13 | Nestapa Cinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"YASMEEN ...! BUKA MATAMU---"

Suara Bilal nyaris hilang di balik masker hijau yang ia kenakan. Sudah satu minggu Yasmeen terbujur kaku di ruang ICU. Hidupnya kini tergantung pada takdir dan peralatan medis khusus dengan kabel-kabel yang menempel di sekujur tubuhnya. Dokter sudah memvonis bahwa kesempatannya untuk melewati masa kritis sangatlah tipis. Foto-foto Bilal dengan Soraya yang dilihatnya waktu itu membuatnya terkena serangan jantung hingga berakhir koma.

Bilal mengusap wajah pucat Yasmeen dengan tangan gemetar. "Sayang, bangunlah kumohon. Kau sudah tidur terlalu lama. Apa matamu tidak lelah?" tanyanya dengan isak yang tertahan.

Mata Yasmeen terpejam sempurna. Alat ventilator yang terhubung melalui lubang hidung dan mulutnya menjadi pasokan udara untuk Yasmeen bernapas saat ini. Monitor yang menampilkan grafik kinerja organ tubuh Yasmeen pun semakin melemah, terlihat dari gambar jig-jag yang nyaris membentuk garis vertikal pada layar tersebut.

"Yasmeen ...." Bilal menggenggam erat telapak tangan istrinya. Bahunya berguncang hebat, air matanya pun berjatuhan meluapkan sesak dalam dada.
Rasa sesal menyergap hatinya. Seandainya waktu itu dia tidak mengajak Anissa jalan-jalan, mungkin Yasmeen tidak akan seperti ini. Bilal mengutuk dirinya sendiri yang akhir-akhir ini lebih memperhatikan Anissa daripada Yasmeen.

Di luar ruangan, Anissa hanya bisa menatap iba punggung suaminya lewat kaca tembus pandang. Anissa mengelus dada. Semenjak Yasmeen koma, pria itu bahkan tidak peduli pada kesehatannya sendiri. Bilal tidak mau makan, kurang tidur, terlihat dari lingkaran hitam di bawah garis matanya yang begitu kentara. Dia kehilangan semangat hidupnya. Jiwanya sangat terpukul, Anissa tidak pernah melihat sosok Bilal serapuh ini sebelumnya.

"Anissa, sebaiknya kau istirahat. Pulanglah, Nak. Kasihan anak dalam kandunganmu, biar Bibi saja yang menemani Bilal di sini," ujar Fatimah---adik Mustofa. Wanita paruh baya itu mengelus pundak Anissa dengan lembut.

"Ibuku benar. Ayo, aku akan mengantarmu pulang," ajak Omar.

"Tidak, Bi, Tuan Omar. Aku akan tetap di sini menemani suamiku," ucap Anissa penuh keyakinan. Bilal pasti membutuhkannya di saat-saat seperti ini. Walaupun Bilal selalu saja membentak dan menyuruhnya untuk pulang. Anissa tidak peduli.

Semua pasang mata menoleh ke arah pintu ruang ICU yang baru saja terbuka. "Tuan," panggil Anissa khawatir.

Bilal berjalan sempoyongan. Tungkai kakinya terasa lunglai tak berdaya, hampir saja tubuh kekarnya ambruk ke lantai kalau saja Omar tidak menahannya dengan sigap.

"Bilal, kau sangat kelelahan istirahatlah. Tidurlah sebentar," titah Omar merasa prihatin. Pria berambut hitam itu memapah Bilal untuk duduk di atas kursi yang tersedia di depan ruang ICU.

"Bangunkan Yasmeen untukku. Aku tidak bisa hidup tanpanya," gumam Bilal dengan sangat payah. Bilal mencengkeram kerah kemeja Omar dengan tangan gemetar. "Yasmeen ..., Yasmeen," racaunya menyayat hati Anissa.

Anissa membekap mulut untuk menahan isak yang ingin meledak dari bibirnya. Dia tidak sanggup melihat kondisi Bilal seperti ini. Ya, Allah! Sadarkanlah Kak, Yasmeen untuk suamiku. Biarkan aku saja yang sakit, mungkin Tuan tidak akan menderita seperti ini.

****

Langkah pelan membawanya tepat di samping Yasmeen yang masih betah dengan tidur panjangnya. Anissa tersenyum getir, hatinya pedih melihat keadaan Yasmeen yang seperti ini.

"Kak, kumohon bangunlah. Tuan, sangat membutuhkanmu. Bangunlah! Kak," pinta Anissa penuh harap seraya meluruhkan air matanya. "Aku sedang mengandung anak, Tuan Bilal. Bukankah kau sangat menginginkan anak ini? Aku ikhlas memberikan anak ini untukmu, jadi kumohon bangunlah! Aku tidak sanggup melihat Tuan tersiksa seperti ini. Tuan, sangat mencintaimu ...," sambungnya seraya terisak pilu.

"Anissa!" Suara berat itu membuat Anissa menoleh ke arah pintu.

"Sudah berapa kali aku peringatkan padamu? jangan mendekati Yasmeen, kau sedang hamil. Aku tidak ingin bayi dalam kandunganmu terkena virus. Kau sangat susah dikasih tahu!" Bilal yang baru saja selesai shalat maghrib di mushola rumah sakit terkejut melihat Anissa sudah berada di ruang ICU bersama Yasmeen. Bilal menarik tangan Anissa agar menjauh dari Yasmeen, sehingga tubuh perempuan itu pun terhuyung dan hampir saja terjatuh.

Prang!

Dentingan suara benda jatuh terdengar begitu nyaring membentur lantai putih rumah sakit. Sebuah pisau runcing kecil yang terlihat tajam dan mengkilat. Pisau itu terjatuh dari dalam saku jaket yang Anissa kenakan.

Iris cokelat Bilal sontak melebar sempurna, warnanya pun berubah merah dan berang.

"K-KAU...!"

Anissa membekap mulut menggunakan kedua tangannya. Dia mundur satu langkah saat Bilal mendekatinya dengan rahang yang mengeras.

"Apa kau ingin membunuh Yasmeen?" tanya Bilal seraya menggertakkan gigi gerahamnya.

"APA KAU INGIN MEMBUNUH YASMEEN DENGAN PISAU INI HA? KURANG AJAR KAU, ANISSA! KETERLALUAN!"

Anissa menggeleng cepat. "Ti-tidak, Tuan." Matanya membulat sempurna, degup jantungnya pun berdetak tidak karuan. "T--tidak, Tuan. Aku--"

Plak! Sebuah tamparan pedas mendarat di pipi Anissa yang tirus. Anissa mengerjapkan mata, dia memegangi pipinya yang terasa perih dan panas. Hati Anissa tertohok. Untuk pertama kalinya Bilal menamparnya sekasar ini.

Bilal mendesis. Dia memasang wajah garang. "Dasar tidak tahu diri! Munafik! Yasmeen sangat baik kepadamu, tapi apa yang kau lakukan ha? Kau malah ingin membunuhnya? Jawab aku! JAWAB!" Bilal menjambak rambut Anissa yang tertutupi hijab berwarna kuning dengan sekuat tenaga.

"JAWAB AKU, ANISSA ...!"

"Tidak, Tuan. Demi Allah! Tidak ada sedikit pun rasa benci di hatiku pada, Kak Yasmeen. Mana mungkin aku tega melakukan itu padanya. Aku tidak tahu ke-kenapa pisau itu ada di dalam saku jaketku?" Anissa memejamkan mata dengan tubuh gemetar, saat Bilal menghunuskan ujung mata pisau itu tepat di depan wajahnya.

"SEBELUM KAU MEMBUNUH YASMEEN, AKU YANG AKAN MEMBUNUHMU, ANISSA! AKU SANGAT KECEWA PADAMU! AKU SANGAT MEMBENCIMU, ANISSA! KAU PEMBUNUH! WAJAH POLOSMU ITU TERNYATA HANYA SEBUAH TOPENG!"

Bilal hampir menusukkan pisau tajam itu tepat ke mata Anissa kalau saja tangan besar seseorang tidak mencegahnya.

"Istighfar, Bilal! Anissa sedang mengandung anakmu." Omar segera melempar pisau itu ke sembarang arah dengan napas tersengal-senggal. Kalau saja dia tidak datang tepat waktu, entah apa yang akan tejadi pada Anissa? Omar tahu betul, Bilal itu sesadis apa? Dia tidak pernah pandang bulu untuk menghabisi siapa pun orang yang ingin melukai Yasmeen.

Omar melirik ke arah Anissa dengan tatapan tidak mengerti. Dia tidak menyangka Anissa selicik itu? Pria itu sudah menghubungi pihak kepolisian. Bilal yang menyuruhnya tadi.

Duapuluh menit kemudian, beberpa lelaki berseragam polisi Yordania pun datang untuk menangkap Anissa.

"TUAN ...!" Anissa beringsut menghampiri Bilal. Dia memeluk kaki Bilal dengan sangat erat. Dia mendongak menatap Bilal dengan sangat memelas. "Tuan, aku bukan pembunuh. Percayalah padaku!" sambungnya seraya terisak.

"Lepaskan kakiku!" Bilal menghempaskan kakinya, hingga tubuh mungil Anissa pun terlempar memebentur tembok.

Anissa meringis kesakitan memegangi pelipisnya yang mulai mengucurkan darah. Darah itu perlahan mengalir menyusuri pipinya, memerahi hijab kuningnya. Ia segera berdiri dan menghampiri Mustofa yang tengah menatapnya dengan penuh kekecewaan.

"Sido ... kumohon percayalah padaku. Aku tidak ingin membunuh, Kak Yasmeen ...!" Anissa meraih tangan Mustofa, berharap ia akan memepercayainya. Namun ... lelaki tua yang selama ini membelanya pun mengunci suaranya. Bahkan Mustofa memalingkan tatapannya dari wajah Anissa.

"Bibi Fatimah, ... aku bukan pembunuh!" Anissa menarik lengan Fatimah dengan sangat payah. Hatinya pedih saat wanita paruh baya itu pun menghempaskan tangannya.

"Tuan Omar, aku tidak bersalah! kumohon percayalah padaku ...." Suara Anissa nyaris hilang.

Semua orang mengunci mulut. Tidak ada yang percaya pada ucapan Anissa. Tidak ada satu orang pun yang membela Anissa. Anissa menelan ludah perih dengan luka hati yang menganga. Anissa pasrah saat kedua polisi berbadan kekar itu menggamit kedua pergelangan tangannya, lalu memborgolnya. Tubuh mungil Anissa ditarik secara paksa dan kasar.

"Aku tidak bersalah! Kumohon lepaskan aku! Lepaskan ..., Tuan---" Anissa menoleh ke belakang. Wajah basahnya terlihat merah dan sangat memelas.

Bilal, Omar, Mustofa dan Fatimah, mereka semua melemparkan tatapan sinis pada Anissa yang tidak tahu apa-apa tentang pisau itu. Anissa dijebak.

Anissa menjerit. Anissa meronta dan berteriak membela dirinya sendiri. Tidak ada yang peduli. Polisi-polisi itu pun seolah tidak punya hati nurani. Mereka tetap menyeret tubuh Anissa dengan sangat kasar, padahal Anissa sudah mengatakan bahwa dirinya tengah hamil muda. Kepala Anissa berdenyut-denyut. Sesaat, perutnya pun bergolak mual dengan sekujur tubuh yang lemas tak berdaya.

Tenanglah, anakku! Kau akan baik-baik saja, Ibu akan selalu menjagamu. Tenanglah, Sayang ...

****

Di atas lantai semen yang keras, tubuh Anissa meringkuk lemah. Rasa dingin menyergap tubuhnya yang sudah mengenakan baju tahanan. Dia tidur hanya beralaskan tikar tipis yang sudah sangat lusuh. Bahkan beberapa kali perempuan hamil itu menggaruk-garuk badannya karena merasa gatal. Bau apek yang menyeruak dari selimut tipis yang menutupi tubuhnya pun membuat Anissa mengerutkan hidung dan bersin-bersin.

Anissa menatap nanar jeruji besi yang menjulang tinggi di depannya. Air matanya kembali berjatuhan tanpa jeda. Bahunya berguncang menahan beban berat yang menghimpit dadanya. Anissa tidak pernah menyangka, perjuangannya akan berakhir di dalam penjara seperti ini.

Kedatangannya ke Yordania tadinya hanya untuk melunasi hutang-hutang ibunya. Anissa ingin meringankan beban berat yang selama ini Halimah pikul seorang diri. Namun, rasa cinta yang ia jatuhkan pada Bilal malah membuatnya tersiksa seperti ini.

Tuan ... tidakkah kau merasa kasihan kepadaku? Aku ini sedang mengandung anakmu ...!

Anissa menggigti jemari tangannya menahan isak yang memilukan. Kedua matanya yang sudah sangat terasa pedih dan panas terpejam dengan sempurna. Penerangan di dalam bilik penjara sangat minim dan mencekam. Membuat bulu kuduk permpuan hamil itu meremang dengan perasaan was-was.

"Ibu ...," gumam Anissa.

Badai cobaan yang menerpa seolah tidak pernah mengizinkan hati Anissa untuk beristirahat dari rasa sakit. Rasa cintanya pada Bilal selalu saja membuat kedua matanya berair dan perih.

Begitu hinakah aku, Tuan? Tidak pantaskah aku bahagia? Aku sangat mencintaimu ...

Anissa sedang hamil muda, bahkan tidak pernah merasakan dimanjakan oleh suami. Mengelus dan menciumi perutnya pun, Bilal belum pernah melakukannya sama sekali.

Bilal ...

Apakah ini akhir dari kisahku?
Perjuanganku untuk mendapatkan cintamu?

Haruskah aku mati dan terkubur dalam kubangan nestapa cinta yang kugali sendiri?

****

😭😭😭😭

Semoga feel-nya ngena.

Siapa hayoh... yang naruh pisau di dalam saku jaket Anissa?

A. Kamu
B. Pak RT
C. Jin Tomang
D. Dedemit😂

Aku mau mengucapkan, minal aidzin walfaidin untuk semuanya. Mohon maaf lahir dan batin.😊❤

Salam sayang dari Aa Bilal yang kejam. 😅😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro