.

"Dia tidak mencintaiku." Selama satu bulan menikah, Bilal hanya baru dua kali memberikan nafkah batin padanya. Anissa sangsi bahwa saat melakukannya pun Bilal seraya membayangkan Yasmeen, karena berulang kali pria itu mendesah menyebut nama Yasmeen, bukan Anissa.

"Astagfirullah! Dosakah bila aku cemburu? Aku ini juga istrinya yang sah secara agama ...." Anissa memukuli bagian dadanya dengan sekuat tenaga.

****

Anissa terus berlari membelah kerumunan orang-orang di tengah keramaian pasar tradisional Amman yang tampak ramai di hari minggu. Riuh rendah suara pedagang dan pembeli meredam isak tangisnya yang terdengar sangat menyatat hati.

Anissa belum pernah datang ke tempat ini sebelumnya. Dia berharap akan tersesat dan menghilang ditelan bumi, atau bila ada orang yang ingin menculiknya pun Anissa sungguh rela. Anissa hanya ingin bernapas lega. Dia tidak ingin semakin terpuruk dalam kubangan luka karena cinta yang tidak akan mungkin terbalaskan.

Tatapan puluhan pasang mata itu benar-benar membuatnya risih. Entah asumsi apa yang mereka layangkan pada penampilannya saat ini? Anissa terlihat sangat mengenaskan dengan kedua mata yang bengkak dan merah. Air matanya pun terus mengalir tanpa jeda. Hijab biru tosca yang menutupi mahkotanya pun kini sudah sangat lusuh.

Brukk!

Anissa kembali tersungkur ke tanah saat tersandung batu kerikil di tengah jalan.

"Astagfirullah! Apa kau baik-baik saja, Nona?" Pria itu membantunya untuk berdiri.

Anissa menautkan kedua alisnya. Wajah pria di hadapannya itu seperti orang Indonesia, rambut hitam pekat dengan warna kulit yang cokelat terang. "Kamu orang Indonesia?" tanya Anissa parau.

Iris hitam pekat pria itu malah menatapnya tanpa berkedip sedikit pun. Akbar Caisar Nurdafa---pria itu speechles melihat aura kecantikan Anissa. Mata bundar yang dihiasi bulu lentik dan bibir ranumnya pun terlihat merah alami tanpa lipstik.

Akbar tergagap saat Anissa mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Astagfirullah! Ma--maaf, iya aku orang Indonesia." Akbar tersenyum canggung. "Kamu orang Indonesia juga kan?"

"Iya."

"Akbar." Pria itu menangkupkan tangannya di depan dada.

"Anissa." Kedua sudut bibir Anissa melengkung ke atas dengan sempurna.

"Apa ... kamu kuliah di sini?"

"Aku kerja, Kak," jawab Anissa berdusta. Sejujurnya dia bingung harus menjawab apa.

"Oh, aku kuliah di sini. Kamu sendirian saja?"

Anissa belum sempat menjawab, namun seorang pria datang dan menepuk punggung Akbar dengan sangat keras.

"Wooy, Kudanil. Ane muter-muter sudah seperti gangsing ternyata kamu di sini!" pekik pria itu dengan napas tersenggal. Dia memegangi lututnya, lalu tatapannya beralih pada Anissa.

"Eh! Beautiful harim?" Kilat mata pria itu berbinar-binar. Rambut gondrong dan tompel hitam di pipi kanannya membuat Anissa ingin terkekeh. Dia Arshad Maulana---sahabat Akbar yang juga kuliah di Yordania.

"Arshad." Pria itu mengulurkan tangan. Dia meringis saat Akbar menepis tangannya dengan kasar.

"Bukan mukhrim!"

Anissa tersenyum geli melihatnya. "Namaku, Anissa."

"Cantik. Sama kaya orangnya cantik." Arshad menatap Anissa dengan mata yang menyipit. "Sudah punya pacar belum nih?"

Anissa terkekeh melihat Akbar melayangkan sebuah jitakan di kening Arshad.

"Tidak sopan. Baru kenal sudah nanya kaya gitu," tegur Akbar pada Arshad. "Maaf ya, Anissa." Akbar tersenyum samar seraya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

"Iya. Enggak apa-apa kok, Kak. Nyantai aja." Anissa tersenyum manis.

"Tuh, yang digodainnya juga biasa aja, ente yang sensi. Efek jomblo gitu tuh. Makanya usaha ... biar enggak jomblo permanen!" cibir Arshad yang dihadiahi injakkan kaki dari Akbar.

Anissa menggeleng seraya tersenyum. Melihat tingkah polah Arshad dan Akbar membuat hatinya yang mendung sedikit menghangat.

"ANISSA."

Suara berat itu membuat ketiga orang yang tengah asyik bersuah menoleh ke arah yang sama.

Iris cokelat terang Bilal terlihat berang dengan rahang yang mengeras. Bilal tidak habis pikir dengan Anissa yang selalu saja menyulut emosinya. Bilal merapatkan bibirnya. Hatinya tercubit-cubit melihat Anissa tertawa begitu lepas dengan dua pria yang jelas kadar ketampanannya sangat jauh di bawah Bilal.

Anissa menelan ludah kepayahan seraya menunduk.

"Siapa, Nis?" tanya Akbar dengan kerutan di dahi.

"Dia, umm ...." Anissa melirik Bilal melalui ekor matanya.

"Dia pembantuku!" sahut Bilal.

Anissa memekik kesakitan saat Bilal menariknya secara paksa. Anissa sempat menoleh ke belakang dengan sorot mata yang sangat memelas.

Akbar dan Arshad saling menatap heran. Akbar hanya mampu menatap iba punggung Anissa yang mulai menghilang dari pandangannya.

****

"Tuan, sakit ...." Anissa merintih namun sama sekali tidak dihiraukan oleh Bilal.

Mulut pria itu terkunci rapat. Jiwa psikopat meronta-ronta dalam dadanya. Anissa sudah berani bermain-main dengannya. Maka perempuan itu harus siap-siap mendapat hukuman.

Anissa meringis linu saat tubuh mungilnya terbentur pintu mobil dengan sangat keras. Bilal membantingnya dengan sangat kejam.

"Cepat masuk!" bentak Bilal.

Pria tinggi itu memastikan Anissa duduk di kursi depan dan memakai seatbeltnya, lalu Bilal membanting pintu mobil dengan sangat kencang dan segera duduk di kursi kemudi. Secepat kilat dia langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata.

"Jangan melakukan hal bodoh seperti ini lagi, Anissa!" gertak Bilal murka dengan tatapan lurus ke depan.

Anissa kehilangan kata-kata. Dia menumpahkan kepedihan hatinya melalui air mata.

"Nangis, nangis, nangis! Apa hanya itu yang bisa kau lakukan ha? Aku bosan mendengarnya!" bentak Bilal.

"Marah, marah, marah! Apa hanya itu yang bisa, Tuan lakukan padaku?" tanya Anissa seraya trisak.

Bilal mendesis mendengarnya. ''Berani sekali kau melawanku, Anissa! Kau tahu, gara-gara kebodohanmu itu, Yasmeen harus pulang naik taksi dan aku harus bersusah payah untuk mencarimu! Namun apa yang kulihat, kau malah asyik bergurau dengan pria asing. Dasar wanita murahan!" Bilal memukul stir mobil sebelum melanjutkan ucapannya, "Kau sangat menyusahkan! Apa perlu aku merantai kakimu, ha?"

"Kenapa, Tuan mencariku?" 

"Kau---" Bilal memelankan laju mobilnya. Dia menoleh dengan kedua alis yang menaut menatap Anissa.

"Kenapa tidak membiarkan aku pergi saja?" Anissa melempar tatapan sendu pada iris cokelat Bilal. "Bukankah kehadiranku ini sangat membebanimu, Tuan? Lalu untuk apa kau mencariku?" Punggung tangan Anissa menyeka air matanya yang terus berjatuhan.

Bilal kehilangan kata-kata. Dia hanya mengedipkan matanya seraya terus mendengarkan Anissa yang tengah meracau.

"Jawab, Tuan!" Intonasi suara Anissa sedikit meninggi. Anissa mendesis karena tidak mendapat jawaban dari Bilal. Anissa memalingkan wajah ke arah jendela melihat hamparan salju di sepanjang jalan.

"Tuan, aku ingin bercerai denganmu!" pekik Anissa diiringi isak yang sangat memilukan.

Ckkiiitttttt!

Kening Anissa terbentur kaca saat mobil yang ia tumpangi terbanting ke tepi jalan. Kedua mata bundar Anissa terpejam sempurna saat Bilal menarik ujung hijabnya dengan sangat kasar.

"Sudah kubilang jangan pernah memancing emosiku saat aku sedang menyetir, Anissa!" Pria bersorban putih itu meluapkan amarahnya dalam satu tarikan napas. "Ulangi perkataanmu barusan!" sambungnya seraya melepaskan cengkeramannya pada hijab Anissa.

"Ceraikan aku ...." Anissa meluruhkan air mata kepedihan. Bahunya berguncang menahan sesak yang menghunjam dada.

"Cerai katamu?" Bilal mendesis. "Aku tidak akan pernah menceraikanmu sebelum kau memeberiku anak, Anissa!" tegasnya mutlak.

"Tapi---"

"Dengar. Ibumu punya banyak hutang padaku, Anissa. Sudah bagus aku menawarkan kesepakatan ini padamu. Bukan hanya hutang ibumu saja yang kulunasi. Bahkan aku memberimu fasilitas mewah, makanan lezat dan pakaian bagus. Di setiap bulan pun aku mengirimi uang untuk keluargamu yang miskin itu. Seharusnya kau berterima kasih padaku! Aku tidak meminta apa pun darimu, kecuali anak, itu saja. Jadi pastikan saja kau jangan membangkangku!" interupsi Bilal dengan dada yang naik turun menahan emosi.

Selama delapan tahun menikah, tentunya Yasmeen dan Bilal sudah sangat merindukan kehadiran seorang anak. Namun, Yasmeen tidak bisa memberinya anak karena penyakit yang dideritanya. Sehingga Yasmeen, dengan keteguhan hatinya dia menyuruh Bilal untuk memiliki anak dengan Anissa.

Lidah Anissa membelit, hanya sesenggukan saja yang lolos dari bibirnya. Sepertinya Anissa memang harus menyerah untuk memenangkan hati Bilal.

****

"Maafkan aku, Sayang. Gara-gara anak pembantu itu, aku jadi tidak bisa mengantarmu pulang," ujar Bilal sesampainya di rumah. Pria berbadan kekar itu segera merengkuh Yasmeen yang tengah duduk di sofa ruang tamu ke dalam dekapan.

"Kau sangat berlebihan, Bilal. Aku sama sekali tidak apa-apa." Tatapan Yasmeen beralih pada Anissa yang masih mematung di ambang pintu. "Anissa, apa kau baik-baik saja. Aku sangat mengkhawatirkanmu."

"Aku tidak apa-apa, Kak." Anissa tersenyum samar sebelum melanjutkan ucapannya, "Maaf, aku sangat menyusahkan kalian."

"Baguslah jika kau tahu diri!" timpal Bilal. "Sekali lagi kau mengulangi hal yang sama, aku tidak akan segan-segan memberimu hukuman!" ancamnya sadis.

"Bilal ...!" tegur Yasmeen dengan tatapan sinis. Perempuan berusia duapuluh enam tahun itu hendak berdiri menghampiri Anissa. Namun, tubuhnya harus terhuyung karena Bilal menarik tangannya tanpa permisi.

"Berhentilah memanjakan anak pembantu itu." Kedua tangan kokoh Bilal melingkar sempurna di perut Yasmeen yang ramping. Detik berikutnya bibir Bilal mengecup pipi Yasmeen tanpa memedulikan Anissa.

Hati Anissa tersayat-sayat melihatnya. Dia tetap bergeming di tempatnya berpijak dengan perasaan hampa. Air matanya tidak lagi jatuh menuruni pipinya, namun jatuh membasahi sudut kalbunya yang meradang.

Bilal ...

Hari ini kau telah menancapkan sejuta duri dalam palung hatiku.

Aku sama sekali tidak menyesali jalan takdirku. Aku pun tidak pernah memebenci bidadari tak bersayap seperti kak, Yasmeen. Aku hanya membenci rasa yang terlanjur tersemai di dasar hatiku.

Terima kasih, Bilal.
Luka yang sempurna darimu ini telah menyadarkanku yang sangat lancang mencintaimu.







****

Siapa yang benci sama Bilal?😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro