14 | Hatiku Lelah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sel tahanan berukuran 4×4 meter itu hanya dihuni oleh enam narapidana wanita, termasuk Anissa. Rambut mereka putih, wajah mereka tampak kusam dan dekil. Selain meratapi diri, aktivitas tahanan hanyalah makan dan tidur. Terkadang mereka tertawa sendiri, menjerit dan bahkan menangis tanpa alasan yang jelas. Biasanya mereka menghilangkan jenuh dengan bermain kartu atau mencari kutu.

Anissa duduk seraya memeluk kedua lututnya. Tatapannya kosong. Dia tidak menghabiskan semangkuk bubur jatah sarapan paginya. Sudah dua minggu dia mendekam di sana. Anissa ingin pulang.

"Hei! Kalau kau tidak mau makan, berikan saja jatahmu untukku!" teriak narapidana asal Lebanon dengan lantang.

Anissa menatap sekilas wajah wanita berpipi tebal di hadapannya. Rambut putihnya yang keriting tergeari menutupi sebagian wajahnya.

"Ambil saja," ujar Anissa.

"Bagus!"

Wanita itu langsung menyambar mangkuk bubur dari tangan Anisaa. "Sudah, kau makan angin saja! Sepertinya kau juga sudah bosan untuk hidup."

Seketika kekehan renyah pun menggema di dalam bilik penjara tersebut. Padahal tidak ada kejadian yang lucu sama sekali.

Suara besi yang berderit nyaring membuat jantung Anissa hampir copot. Seorang polisi jaga berwajah tegas tampak mengedarkan pandangannya.

"ANISSA!"

"Ya!" Anissa berdiri dari duduknya dan menghampiri polisi itu.

"Ikut denganku! Ada yang ingin menjengukmu," titahnya.

****

"Reem ...!"

Air mata Anissa tidak mampu terbendung lagi kala melihat wajah sahabatnya.

"Bagaimana kabarmu?" tanya Reem.

"Alhamdulillah, seperti yang kau lihat."

Reem menempelkan bokongnya pada sebuah kursi kayu yang berseberangan dengan Anissa.
Sebuah kaca tembus pandang menjadi penghalang di antara mereka. Sementara untuk berbicara, mereka menggunakan telepon khusus yang telah disediakan. Sepasang iris birunya berkaca-kaca, dadanya sesak melihat pipi Anissa yang semaki tirus.

"Aku datang bersama Akbar dan Arshad. Mereka juga ingin menjengukmu," tutur Reem seraya mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas.

Anissa tertegun. Garis bibirnya mendadak kaku. Pandangan matanya beralih pada dua sosok pria yang baru saja memasuki ruangan pembesuk. Setelah sekian lama tidak bertatap wajah, Akbar terlihat lebih kurus dari sebelumnya.

Reem bangkit dari duduknya dan memberikan tempatnya untuk Akbar. Reem mengerti, pasti ada hal yang ingin Anissa dan Akbar utarakan satu sama lain. Gadis Gaza itu tahu, jika Akbar sangat mencintai Anissa. Reem pun memeilih mundur dan melucuti cintanya.

"Reem, sini! " ajak Arshad. Dia mengedipkan satu mata genitnya bermaksud menggoda.

"Diam kau! Apa yang kau inginkan? Kau sangat menyebalkan. Dasar jelek!"

Reem mendesis lalu kembali fokus menatap layar ponsel miliknya. Pria bertompel itu memang selalu saja mengganggunya.

Arshad mencebikkan bibir. Dia membuang pandangnnya ke arah Akbar dan Anissa yang sepertinya sedang dilanda rasa canggung.

"Ak---aku mau minta maaf sama, Kak Akbar."

"Reem sudah nyeritain semuanya sama aku. Aku ngerti kok, kamu enggak bermaksud berbohong. Awalnya aku memang kecewa, tapi aku sama sekali tidak pernah marah apalagi benci sama kamu," ujar Akbar sambil meramu senyum manisnya.

Tatapan Akbar mengunci sepasang iris hitam Anissa yang berair. Pria berambut ikal itu menahan napas, hatinya ikut pedih melihat penderitaan Anissa. Seandainya Anissa memilih cintanya, dia bersumpah tidak akan pernah menyakiti Anissa seperti itu.

"Kamu yang sabar ya, Niss! Aku akan mengadakan penggalangan dana di kampus dengan teman-teman. Kami ingin menyewa pengacara untuk membela kamu di persidangan nanti," tutur Akbar.

"Jangan, Kak. Aku enggak mau kejadian waktu itu terulang. Tuan Bilal pasti akan sangat marah dan memukulimu lagi."

Akbar mengembuskan napas panjang hingga dadanya ikut mengembang. Jika Anissa sudah meminta seperti itu, dia tidak bisa memaksanya.

"Semoga Allah memeberimu jalan yang terbaik, Nis."

****

Konten dihapus. Part selanjutnya lengkap 》》》

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro