11 | Ketulusan Hati Yasmeen

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bagaimana keadaan Anissa, Dokter?" Bilal memasang wajah khawatir.

Dokter pribadi keluarga Mustofa baru saja selesai memeriksa Anissa. Perempuan itu berbaring lemah di atas ranjang seraya menatap nyalang langit-langit kamarnya yang bercat putih. Bekas darah di bibirnya sudah mulai mengering, namun masih sedikit biru dan bengkak. Rasa sakit pada fisiknya mungkin sudah sedikit membaik, namun tidak dengan rasa sakit dalam sudut kalbunya. Luka itu masih sangat terasa nyeri dan perih.

"Nona Anissa kelelahan dan sepertinya jiwanya sedikit terguncang. Saya sudah memberikan obat penenang dan obat pereda rasa nyeri untuk bibirnya. Oh ya ... selamat, Tuan. Nona Anissa akan segera menjadi seorang, Ibu," papar dokter Abla seraya tersenyum manis.

Mata Bilal membulat sempurna mendengarnya. "Ma--maksudnya dia ha--hamil?" tanya Bilal terbata-bata.

Dokter Abla mengangguk sebelum berujar, "Iya, Tuan. Usia kandungannya sudah menginjak minggu ke tiga, jadi tolong harus dijaga baik-baik. Jangan biarkan, Nona Anissa kelelahan apalagi sampai stress."

Bilal kehilangan kata-kata. Saat ini, ribuan bunga warna-warni seolah bermekaran dalam taman hatinya. Bilal mengucapkan ribuan syukur dalam hati seraya terus mengembangkan senyuman.

"Alhamdillah! Akhirnya kau hamil dan aku akan menjadi seorang, Ayah!" pekik Bilal kegirangan.

Hati Anissa berembun melihat wajah cerah Bilal yang tidak dingin seperti kemarin. Anissa melengkungkan senyuman melihat mata Bilal yang berkilat senang. Dalam sekejap mata, rasa sakit hatinya menghilang ditelan angin. Hati Anissa sudah berdebar, ia bersiap-siap jika Bilal akan memberikan sebuah kecupan bahagia di keningnya. Namun ...

Dia tidak memeluk Anissa, dia tidak mencium kening Anissa. Bilal memutar badannya dan malah menghampiri istrinya yang lain.

Yasmeen duduk di kursi rodanya dengan mata yang berbinar. Setelah sekian lama, akhirnya Bilal akan mempunyai seorang anak yang sangat didambakannya.

"Yasmeen, kau akan segera menjadi seorang, Ibu! Anissa sedang mengandung anak kita, buah cinta kita. Kita akan mempunyai anak, Sayang." Bilal merengkuh tubuh Yasmeen dalam dekapan. Bilal mengecup puncak kepala Yasmeen yang polos dengan segenap cinta dan sayang.

"Aku akan segera mencarikan nama yang bagus untuk anakmu, Sayang." Bilal mengecup singkat bibir Yasmeen dengan gemas. Ia sama sekali tidak peduli jika ada sepotong hati yang terbakar melihatnya.

"Jangan dulu. Kita bahkan belum mengetahui apa jenis kelaminnya," ujar Yasmeen.

Bilal tersenyum geli sebelum berujar, "Kau benar. Mungkin aku terlalu bahagia hingga sangat buru-buru seperti ini." Bilal menangkup kedua pipi Yasmeen. "Bersiap-siaplah untuk segera menggendong anak kita."

Anissa mengigit bibir bawahnya dengan bahu yang berguncang. Perempuan rapuh itu diabaikan. Hatinya retak melihat Bilal dan Yasmeen yang tengah bersuka cita atas kehamilannya. Pemandangan itu menyadarkan Anissa, bahwa dia berada di Yordania memang hanya sebagai istri bayaran Bilal saja. Bilal tidak mencintai Anissa. Anissa meimringkan badannya memunggungi Bilal dan Yasmeen. Tangan lemahnya menyusup dalam baju yang ia kenakan untuk mengelus perutnya yang masih rata. Di sana sudah ada anak Bilal, anak Anissa.

"Dia anakku!" gumam Anissa dengan isak yang tertahan. Anissa menggigit selimut dengan sangat kencang. Air mata Anissa luruh menumpahkan segala kepedihan hatinya.

Ibu ... seandainya, Ibu tahu! Hati Anissa pedih, Bu.

****

Yasmeen tengah berkutat di dapur bernuansa putih yang sangat luas. Walaupun dia memakai kursi roda, perempuan beriris hijau terang itu tidak pernah bermalas-malasan. Yasmeen sangat senang melakukan pekerjaan rumah, salah satunya memasak.

"Sayang, apa yang kau lakukan?" tanya Bilal dengan dahi yang berkerut.

"Aku sedang memasak shorbah addas untuk, Anissa."

Bilal duduk di atas meja bar dapur. Hidung mancungnya kembang kempis mencium aroma sup yang menyeruak dari dalam panci di atas kompor. Bilal tersenyum sangat manis. Dia tahu, jika Yasmeen yang memasak, rasanya pasti selalu lezat.

"Ini sangat baik untuk wanita hamil," tutur Yasmeen. Dia mulai mencampurkan semua bahan untuk dibelender sampai halus.

Shorbah addas---terbuat dari kacang lentil merah, sari pati ayam, bawang bombay dan bawang putih akan memberikan rasa hangat pada perut Anissa. Sup ini biasa disajikan dengan sedikit perasan air lemon segar. Yasmeen tahu, Anissa pun sangat menyukai sup ini.

"Kau lagi sakit, Yasmeen. Tidak usah repot-repot seperti itu. Biarkan saja Maricar yang membuatkannya."

"Tidak, Bilal. Mulai sekarang aku yang akan menyiapkan semua makanan untuk, Anissa. Semuanya harus sehat dan bergizi, aku sama sekali tidak keberatan. Aku malah sangat senang melakukannya."

Bilal menghela napas pasrah sebelum memakan sebuah kurma muda yang tergeletak di atas piring.

"Masyaa Allah, hatimu sangat tulus, Nak. InsyaAllah surga menantimu." Lelaki tua itu tersenyum penuh arti pada menantu sekaligus putri dari sahabatnya.

Yasmeen adalah anak tunggal dari Elqadi dan Rauda. Kedua orang tuanya sudah lama meninggal. Itu sebabnya Mustofa sangat menyayangi Yasmeen seperti putri kandungnya sendiri.

"Terimakasih, Ayah. Amiin ... Insya Allah." Yasmeen tersenyum manis.

Satu mangkuk shorbah addas sudah siap di atas nampah berbentuk lonjong. Yasmeen memangkunya dengan sangat hati-hati. Maricar segera membawa Yasmeen untuk menuju lift khusus yang berada di dekat ruang tengah. Lift itu sengaja Mustofa sediakan untuk Yasmeen yang tidak bisa menuju lantai atas menggunakan tangga.

"Seharusnya kau belajar dari, Yasmeen. Dia sangat tulus memperlakukan Anissa dengan baik. Tidak sepertimu yang selalu kasar pada, Anissa!" tegas Mustofa.

Bilal mengangkat satu alisnya ke atas seraya mencibir kesal. Namun, Bilal enggan meladeni karena percuma saja. Berdebat dengan lelaki tua itu sudah pasti dirinya yang akan selalu kalah telak.

"Katakan! Apa yang kau lakukan pada, Anissa? Kenapa bibirnya sampai berdarah dan tubuhnya sampai menggigil kedinginan seperti itu? Dia lagi mengandung anakmu, Bilal. Bersikaplah baik padanya!"

"Anissa sangat susah diatur, Ayah! Kemarin dia jatuh dari atas unta sampai bibirnya mencium tanah. Sesampainya di rumah, dia malah mandi dan berendam air dingin." Bilal mendesis seraya bersidekap.

Cepret! Cepret! Cepret!

Pria itu menggaduh kesakitan saat sebuah benda panjang dan keras menghantam bahu dan punggungnya. Kali ini Mustofa tidak memukulnya menggunakan tongkat, namun sebuah pecut kuda. Memang Mustofa sudah siapakan sedarai tadi.

Bilal berusaha untuk menghindar namun Mustofa masih bisa mengejarnya.

"Ayah ...! Kenapa kau sangat suka memukuliku?"

"Kau memang layak, Bilal!! Kau kira aku akan percaya dengan kata-katamu ha? Ingat, hukum karma pasti akan berlaku. Kau akan menyesal karena sudah menyia-nyiakan Anissa. Rasakan ini! Dasar anak nakal...!!"

Cepret! Cepret! Cepret!

"AYAAAAHHH...!!"

***

Anissa duduk bersandar pada kepala ranjang dengan tatapan kosong. Pikirannya berkelana jauh. Anissa masih memikirkan bagaimana keadaan Akbar? Dia sudah menanyakan pada Reem, namun katanya Akbar tidak masuk kampus.

"Anissa ...." sapa Yasmeen sesampainya di tepi ranjang Anissa. Perempuan itu menggenggam tangan mungil Anissa dengan lembut.

"Kak," lirih Anissa sangat lemah.

"Makanlah, aku sudah memasak shorbah addas untukmu."

Anissa tertegun mendengarnya. Pantas saja Bilal sangat mencintai Yasmeen, perempuan itu bukan hanya wajahnya saja yang nyaris sempurna, namun hati dan sifatnya pun sangat cantik.

"Aku sangat merepotkanmu, Kak."

"Demi Allah, aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Ayo, makanlah." Yasmeen menyuapi Anissa dengan hati yang bergemuruh.

Aroma bawang yang menguar dari uap sup itu menggugah selera makannya. Anissa  memakan supnya sampai tandas.
"Terimakasih, Kak. Rasanya sangat lezat," ucap Anissa setulus hati.

"Syukurlah. Berjanjilah padaku untuk selalu menjaga dirimu dan bayi dalam kandunganmu." Yasmeen mengelus lembut perut Anissa dengan segenap rasa. "Berjanjilah, jangan pernah meninggalkan Bilal untukku!" pinta Yasmeen seraya terisak.

Anissa tercenung mendengarnya. Mata sendunya menatap wajah pucat Yasmeen tidak mengerti.

"Jika kau pernah berpikir bahwa aku sengaja memanfaatkan hutang Halimah agar kau menikah kontrak dengan Bilal, maka kau salah," papar Yasmeen seraya tersenyum getir.

Hati Anissa bergemuruh mendengarnya. Perempuan itu kehilangan kata-kata dan hanya mampu mengedipkan matanya.

"Itu hanya rencanaku saja untuk menjebak Bilal." Yasmeen mengeratkan genggamannya pada tangan Anissa.

Anissa membulatkan matanya sebelum bertanya, "Ma--maksudnya?"

Yasmeen melmpar tatapan hangat sebelum berujar, "Kau tahu kan sifat, Bilal seperti apa? Beberapa tahun sebelum kau datang ke sini, Halimah sering bercerita tentangmu. Kau gadis yang baik, kau tidak pernah mengeluh walaupun harus bersekolah sambil menjaga dan mengurus ketiga adikmu. Ibumu sampai menangis bercerita padaku waktu itu. Kau bahkan tidak menolak sedikit pun saat ibumu memintamu untuk menikah dengan Bilal, padahal kau masih sangat muda. Tapi kau rela mengorbankan masa depan dan kebahagiannmu demi membantu meringankan beban, Halimah. Hatiku terenyuh karenanya, Anissa. Aku tidak ingin Bilal menikah dengan wanita yang salah, maka dari itu aku memilihmu. Karena jika tidak dengan cara seperti ini, Bilal tidak akan pernah setuju." Yasmeen menyeka air mata yang terus meluruhkan kepadeihan hatinya.

Anissa menelan ludah perih mendengar penjelasan Yasmeen. Haru biru mengusik kalbunya yang terdlam, Anissa sangat tidak habis pikir jika hati Yasmeen setulus ini. Jika ia berada dalam posisi Yasmeen, Anissa tidak menjamin bisa setulus Yasmeen berbagi cintanya dengan perempuan lain. Anissa bertasbih dalam hati.

Di usianya yang masih belia, Anissa memang dituntut untuk bersikap dewasa demi menjaga dan mengurus ketiga adiknya. Kadang Anissa harus berdagang gorengan, menjadi buruh cuci dan buruh gosok baju sehabis pulang sekolah. Semua demi menambah uang jajan dan kebutuhan hidupnya dan ketiga adiknya. Anissa tidak ingin selalu merepotkan bibi Tiah. Uang Halimah selalu habis untuk membayar hutang-hutang mantan suaminya pada rentenir yang kadang setiap waktu selalu menagih ke rumah Tiah di kampung. Selain Dayat suka berjudi sabung ayam, pria paruh baya itu juga terlibat kasus penipuan penggandaan uang sampai ratusan juta rupiah. Sekarang Ayah Anissa itu pun menjadi buronan pihak kepolisian. Sampai detik ini, para korban yang besangkutan terkadang masih meminta ganti rugi pada Halimah di kampung. Namun, beruntung karena keluarga Mustofa selalu mengirimi uang pada Halimah di setiap bulannya untuk mencukupi kebutuhan Anissa dan ketiga adiknya sekolah. Bahkan, sekarang Halimah juga diberi modal untuk membuka usaha kecil-kecilan di rumah. Keluarga Anissa memang sudah banyak berhutang budi pada keluarga Mustofa.

"Aku ingin kau mendampingi, Bilal semumur hidupmu. Agar aku bisa merasa tenang saat ajal datang menjemputku. Umurku sudah tidak lama lagi, Anissa." Bahu Yasmeen berguncang menahan sesak dalam dada.

Yasmeen akan segera meninggalkan Bilal---suami yang sangat dicintainya. Walaupun hatinya sangat berat, dia harus ikhlas melepas Bilal untuk Anissa dengan keteguhan jiwa.

Ikhlas memang tidak semudah perkataan lisan. Namun, selama ini Yasmeen sudah berusaha untuk bersabar dan mencoba untuk merelakan.

Nyatanya, setiap yang diinginkan oleh makhluk-Nya. Terkadang tidak selalu sejalan dengan takdir Allah. Kenyataan tidak selalu seindah khayalan. Allah selalu menyimpan sebuah rencana dan hikmah di balik setiap cobaan.

"Kumohon jangan bicara seperti itu, Kak. Kau akan baik-baik saja sampai anak, Tuan Bilal lahir. Kau yang akan membesarkan anak ini." Ibu jarinya menyeka air mata Yasmeen yang terus berjatuhan menuruni pipi cekungnya yang pucat. Anissa pun tidak sanggup menahan kepedihan hatinya, ai matanya pun ikut meluruh.

"Berjanjilah padaku, Anissa," pinta Yasmeen sekali lagi. Wajah basah dan bibir birunya terlihat sangat memelas. "Kau harus yakin bahwa, Bilal sangat mencintaimu."

"Jika dia mencintaiku, tidak mungkin dia melakukan semua kekejaman ini padaku." Anissa menangkup wajah seraya terisak. Hatinya seperti disayat-sayat jika teringat semua perlakuan Bilal selama ini.

"Bilal seperti itu karena dia cemburu. Hanya saja dia tidak ingin mengakuinya."

Anissa tertegun mendengarnya. Apakah benar apa yang Yasmeen katakan? Mungkin, perempuan pemilik iris hijau itu hanya sedang ingin menghiburnya.

Bilal...

Sanggupkah aku bertahan untuk memperjuangkan cintamu?
Sedangkan hatimu sendiri sepertinya menolak untuk aku perjuangkan.

****

Maaf, di part ini sepertinya membosankan.😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro