10 | Ciuman Berdarah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"T-tuan ...! jangan!"

Bilal berancang-ancang hendak melayangkan sebuah pukulan pada Akbar. Bilal menggeram saat Anissa memeluk lengan kokohnya, lalu dia mendorong tubuh Anissa hingga tersungkur ke tanah.

BUGGH!!

BUGGH!!

"TUAN ...! KUMOHON HENTIKAN! SIAPA PUN TOLONG BANTU DIA!"

Anissa meraung-raung. Suasana Petra menjadi kacau. Tidak ada yang berani untuk melerai. Melihat raut wajah Bilal saat ini sangatlah mengerikan. Ketika tersulut emosi seperti ini Bilal memang pantas dibilang  seorang psikopat. Tidak ada yang bisa menghentikannya sampai dia puas, kecuali Tuhan tentunya.

Emosi Bilal membabi buta. Tangan besarnya memukuli rahang Akbar secara bertubi-tubi hingga pria itu terhuyung membentur sudut meja, sampai meja kacanya pun retak.

Akbar meringis, merasakan darah kental yang mulai mengucur dari pelipisnya yang menganga.

"LAWAN AKU, BAJINGAN!"

Satu tangan besar Bilal mencengkeram kerah kemeja Akbar. Dia mengangkatnya hingga Akbar tercekik dan kakinya berjinjit.

Napas Akbar tersekat di kerongkongan, dia tidak bisa berkutik. Akbar balas menatap sepasang iris Bilal yang semakin memerah.

Wajah Bilal terlihat murka. Padahal malam ini dia akan memberi sebuah kejutan makan malam yang romantis untuk Anissa di depan kuil Petra. Pria itu sudah merencanakan semuanya dari jauh-jauh hari. Dia ingin membuat Anissa bahagia malam ini. Namun pemandangan tadi sudah merusak semuanya.

Ketika Anissa hendak berlari menghampiri Bilal yang memanggilnya. Dia hampir saja terjatuh kalau tangan Akbar tidak menahnnya. Gestur tubuh mereka terlihat seperti sedang berpelukan di mata Bilal.

"Apa salahku?"

"Apa salahmu?" Bilal mendesis. "Salahmu karena kau sudah berani mendekati Anissa! Bodoh!"

"A---aku mencintai Anissa, Tuan."

"APA KATAMU? CINTA?"

Mata Bilal semakin melebar. Rahang tegasnya pun kian mengeras. Bilal menggertakkan gigi grahamnya lalu melempar tubuh Akbar hingga terjungkal. Bilal menekan satu kakinya yang dibungkus sepatu pantofel hitam tepat di atas perut Akbar.

"AKU---MEN---CIN--TAII--AA--NISS--ARRGGH ...!"

Akbar kehilangan kata-kata saat kaki Bilal semakin mendesak perutnya. Bilal terus menekan kakinya dengan sekuat tenaga, seolah ingin sepatu miliknya menembus perut Akbar.

Bilal tersenyum puas. Dia merasa menang, lalu kaki panjangnya menendang tubuh Akbar sampai menggelinding jauh.

"ARRGGH!"

Tubuh Akbar berguling-guling di atas butiran pasir merah yang kasar. Akbar terbatuk-batuk. Perutnya bergolak mual, hingga cairan merah segar menyembur banyak dari lubang hidung dan mulutnya.

"KAK, AKBAR ...!"

Bilal tersedak melihat Anissa beringsut menghampiri tubuh Akbar yang meringkuk tak berdaya. "Anissa, kau ...."

Anissa meraih kepala Akbar lalu memangkunya. Dia mengusap darah dari ujung bibir Akbar menggunakan ibu jarinya. Air matanya meluruh deras. Hatinya pedih melihat darah yang terus mengalir dari mulut dan hidung Akbar, bahkan dari pelipis kanannya juga. Darahnya sangat banyak menyusuri pipi dan dagu hingga leher, memerahi kemeja biru yang Akbar kenakan.

Akbar terus tebatuk-batuk. Persendian di sekujur tubuhnya menjerit, merasakan sakit yang teramat sangat.

"Kak, Akbar."

Suara lembut Anissa memanggil namanya. Penglihatan mata Akbar mengabur, samar-samar ia melihat wajah perempuan yang sudah mencuri hatinya itu. Anissa sangat dekat, hanya satu jengkal dari atas wajahnya. Bahkan ... tetesan air mata Anissa berjatuhan membasuh darah yang membanjiri pipinya.

"An---nissa," lirih Akbar sangat lemah.

"Argghh, Tuan ...!"

Anissa menjerit saat Bilal menarik tangannya dengan paksa. Sehingga membuat kepala Akbar jatuh membentur pasir. Anissa dilempar menjauh dari tubuh Akbar.

Bilal berjongkok lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Akbar. "Jangan pernah mendekati istriku lagi!" tegasnya.

Akbar tersedak dengan mata yang melebar. "I---istrimu ...?" tanyanya terbata.

"YA ...! ANISSA ISTRIKU."

Kali ini jantung Akbar seakan berhenti berdetak. Ada sesuatu yang mencubit hatinya dengan sangat keras. Selama ini Anissa mengaku jika dirinya belum menikah. Akbar tidak menyangka, kenapa Anissa sangat tega membohonginya seperti ini? Pria itu merasa sangat nista karena selama ini dia telah mencintai perempuan yang telah bersuami. Akbar beristighfar sebanyak-banyaknya dalam hati. Telinganya berdengung, hingga dia tidak bisa melihat warna apa pun kecuali hitam.

Kepala Anissa terus menoleh ke belakang. Dia mengabaikan cengkeraman tangan Bilal dan terus menyeret tubuhnya untuk pergi menjauh. Mata Anissa membengkak, ia menatap sendu ke arah Akbar yang mulai dikerubungi oleh orang-orang.

Jika sampai terjadi sesuatu pada Akbar, Anissa bersumpah tidak akan memaafkan dirinya sendiri. Semua ini terjadi karena kesalahannya ....

Bilal menyuruhnya untuk merahasiakan pernikahannya pada siapa pun. Selama ini hanya Reem yang tahu tentang pernikahan kontrak antara Anissa dan Bilal.

****

Mereka sudah sampai di rumah. Anissa terus menjerit dalam gendongan Bilal. Bahkan perempuan itu terus memukuli punggung Bilal dengan sekuat tenaga.

"Tuan, turunkan aku!"

"Diam!"

Di ruang keluarga, Mustofa melihat mereka dengan tatapan penuh tanda tanya. Dahi lelaki tua itu mengerut dalam.

"Bilal! Anissa! Ada apa dengan kalian?"

"Kau tidak usah ikut campur, Ayah! Urus saja urusanmu sendiri!"

Bilal tidak peduli dengan siapa pun saat ini. Dia hanya ingin memeberi hukuman pada Anissa. Perempuan ini sudah berani bermain-main di belakangnya. Maka dia harus menerima akibatnya.

Setelah sampai di kamar, Bilal melempar tubuh Anissa ke atas ranjang. Lalu pria keturunan Yordania-Baghdad itu segera menindihinya dengan sangat kasar, sampai-sampai ranjang pun berderit nyaring.

"Kenapa kau memukulinya, Tuan?" tanya Anissa parau. Dadanya sesak mengingat bagaimana Bilal memukuli Akbar dengan sangat kejam.

"Kenapa? Kau tidak suka?"

"Kau sangat jahat, Tua---"

"Kau sudah menghianatiku!" 

"A---aku tidak ada hubungan apa pun dengannya ...."

"BOHONG!!"

Kedua mata Anissa merapat sempurna ketika tangan besar Bilal mencengkeram rahangnya dengan sangat keras. Anissa menahan napas. Tangan lemahnya menyentuh lengan kokoh Bilal, berharap suaminya berbelas kasihan dan melepaskan cengkeramannya yang sangat menyakitkan.

"Katakan! Apa kau mencintai pria itu, ha?"

Anissa menelan ludah susah payah.

"KATAKAN!! ANISSA!!"

Diamnya Anissa semakin membuat Bilal geram dan nyaris gila. Apakah benar Anissa sudah mencintai Akbar? Pria kurus dan hitam itu.

"KATAKAN!!"

Bilal tidak sabaran. Dia segera melucuti satu per satu kain yang menutupi tubuh istrinya hingga menyisakan tubuh polos Anissa. Iris cokelat terangnya semakin memerah dan berang. Bilal menelan ludahnya payah. Dia sangat marah pada Anissa saat ini. Rasa kecewa, emosi dan gairah yang menggebu bergejolak di hatinya. Dia tidak bisa mengendalikannnya secara bersamaan. Tubuh Anissa sudah ternoda. Dia sudah bersentuhan dengan pria sialan itu. Tubuh Anissa harus dibersihkan!

Sekujur tubuh Anissa remuk redam saat Bilal membantingnya ke dalam bathub. Anissa menjerit ketika air yang sedingin es pun perlahan mulai mengguyur tubuhnya dengan sangat rakus.

Anissa tidak bisa memberontak seperti biasanya. Perempuan itu kehilangan kata-kata. Pikirannya melayang, memikirkan bagaimana keadaan Akbar? Apakah Akbar baik-baik saja?
Tubuh Anissa mengigil. Dia memeluk kedua lututnya seraya terisak.

"Anissa ...."

Bilal menenggelamkan tubuh kekarnya ke dalam bathub. Tangannya membelai rambut hitam Anissa yang panjang dan basah.

"Anissa ..., aku sangat marah padamu."

Kedua mata Anissa membulat. Namun dia enggan bersuara. Hidung mancung Bilal, mata tajamnya, bibirnya, rahang tegasnya memenuhi semua ruang retina matanya. Anissa tersenyum getir. Bagaimana dia bisa sangat mencintai pria kejam seperti Bilal? Tampan memang. Anissa tidak bisa memungkiri, mahkluk ciptaan Tuhan yang satu ini memang nyaris sempurna. Wajah rupawan itulah yang selalu merayu hatinya untuk tetap hanyut dalam pesonanya. Seberapa keras usaha Anissa untuk menghindar dari cinta Bilal, tetap saja dia selalu kalah dan jatuh dalam pelukannya. Walaupun cinta itu sendirilah yang menyakiti hati dan menyiksa batinnya.

"Aku tidak suka kau berdekatan dengan lelaki lain. Bukankah aku sudah memperingatkanmu berulang kali? Tapi kau tetap saja melanggar!"

Bahu Anissa berguncang. Mulutnya tidak bisa mengeluarkan satu patah kata pun untuk membela diri. Hanya sesenggukan yang menyiratkan sesak dalam dadanya.

"Berjanjilah padaku untuk tidak menemui lelaki sialan itu lagi, Anissa. Berjanjilah!" Rahang Bilal mengeras sempurna.

Bilal meraih dagu Anissa, menyuruhnya untuk balas menatap matanya. Akan tetapi Anissa justru melengos.

Bilal menggeram diacuhkan seperti itu oleh Anissa. Wajah bersihnya berubah merah dan membara. Secepat kilat, dia mencengkeram rahang Anissa lalu menyapu bibir istrinya dengan sangat kasar.

Sekujur tubuh Anissa menegang ketika gigi tajam Bilal menggigiti bibir bawahnya dengan sekuat tenaga. Anissa menyentuh lemah dada bidang Bilal yang polos. 

Anissa membelakak. Dia bahkan tidak diberi kesempatan untuk memburu oksigen.

Setelah puas, Bilal langsung melepaskan bibir Anissa. Bilal menelan cairan merah segar yang terburai dari bibir Anissa. Rasanya amis dan pahit.

"Sekali lagi kau menghianatiku, aku akan menyiksamu lebih dari ini, Anissa. Camkan itu!" ancam Bilal dengan tatapan mengintimidasi.

Pandangan Anissa memburam. Wajahnya pun terlihat semakin pucat. Bibirnya membiru dan bengkak, darah segar terus menetes memerahi dagunya.

"Kau tidak boleh mencintai siapa pun kecuali diriku," bisik Bilal parau dengan penuh penekanan di setiap katanya.

Anissa menyeka bibirnya yang berdarah. "Apakah kau mencintaiku, Tuan?"

Lidah Bilal mendadak terlilit. Dia   kaget oleh pertanyaan Anissa yang tiba-tiba menyerangnya. Sampai detik ini pun ego masih menguasai hatinya. Bibirnya seperti penuh lem setiap kali ingin mengutarakan perasaannya pada Anissa.

Anissa melempar tatapan sinis lalu mendesis. "Bahkan kau tidak bisa menjawabnya, Tuan!"

Anissa benar-benar tidak bisa menebak apa isi hati dan kepala pria kejam di depannya ini? Selalu saja diperbudak emosi dan melubangi hatinya.

Bilal tersentak saat tubuh Anissa perlahan ambruk dalam pelukannya. Tangan istrinya terkulai lemah, kelopak matanya pun terkatup rapat. Sudah satu jam dia mengguyur tubuh Anissa dengan air keran yang dingin.

"Anissa!"

"Anissa, buka matamu. Kumohon buka matamu, Anissa!" Bilal menelan ludah payah. Tangannya menepuk-nepuk pipi Anissa. Namun tidak berguna sama sekali. Anissa tetap diam.

"ANISSA ...!"

Bilal ....

Aku tidak mengerti dengan sikapmu, hatimu dan cara berpikirmu. Kenapa kau sangat tega menyiksa batin dan ragaku seperti ini? Padahal aku sangat mencintaimu.

****

Kesal sendiri ngetik part ini. 😭

Besok aku langsung bunuh aja si Bilal biar cerita ini langsung tamat.😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro