12 | Kemelut Rasa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Madam. Ada paket untuk, Anda." Maricar memberikan sebuah amplop cokelat pada Yasmeen.

"Untukku?" Yasmeen menautkan kedua alis setelah menerimanya. Tidak tertera nama pengirim di amplop itu.

Yasmeen memutar kursi rodanya dengan tergopoh-gopoh. Dia menepi di bawah sebuah pohon tin rindang untuk berteduh. Silir angin yang berembus kencang siang itu, meniup kerudung putihnya yang menjuntai sebatas perut. Yasmeen menghela napas panjang sebelum membuka amplop itu.

"Astagfirullah!" Yasmeen membekap mulut.

Kedua matanya membulat sempurna melihat puluhan lembar foto Bilal dengan seorang wanita yang sangat ia kenali. Yasmeen melihat satu-persatu foto itu dengan tangan gemetar. Dalam gambar, Bilal terlihat memeluk wanita itu. Bahkan ada foto Bilal yang tengah berbaring di atas sofa dan posisi wanita itu berada di atas tubuh suaminya.

"So--so--raya." Lidah Yasmeen membelit.

Wanita itu datang lagi, wanita yang dulu nyaris saja membuat Yasmeen dan Bilal bercerai. Sahabat yang telah menghiananti dirinya dengan begitu licik dan kejam. Wajah pucat Yasmeen semakin pasi. Bahunya bergetar menahan sesak yang menghimpit dada. Yasmeen meremas bagian jantungnya yang seperti tersengat aliran listrik secara tiba-tiba.

"Anissa dan Bilal baru saja baikan, Anissa tidak boleh melihat foto-foto ini. Anissa tidak boleh tahu."

****

Anissa dan Bilal berjalan beriringan membelah hamparan kebun kurma yang terletak di dekat pusat kota Irbid. Bilal sengaja membawa Anissa jalan-jalan sebagai bentuk permohonan maafnya karena telah berbuat kasar pada Anissa dan Akbar beberapa hari yang lalu.

Tanah seluas sepuluh hektar itu terlihat ramai oleh para petani yang berlalu-lalang di sekitar kebun. Di antara mereka ada yang tengah sibuk memanjat pohon untuk memanen kurma yang telah matang. Sebagian petani sibuk mengunjal kurma  menggunakan kereta kuda, bahkan ada juga yang memanggulnya di pundak. Biasanya, Bilal akan mengekspor kurma-kurma itu ke Dubai dan Qatar.

Anissa menunduk saat seorang petani kurma memberi sapaan hormat pada Bilal.

"Ayo, jangan malu-malu." Bilal menarik tangan Anissa. "Kau memang sudah sangat memalukan!" cibir Bilal seraya terkekeh.

Anissa mendelik tajam menatap wajah tanpa dosa yang selalu Bilal pamerkan. Kenapa semakin hari pria tua ini semakin menjengkelkan? Tangan Anissa bergerak untuk mengusap-usap perutnya yang masih rata. Amit-amit jabang bayi!

"Kenapa?" tanya Bilal.

Anissa mengangkat kedua bahunya sebelum menjawab, "Tidak apa-apa."

"Aneh." Bilal mendesis. Pria itu mengambil beberapa kurma muda dari salah satu pegawainya. "Makanlah. Ini sangat manis dan bagus untuk kesehatan."

"Tapi itu masih mentah," ujar Anissa.

"Makanlah dulu. Kau belum pernah mencobanya bukan?"

Anissa membeku saat Bilal menempelkan sebuah kurma kuning keemasan pada bibirnya. Anissa pun perlahan menggigit buah kurma yang bertekstur renyah itu seraya tersipu. Anissa menyecap lidah merasakan manis dan segar yang menjalar di tenggrokannya secara perlahan.

"Manis sepertiku, bukan?" Bilal tersenyum sangat manis seraya melempar tatapan hangat.

"Sangat manis." Anissa mengulum senyum seraya menggamit lengan kokoh Bilal.

"Tuan."

"Hmm ...."

"Kau mempunyai banyak harta, tapi aku tidak pernah melihatmu bersedekah sekalipun? Apa kau---"

"Besedekah atau tidak, apakah aku harus memberitahumu?" interupsi Bilal. "Kau tahu, ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari, Allah SWT di hari kiamat kelak. Salah satunya adalah seseorang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi. Rosullullah SAW mengisyaratkan, seseorang yang bersedekah menggunkan tangan kanannya sampai tangan kirinya itu pun tidak mengetahui." Bilal melirik Anissa melakui ekor matanya. "Boleh juga bersedekah secara terang-terangan untuk memberi contoh, seperti zakat wajib misalnya."

Bibir ranum Anissa membulat sempurna mendengarnya. Dahinya pun mengkerut dalam, ia tidak menyangak dengan perkataan Bilal barusan. "Tumben sekali perkataanmu lurus, Tuan."

"Ha, apa katamu?" Bilal mengangkat satu alisnya ke atas.

"Ti--tidak apa-apa." Anissa mengangkat bahu dan segera berjalan gontai mendahului Bilal seraya mengulum senyum.

Di balik sikap Bilal yang kasar dan otoriter, tentunya pria rupawan itu juga mempunyai sifat positif yang memang jarang Bilal pamerkan. Bilal pun suka menginfakkan hartanya di jalan Allah SWT dalam diam. Bahkan, saat ini Bilal juga tengah membangun masjid dan sekolah di Pelestina dan Suriah. Konflik yang terus bergulir di dua Negara tersebut membuat dadanya sesak dan prihatin.

****

"Aku baru tahu jika, Tuan mempunyai peternakan kuda." Anissa melebarkan senyumnya. 

Bilal mengambil sejumput rumput hijau yang terlihat segar dalam keranjang. "Ini hanya salah satu hobiku saja. Saat aku merasa jenuh, aku memang sering datang ke sini untuk berkuda atau sekedar memeberi mereka makan."

Anissa membulatkan mulut sebelum mengangguk. "Aku jadi ingin naik kuda. Sepertinya akan sangat menyenangkan."

"Tidak boleh. Kau sedang hamil, aku tidak ingin kau sampai terjatuh." Bilal mencuci tangannya setelah selesai memberi makan kuda jantan hitam kesayangannya.

Anissa melengkungkan kedua sudut bibirnya ke atas dengan sempurna. "Tuan, menghawatirkanku?" tanyanya antusias.

"Tidak. Aku hanya menghawtirkan anakku!" tegas Bilal sebelum melenggang pergi.

"Dasar, Unta tua bangkotan!" Anissa menggentakkan kakinya kesal. Perempuan itu mendesis sebelum memutar badan. Anissa berjalan berlawanan arah dengan Bilal.

Kandang kuda milik Bilal terletak tidak jauh dari perkebunan kurma miliknya. Hanya ada lima ekor kuda jantan dan sepuluh ekor kuda betina di sana. Kuda-kuda itu bernaung dalam bangunan kokoh yang terbuat dari kayu jati. Kandangnya terlihat bersih dan tidak berbau. Terlihat juga beberapa tumpukan jerami kering di sekitar kandang tersebut.

Anissa berjinjit saat dia ingin memberi makan kuda betina putih yang sedari tadi menarik atensinya. Anissa membeku saat tiba-tiba tangan besar seseorang memeluk pinggangnya. Jantung Anissa melompat saat tubuhnya melayang tinggi di udara.

"Kau memang sangat pendek," ledek Bilal seraya mengeratkan dekapannya.

"Lebih baik pendek daripada tinggi tapi menyebalkan sepertimu!" cibir Anissa mengundang kekehan dari bibir Bilal.

Degup jantung Anissa semakin meletup-letup saat Bilal menempelkan pipinya yang dihiasi bulu halus pada pipi Anissa. "Tuan ..., turunkan aku!" rengeknya dengan hati yang berdesir.

Bilal mengulum senyum meliaht reaksi Anissa yang tampak salah tingkah dibuatnya. "Kita makan siang sekarang," ajaknya setelah menurunkan Anissa.

Anissa mengangguk dengan pipi semerah tomat. Hati Anissa berbunga melihat ekspresi wajah Bilal yang secerah mentari pagi. Walaupun sifat menyebalkan Bilal masih mendarah daging, namun Anissa tetap bersyukur dengan keramahannya hari ini.

Bilal merangkul pundak Anissa dan mengajaknya duduk di atas tikar yang telah tergelar sempurna. Mereka bernaung di bawah pohon buah aska dunya yang rindang dari teriknya mentari siang ini. Tidak lama kemudian, seorang pria bersorban merah datang menghampiri mereka dengan sekantung plastik di tangan kanannya. Bilal memang menyuruh pegawainnya untuk membawakan makanan dan minuman untuk mereka.

"Ini pesanannya, Tuan," ujar pria berjanggut lebat itu. Ekor matanya melirik Anissa dengan tatapan mengagumi.

"Dia, Istriku!" tegas Bilal seraya melempar tatapan berang.

"M--aaf, Tuan. Tapi aku tidak bertanya."

"Memangnya kenapa kalau kau tidak bertanya, ha? Aku hanya ingin memberi tahumu kalau dia Istriku, jadi kau tidak perlu menatapnya seperti itu. Cepat pergi!" Bilal mendesis dengan rahang yang mengeras. 

"I-iya, Tuan!" ujarnya sebelum pergi terbirit-birit.

Anisaa tersenyum geli melihatnya. Dia segera membuka plastik berisi makanan tersebut dan memberikannya pada Bilal.
Sandwich falafel---roti dengan isi irisan tomat dan kacang hummus goreng menjadi menu makan siang mereka hari ini. Tekstur hummus goreng yang padat di dalam namun renyah di luar itu rasanya sangat lezat, membuat Anissa semakin lahap memakannya. Padahal sebelum berangkat, perempuan hamil itu sudah makan nasi di rumah. Mungkin itu bawaan bayi dalam kandungannya yang membuat napsu makannya bertambah dua kali lipat.

"Bisa tidak kalau makan jangan belepotan seperti ini, hm?" Bilal menyeka sisa saus dari ujung bibir Anissa menggunakan ibu jarinya.

Anissa membeku merasakan sentuhan lembut Bilal. Wajahnya yang putih pun telah berubah merah jambu dan memanas. "Aku sangat suka sandwich falafel." Anissa menunduk malu saat tangan besar Bilal mengusap puncak hijab putihnya.

"Anissa."

"Iya, Tuan."

"Aku ingin berbicara sesuatu dengamu." Bilal berdehem pelan sebelum melanjutkan ucapannya, "Aku ...."

Anissa menautkan kedua alisnya menatap wajah Bilal yang terlihat tegang dan merah. "Tuan, sakit perut?" interupsinya.

"Tidak!" sanggah Bilal cepat.

Hati Anissa berdesir saat Bilal meremas kedua telapak tangannya. Anissa mendongak untuk balas menatap iris cokelat terang Bilal yang sehangat rembulan. "Apa yang ingin, Tuan katakan?"

Bilal mengusap wajah. Dia menghirup oksigen sebanyak-banyaknya sebelum berucap. Kali ini, dia harus mengutarakan sejuta rasa yang berkecamuk di palung hatinya. "A--aku ... aku cin---"

Dering ponsel yang bergetar membuat Bilal meloncat. Ia segera mengambil benda pipih itu dari saku celananya. Bilal langsung menggeser tombol terima---sebuah panggilan dari Maricar.

"Hallo," sahut Bilal.

"Tuan, Madam Yasmeen!"

"Ada apa dengan, Yasmeen?"

"...."

"APA KATAMU?"

Bilal tersedak mendengarnya. "Yasmeen ...!" Ponsel yang menempel di daun telinganya terjatuh begitu saja. Ekspresi wajahnya pun berubah sangat kusut dalam sekejap mata. Pria itu segera berdiri dari dududknya dan mengambil langkah seribu meninggalkan Anissa tanpa permisi.

"Tuan ...! Apa yang terjadi dengan, Kak Yasmeen?" tanya Anisaa pada angin. Anissa melempar tatapan sendu pada punggung Bilal yang telah menjauh dari jangakauan matanya.


Bilal ...

Ada apa denganmu? Aku tidak mengerti dengan sikapmu yang terkadang berubah sesuka hati.
Beberapa detik yang lalu kau mampu membuat rasaku melambung tinggi ke atas awan. Namun, kini kau hempaskan hatiku dalam sekejap mata.

Ya, Allah. Serumit inikah kemelut rasaku mencintai hamba-Mu?

****

😂😂😂😂

Aku bingung mau ngomong apa lagi?

Udah ah, semoga tidak pernah bosan membaca cerita gaze ini.

Foto-foto di bawah aku repost ulang ya, teruntuk yang kemarin penasaran dengan sup kacang lentil itu seperti apa? ArsyilaAview si Neng geulis...

Sandwich falafel yang tadi Anissa makan nih.

Sorbah addas/sup kacang lentil khas Libanon.

Ini biji kacang lentil merah yang belum di olah.

Khubz jet wa za'atar

Khubz/roti Arab yang original.

Oke cai cien...!

Sie-sie Nimen...😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro