06 | Musafir Cinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pintu etalase itu terbuka secara otomatis. Pria berpakaian formal melangkah lebar memasuki lobi sebuah Resort ternama di Irbid. Abu Nabaa Resort adalah resort pertama yang Mustofa dirikan. Dari tahun ke tahun prestasi resort itu semakin meningkat semenjak dikelola oleh Bilal---putra tunggalnya. Bahkan resort ini pun selalu mendapat ranking dunia. Kenyamanan para tamu, kebersihan, kerapian dan pelayanan sempurna adalah hal utama yang Bilal tegaskan pada pegawainya.

Bukan hanya menyuguhkan pemandangan pantai yang indah di sekeliling resort, kolam renang outdoor yang megah juga menjadi icon di resort ini. Kurang lebih 500 kamar yang didesain elegan dengan sentuhan mewah selalu memanjakan tamu-tamunya. Juga masih banyak fasillitas mewah lain yang resort ini suguhkan tentunya.

Sapaan hormat yang diiringi senyuman dan rasa segan dari resepsionis, serta para karyawan terus mengalun di gendang telinganya seiring langkah kaki yang dia ayunkan.

Bilal hanya menanggapinya dengan senyuman selama satu detik, tidak lebih. Bukan apa-apa, pria itu hanya ingin menjaga wibawanya saja. Apalagi pada kaum hawa yang selalu mendamba akan ketampanannya. Mereka selalu mentapnya dengan penuh pemujaan dan membuat Bilal jera sendiri.

"Sudah berapa lama kau bekerja denganku?"

"Tiga tahun, Tuan!" Manajer itu menunduk dalam dengan peluh yang membanjiri wajahnya.

Bilal memasang wajah garang dengan tatapan sinis. "Bagus! Lalu bagaimana masalah sepele ini bisa terjadi? Aku tidak ingin gara-gara masalah ini nama besar Abu Nabaa Resort akan tercoreng. Seharusnya kau tahu dampak buruk dari masalah ini. Aku tidak mau tahu, pecat semua karyawan yang sudah teledor itu. Satu lagi, pastikan masalah ini jangan sampai terulang. Jika sampai terulang, maka kau yang akan kupecat! Sekarang kau boleh keluar!"

Bilal memukul meja dengan sangat keras. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar. Bagaimana bisa ada beberapa bangkai kecoa yang ditemukan dalam salah satu kamar tamunya? Ini sangat memalukan!

"Ba--baik, Tuan. Saya berjanji masalah ini tidak akan terulang lagi, saya minta maaf. Permisi, Tuan." Hazeem buru-buru berdiri dari duduknya, ia segera meninggalkan ruangan CEO dengan terbirit-birit.

****

"Anissa!"

"Tuan?"

"Ayo, pulang!"

"Tuan, menjemputku?"

Bilal mendesis. "Menurutmu?"

Reem yang berada di samping Anissa mengerjapkan matanya berkali-kali. Gadis Gaza itu mencubit pinggang temannya sebelum berbisik, "Kau bilang dia pria tua? Sungguh dia masih muda dan sangat tampan! Aku rasa matamu cacingan."

Anissa sedikit meringis. "Tapi dia sangat menyebalkan. Ya sudah aku pulang duluan," pamit Anissa lalu segera menyusul Bilal yang sudah berjalan menuju mobil sport miliknya.

Saat ini Bilal memakai celana jeans dengan jaket kulit berwarna hitam. Dia terlihat lebih muda dan sangat gagah. Pantas saja sedari tadi para mahasiswi terus menatapnya dan saling berbisik kagum, bahkan sebagian dari mereka pun ada yang mengambil foto Bilal secara diam-diam.

"Anissa!" Suara serak itu menghentikan langkah Anissa. Terpaksa Anissa memutar badan, iris hitamnya langsung terkunci dengan wajah cerah Akbar.

"Ini buat kamu." Akbar memberikan sebuah kemasan cokelat berbentuk hati pada Anissa.

"Cokelat? Tapi aku enggak ulang tahun, Kak!" Kening Anissa mengkerut dalam.

Akbar terkekeh sebelum berujar,
"Memangnya ngasih cokelat harus nunggu ulang tahun dulu gitu? Tolong terima ya, aku sengaja beli ini buat kamu." Pria hitam manis itu tersenyum hangat.

"Hmm ... ya sudah makasih ya, Kak." Bibir ranum Anissa mengembangkan senyuman.

Bilal kembali menghampiri Anissa dengan rahang yang mengeras. "Sudah main dramanya?" Bilal melempar tatapan tajam pada Akbar seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

"Maaf, Tuan. Aku ... hanya ingin memberinya cokelat," ujar Akbar sesopan mungkin.

"Pembantuku tidak boleh makan cokelat terlalu banyak! Nanti dia diabetes!" Bilal menyambar cokelat itu dari tangan Anissa dan membuangnya pada wajah Akbar.

Anissa memekik saat Bilal menarik tangannya dengan sangat kasar. Sedangakan Akbar masih mematung di tempat dengan perasaan hancur menatap punggung Anissa dan Bilal.

"Kenapa kau membuang cokelatnya?" tanya Anissa sesampainya dalam mobil.

"Kenapa? Kau tidak terima, eh?" Bilal seperti kebakaran janggut. Emosinya menggebu-gebu. Setelah memakaikan seatbelt untuk Anissa, dia langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas normal.

"Dia pria yang baik ...," ujar Anissa dengan isak yang tertahan.

"Bagus! Berarti kau menyukainya. Baiklah, setelah aku menceraikanmu kau boleh menikah dengannya!" tegas Bilal mematahkan hati Anissa.

"Aku hanya bilang dia pria yang baik ... aku tidak bilang kalau aku menyukainya," sanggah Anissa. Tangannya menyeka air mata yang terus meluruh menuruni pipinya. "Apa, Tuan tidak cemburu?"

Bilal terbahak sebelum berujar,
"Untuk apa aku cemburu? Kau kira aku mencintaimu?"

Anissa mengeratkan remasan pada ujung hijab merahnya. Dia membuang pandangannya ke arah jendela. "Kita mau ke mana, Tuan?" tanyanya saat menyadari mobil Bilal tidak melaju menuju rumah Mustofa.

"Aku ingin membawamu ke Dokter kandungan. Aku ingin tahu apakah kau mandul atau tidak?"

Anissa menautkan kedua alisnya.
"Kalau aku mandul, bagaimana?"

"Tentu saja aku akan segera menceraikanmu. Untuk apa aku mempertahankan wanita yang tidak bisa memberiku anak sama sekali."

"Te--terus hutang ibuku bagaimana?" tanya Anissa dengan wajah yang memelas.

"Akan kuanggap lunas!" tegas Bilal dengan tatapan sinis.

Anissa kembali meluruhkan air mata kepedihan. Ternyata, Tuan Bilal tidak pernah mencintaiku.

****

Mereka sudah sampai di sebuah rumah sakit Amman. Bilal langsung membawa Anissa ke dalam ruangan dokter Butaina. Sebelumnya Bilal memang sudah membuat janji dengannya.

"Selamat sore, Tuan Bilal dan Nyonya Anissa," sapa Butaina dengan senyum ramah.

Anissa tersenyum canggung dan segera duduk di samping suaminya.

"Jadi begini, Dok. Saya ingin memeriksakan istri sopir saya. Dia ingin mengikuti program kehamilan," papar Bilal menusuk hati Anissa.

Dokter Butaina mengangkat satu alisnya ke atas. "Saya kira dia istri, Anda Tuan! Waah ..., Anda baik sekali mau mengantarkan istri sopir untuk berobat." Butaina tersenyum sangat manis.

"Ah, bukan. Dia bukan istri saya. Kebetulan suaminya memang sedang sibuk, jadi sudah kewajiban saya untuk membantunya." Bilal berdehem pelan. Ekor matanya melirik Anissa seraya tersenyum samar.

Anissa berdiri dari duduknya dengan tergopoh-gopoh. Perempuan itu segera berlari ke luar ruangan membawa kepingan hatinya yang telah retak. Anissa bahkan tidak peduli dengan Bilal dan dokter Butaina yang terus memanggil-manggil namanya.

"Anissa!"

"Anissa tunggu aku!" Tangan besarnya berhasil menggapai tangan Anissa. Mereka sudah berada di area parkir.

"Kau marah padaku?" Dadanya naik turun mengatur napasnya yang terengah-engah.

Anissa mendongak, menatap wajah pria yang luar biasa menyebalkan di muka bumi. Anissa tersenyum getir sebelum berujar, "Tanyakan saja pada dirimu sendiri, Tuan Bilal!" pekik Anissa seraya terisak.

Anissa menepis tangan Bilal dan kembali berlari. Namun lagi-lagi tangan pria itu berhasil menggapai pergelangan tangannnya, bahkan Bilal mengcengkeramnya dengan sangat kasar.

"Ayo kita pulang, Anissa!"

"Aku tidak mau!"

Bilal mendesah. "Ayolah, Anissa. Jangan seperti anak kecil!" desaknya.

Anissa merasakan perih di pergelangan tangannnya saat Bilal menyeretnya dengan sangat kasar. "Tuan ..., lepaskan aku! Lepaskan aku ...," rengek Anissa.

"Diam, Anissa! Kenapa kau selalu saja membangkang?" geram Bilal.

"Tolong ...! Tolong ...! Pria tua ini mau memperkosaku! Tolong ...!" Anissa tidak peduli jika Bilal akan dianggap seorang penjahat oleh orang-orang yang berlalu-lalang di area Rumah Sakit.

Bilal tersedak mendengarnya. "Apa kau sudah gila, Anissa?" Bilal mengeraskan rahanganya.

"Ya, aku memang sudah gila dan itu semua karenamu, Tuan!" pekik Anissa dengan mata yang melebar.

Bilal mengusap wajahnya merasa frustrasi. Pria itu merasa lelah dengan sikap Anissa yang semakin hari semakin merepotkan menurutnya.

"KYAAAAAA!"

Anissa memekik saat tubuhnya melayang di udara. Bilal menggendongnya dengan sebelah tangan. Seperti orang yang tengah memanggul karung beras.

"Turunkan aku! Turunkan aku, Tuan ...!" Anissa memukuli punggung Bilal menggunakan kedua tangannya. "Turunkan aku!" Kali ini dia menjambak rambut hitam Bilal yang sedikit ikal. Kedua telinga Bilal pun menjadi sasaran amukan Anissa. Dia menjawil dan memilinnya sampai warnanya semerah kepiting rebus.

Bilal meringis dengan segala umpatan kasar yang terlontar dari bibirnya. Namun, pria itu terus menggendong Anissa lalu membantingnya ke dalam mobil.

****

Mobil Ferary merah milik Bilal berhenti tepat di depan kediaman Mustofa. Anissa membuka pintu mobil dan ia segera berlari. Langkah Anissa terhenti setibanya di ruang tamu.

Mustofa dan Yasmeen terlihat tengah bercengkrama ditemani secangkir teh hangat dan beberpaa kue kering di atas meja. Mereka menatap Anissa dengan kerutan di kening. "Anissa, ada apa denganmu?" tanya Yasmeen dan Mustofa serempak.

Lidah Anissa membelit. Suaranya pun tersekat di tenggorokan. Mata bengkak dan sendu miliknya menatap wajah mertua dan madunya secara bergantian. Anissa segera berlari menuju kamarnya yang berada di lantai dua dan langsung menguncinya dari dalam.

"Apa yang kau lakukan pada Anissa ha?" tanya Mustofa garang.

"Kami hanya salah paham, Ayah! kami hanya perlu bicara ...," jawab Bilal dengan napas terengah-engah.

Plak! Plak! Plak!

Bilal memekik kesakitan saat Mustofa menghantam punggungnya menggunakan tongkat kayu. "Ayah! Apa yang kau lakukan?"

"Aku hanya ingin memberimu pelajaran! Aku tidak pernah mengajarimu untuk menyakiti hati seorang wanita! Kenapa kau selalu membuat Anissa menangis! Dasar anak nakal!" Mustofa terus memukuli Bilal.

Bilal beringsut naik ke atas sofa. Dia bersembunyi di belakang punggung Yasmeen untuk meminta perlindungan. "Sayang ..., selamatkan aku dari, Monster tua itu!" seru Bilal seenak jidat.

"Sudah, Ayah. Cukup." Yasmeen menghela napas panjang.

Mustofa menghela napas pasrah. Lelaki berrambut putih itu melempar tatapan tajam pada Bilal sebelum menyusul Anissa.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Yasmeen.

Bilal mengusap wajah sebelum menceritakan semuanya pada Yasmeen. "Seperti itu," ujar Bilal setelah selesai menceritakan kronologinya.

Ekspresi wajah putih Yasmeen yang tadinya tenang berubah merah dan masam. "Aku kecewa padamu, Bilal."

Mata Bilal membelalak saat Yasmeen menamparnya tanpa permisi. "Sayang, kenapa kau marah?"

"Kenapa kau terus saja menyakitinya? Kenapa kau tidak akui saja perasaanmu padanya! Kau mencntainya Bilal! Kau mencintainya!" pekik Yasmeen seraya terisak. Air mata Yasmeen meluncur begitu saja meluapkan sesak dalam dada.

Bilal tertegun. Dia kehilangan kata-kata. Apa yang terjadi hari ini? Kenapa semua orang menyudutkannya? Semua gara-gara Anissa! Perempuan sialan itu. Benarkah Bilal sudah mencintainya? Bilal sendiri belum bisa mengakui, ego dan harga diri itu masih setia membentengi. Tidak mungkin seorang Bilal mencintai perempuan kampung yang miskin seperti Anissa. Tidak mungkin.

Bilal ..., aku merasa seperti seorang musafir cinta yang begitu haus akan cinta darimu. Lantas, harusakah aku mengemis cinta padamu?

****

Panjang banget di part ini, maaf ya...😂

Semoga feelnya selalu dapet.🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro