07 |Perang Salju

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gundukan salju setinggi betis orang dewasa melesak saat sepasang sepatu boat hitam menjejakinya. Bilal berjalan lamban, sedikit mengendap-ngendap. Tatapannya mengintai sosok perempuan yang sedari tadi menjadi objek lensa kamera ponselnya. Dia bersembunyi di balik tembok dapur. Entah sudah berapa banyak gambar Anissa yang telah berhasil dicurinya.

Bibir Bilal merekah ketika melihat gambar Anissa yang tengah menengadah dihujani butiran salju. Wajah Anissa tampak sangat sumeringah.

"Kalau dipikir-pikir, aku seperti orang gila saja. Konyol sekali. Sudah jelas-jelas dia istriku. Seharusnya aku tidak perlu sembunyi-sembunyi seperti ini bukan?" Bilal menggeleng, lalu terkekeh pelan sambil menutup mulutnya.

Bilal melanjutkan langkahnya, semakin mendekati Anissa yang tampak sedang bermain-main dengan gundukan es halus yang mengembun.

"Jelek sekali snow man buatanmu!" ejek Bilal tiba-tiba.

Anissa mendongak. Tatapannya langsung terkunci dengan wajah datar milik Bilal. Pria itu berdiri di hadapannya. Kedua tangannya tampak tenggelam pada saku celana. Sementara bibir penuh kemerahannya sangat menggoda meskipun terlihat kaku.

"Hei, apa kau bisu? Kenapa tidak merespon ucapanku?" tanya Bilal garang.

"Lalu apa yang kau ingin dengar dari mulutku? Aku sedang malas berdebat denganmu, Tuan."

Dada Anissa mengembang saat ia mengembuskan napas kasar. Heran dengan pria di depannya. Masalah kemarin saja, dia belum meminta maaf dan sekarang sudah membuat hatinya kembali meradang.

"Kau masih marah padaku?"

"Kau bahkan belum meminta maaf," sindir Anissa.

"Dasar perasa! Baiklah ... aku minta maaf," ujar Bilal datar.

Anissa tetap bergeming ketika Bilal mengambil duduk di sisinya. Dia meraup gundukan salju menggunakan kedua taangannya, lalu mulai membentuk sebuah kepala untuk snow man buatannya. Anissa sudah menyiapkan wortel dan dua buah tomat merah kecil untuk matanya. Dia menaruh sayur-sayuran segar itu dalam keranjang.

Bilal mendesah karena sedari tadi Anissa tampak mendiamkannya.

"Ayolah ... mari kita berdamai?"

Anissa menepis tangan Bilal saat jari telunjuk pria itu memainkan pipinya. Akan tetapi, Bilal justru menaburkan butiran salju pada puncak kepala Anissa dengan sengaja. Anissa berdecak kesal dibuatnya.

"Ayolah, maafkan aku ...!" desak Bilal.

Anissa melirik Bilal sekilas melalui ekor matanya. Lalu kembali menikmati sensasi dingin dari salju-salju yang dimainkannya. Anissa membiarkan Bilal yang tampak mengeraskan rahang. Anissa tidak mau peduli.

Anissa menggeram ketika kedua tangan Bilal mengacak-ngacak snow man yang telah susah payah dibuatnya.

"Tuan ...! Kenapa kau menghancurkannya?" Anissa berkacak pinggang.

Bilal terbahak, lalu melahap tomat chery yang dia ambil dari keranjang milik Anissa. Hatinya berbunga melihat mata Anissa melebar dan bibir ranumnya mengerucut. Anissa tampak sangat menggemaskan.

"Kau yang membuatku emosi! Aku sudah baik-baik meminta maaf padamu. Tapi kau malah mengabaikanku. Seharusnya kau mengerti kenapa aku berbuat begitu kemarin," ujarnya tanpa merasa berdosa sedikit pun.

"Ya, aku mengerti. Kau malu untuk mengakuiku sebagai istrimu di hadapan orang lain, kan?"

"Itu kau tahu, jadi seharusnya kau tidak perlu sakit hati bukan? Kau selalu saja membesar-besarkan masalah dan memojokkanku di depan Yasmen dan Ayah."

Dada Anissa mendadak sesak. Susah payah dia melebarkan matanya agar tidak menjatuhkan air matanya di depan Bilal lagi. Anissa berjongkok lalu meraup salju sebanyak-banyaknya, menggulungnya, lalu melemparkannya tepat pada wajah Bilal yang menyebalkan.

Mulut Bilal megap-megap. Dia menggeram, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Sementara dilihatnya Anissa sedang terbahak, kemudian menjulurkan lidah meledeknya.

"Anissa!" gertak Bilal.

"Dasar pria tua menyebalkan! Kau memang tidak pernah peka. Dasar, Unta tua!" Tawa Anissa semakin pecah.

"Apa? Apa katamu? Coba ulangi!"

"Kau! Unta tua yang menyebalkan dan berjanggut lebat!"

Anissa berlari saat Bilal mulai mengejarnya. Halalaman belakang kediaman Mustofa sangat luas membentang. Sehingga Anissa sangat leluasa untuk berlari ke mana pun ia suka.

Anissa sangat lincah berlari, Bilal merasa kewalahan mengejarnya. Pria itu berhenti sejenak sembari memegangi kedua lututnya. Embusan napasnya semakin liar. Sumpah demi apa pun, Bilal tidak pernah melakukan hal konyol seperti ini dengan Yasmeen. Namun Anissa benar-benar berhasil mewarnai dunianya yang selama ini monoton.

Yasmeen dan Bilal dijidohkan sejak usia mereka genap duapuluh tiga tahun. Dalam tiga kali pertemuan, mereka langsung dinikahkan. Sikap Yasmeen yang begitu dewasa dan keibuan membuat Bilal selalu merasa nyaman. Bahkan bagi Bilal, Yasmeen bukan hanya seorang istri, tetapi juga sahabat dan ibu yang selalu mengerti tentang dirinya. Entah itu rasa cinta atau sekedar perasaan nyaman, yang jelas hidup Bilal sangat tergantung pada Yasmeen.

Sewaktu sehat, Yasmeen adalah seorang wanita karir yang sangat sibuk. Begitu pun dengan Bilal, pria itu sangat memprioritaskan pekerjaannya. Waktu jarang sekali mempertemukan mereka berdua. Hanya beberapa tahun terakhir ini saja saat Yasmeen sudah menderita sakit, Bilal lebih meluangkan waktu untuknya.

"Anissa! Berhenti berlari!"

"Tidak! Kejar saja kalau kau bisa!" tantang Anissa.

Anissa berlari menelusuri kebun zaitun yang berjejer rapi di sepanjang pagar besi. Jantung Anissa hampir copot saat Bilal berhasil menangkap tangannya. Namun dia segera menggigit lengan kokoh Bilal dan kembali berlari menuju pohon buah tin di pojok taman.

"Astaga! Kau sangat sulit untuk ditangkap!" geruru Bilal.

Bilal melempar gumpalan salju dan tepat mengenai sasaran. Puncak kepala Anissa yang dibalut hijab merah jambu kini tampak dipenuhi salju.

"Heii ...! Rasakan pembalasanku!"

Bilala mendesis. "Coba saja kalau kau bisa, Tikus kecil."

Mereka tidak lelah saling melempar gumpalan salju satu sama lain. Tawa riang mereka pecah, bersahutan dengan desau angin yang sangat kencang. Bilal dan Anissa menikmati weekend ini bermain di bawah rinai salju untuk yang pertama kalinya.

Mulut Anissa membulat ketika Bilal tiba-tiba jatuh terlentang di atas hamparan salju yang cukup tebal. Kepala bagian belakangnya sampai sedikit terbenam. Secepat kilat Anissa berlari menghampirinya.

"Tuan! Apa kau baik-baik saja?" tanya Anissa.

"Aku terjebak salju, tolong bantu aku berdiri."

Anissa menarik tangan Bilal yang mengapung di udara. Dia memekik saat tubuhnya justru terhuyung dan menindihi tubuh kekar Bilal.

Brukk!

"Tuaannnn! Kau membohongiku!"

Kedua mata Anissa terpejam sempurna. Badannya bergerak gelisah dan mencoba untuk berdiri. Akan tetapi, kedua lengan kokoh suaminya telah mengunci pinggangnya dengan sangat erat.

"Sudahlah ... mengaku saja. Bukannya dari dulu kau menginginkan hal seperti ini, hm?"

Pertanyaan itu membuat pipi putih Anissa merona. Sementara Bilal tampak terkekeh-kekeh melihat ekspresi wajah istrinya.

"Tuan, degup jantungmu berdebar-debar ...." Anissa mengulum senyum.

Kali ini kedua pipi Bilal yang dibuat memanas. Pria itu berdeham dan berusaha untuk menormalkan degup jantungnya, akan tetapi jantungnya kini justru semakin meletup-letup. Sial!

Dalam hitungan menit, tatapan mereka saling terkunci. Iris cokelat Bilal terlihat sangat hangat dan tidak dingin seperti biasanya.

Sekujur tubuh Anissa menegang saat Bilal menarik tengkuknya, lalu menyapu bibirnya. Jujur saja, itu adalah sentuhan lembut pertama untuk Anissa. Bahkan setelah menikah dengan Bilal sekalipun, baru kali ini Bilal menyentuhnya di sana.

Anissa dan Bilal masih saling melempar senyum dan saling menatap dalam. Butir-butir salju yang berjatuhan menyentuh kulit mereka semakin lebat dan dingin. Akan tetapi mereka tidak menggigil, karena embusan napas mereka yang saling bersahutan terasa sangat hangat.

****

Di balik jendela dapur, seorang perempuan duduk bersandar pada sebuah kursi rodanya. Bibir Yasmeen mengembangkan senyuman. Meskipun air matanya berjatuhan banyak menuruni kedua pipinya. Hati Yasmeen seperti diaduk-aduk melihat Anissa dan Bilal berciuman dengan sangat mesra. Bahu Yasmeen berguncang ketika dia terisak. Dia segera menyeka air matanya menggunakan punggung tanganya yang putih.

Istri mana yang rela membagi suami yang sangat dicintainya dengan perempuan lain? Pasti tidak ada. Yasmeen bukanlah Khadijah, bukan pula Aisyah istri Rosulullah SAW. Dia hanyalah seorang perempuan biasa dengan segala kelemahannya. Dia sangat terpuruk melewati hari-harinya.

Yasmeen hanya sedang berusaha untuk ikhlas menerima nasibnya. Menunggu malaikat maut untuk menjemputnya. Dia sudah tidak mengikuti kemoterapi atau pun pengobatan lainnya. Dia sudah pasrah melepas semuanya dan melepas Bilal-nya.

Yasmeen sangat berharap, Bilal bisa mencintai Anissa dan menjadikannya pendamping hidup pengganti dirinya. Anissa sangat tulus dan baik, Yasmeen tahu itu.

Dokter sudah memvonis usianya tidak akan lama lagi. Entah bulan depan, atau bulan ini. Mungkin besok, atau hari ini, atau mungkin nanti malam. Perasaan itu selalu menghantui pikirannya. Yasmeen hanya tinggal menghitung detik demi detik dari sisa umurnya.

"Madam, apa kau baik-baik saja?" tanya Maricar.

"Aku baik-baik saja. Tolong antarkan aku ke kamar," pinta Yasmeen. Suaranya sangat parau.

"Baiklah, Madam."

Kedua bola mata Maricar berputar jengah, lalu dia mendorong kursi roda majikannya seraya menarik ujung bibirnya ke samping.

****

Bilal menurunkan tubuh Anissa dari gendongannya ke atas ranjang. Kemudian badan kekarnya langsung mengungkungnya. Bilal menggunakan kedua sikunya untuk menumpu berat badannya agar tidak membebani Anissa.

Sedari tadi, Anissa menundukan pandanganya. Embusan napas Bilal terasa semakin liar dan hangat menyapu seluruh permukaan wajahnya.

"Tuan ...."

"Hmmm ...."

"Apa kepalamu terbentur sesuatu?"

Bilal tersenyum tipis seraya memainkan pipi Anissa yang semakin merona di bawah sinar lampu yang temaram. Bilal baru sadar ternyata Anissa sangat cantik.

"Aku memang terbentur pintu kamar mandi tadi pagi. Kenapa hm?"

"Oh, pantas saja! Kalau begitu lain kali aku akan membenturkan kepalamu ke tembok sekalian. Biar sikapmu tetap manis seperti ini!"

Bilal terbahak. Ternyata Anissa memang sangat menggemaskan. Ibu jarinya mengusap bibir ranum Anissa yang sudah merah dan bengkak.

"Sepertinya aku sudah kecanduan bibirmu," ujar Bilal.

"Tuan, kau kira bibirku makanan!"

Bilal meringis ketika Anissa mencubit perutnya yang polos. Bahkan Anissa mendorong dadanya hingga dia terjungkal dan berbaring di sisi Anissa.

"Semoga yang tadi bisa jadi anak. Aku sudah tidak sabar ingin menjadi seorang Ayah," bisik Bilal di telinga Anissa.

"Lalu, setelah itu kau akan menceraikanku?" tanya Anissa dengan wajah sendu.

Bilal menahan napas, lalu menempelkan bibirnya pada kening Anissa sejenak. "Jangan dipikirkan."

"A---apa maksudmu?"

Bilal ....

Terimakasih untuk hari ini dan kumohon tetaplah hangat seperti ini.

****









Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro