15 | Separuh Jiwa yang Hilang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aroma obat-obatan tercium sangat menyengat sesampainya Bilal di rumah sakit. Gurat lelah terlukis jelas di wajah tegasnya. Matanya pun terlihat layu. Hati kecil Bilal menjerit, ia tidak tega membiarkan calon anaknya harus tumbuh dan terlahir di dalam penjara. Ini semua karena Anissa, perempuan itu sudah menghianati kepercayaannya, melukai hatinya dan membuat calon anaknya terlunta.

"Kenapa kau tega melakukan ini padaku, Anissa?" gumam Bilal.

Degup jantung Bilal berdebar-debar saat langkahnya berhenti tepat di depan ruang ICU. Tampak beberapa saudara Mustofa dan Yasmeen berdiri di sana dengan wajah sendu mereka. Kedua lututnya gemetar. Sesaat, perasaan cemas pun mulai menguasai hatinya.

"Apa yang terjadi pada Yasmeen?" tanya Bilal panik.

Semua orang mengunci mulut dan hanya melayangkan tatapan iba pada Bilal.

Tangisan Fatimah semakin pecah saat Mustofa menariknya dalam pelukan. Wajah lelaki tua itu pun tidak bisa menyembunyikan rasa sedihnya. Mustofa meluruhkan air matanya.

"APA YANG TERJADI? KENAPA KALIAN SEMUA DIAM?"

Tangan Bilal mengepal kuat. Dia mencengkeram kerah kemeja Omar yang tengah tertunduk menyenderkan badannya pada tembok. "Apa yang terjadi dengan Yasmeen? Katakan, Omar!" gertaknya.

"Tenangkan dirimu, Bilal. Dokter sedang menangani istrimu. Berdoalah," pinta Omar lembut.

Bilal membalikan badan untuk mengintip ke dalam ruang ICU lewat kaca tembus pandang. Matanya membulat sempurna melihat beberapa dokter yang tengah mengerubungi tubuh Yasmeen. Berkali-kali tangannya menggedor pintu ICU dengan sangat keras. Dia hendak menerobos masuk, namun tangan Omar menahannya.

"Kita tunggu di sini saja," saran Omar. Pria itu menarik tangan Bilal dan menyuruhnya untuk duduk.

Peluh bercucuran dari pelipis dokter yang tengah berkutat dengan alat pemompa jantung. Beberpa kali tubuh Yasmeen mengejang dan terpental ke atas lalu jatuh lagi ke atas ranjang.

Kedua mata Yasmeen melebar sempurna. Lehernya seperti sedang disayat-sayat oleh sebuah pisau gerigi tajam secara perlahan. Sakit dan perih tiada terkira, Yasmeen sedang meregang nyawa. Batinnya menjerit, memohon pada sang Khaliq agar bisa tinggal lebih lama lagi. Dia tidak ingin meninggalkan cintanya. Dia tidak ingin jauh dari Bilal. Namun seberkas cahaya terang mengajak jiwanya melayang. Sehingga Yasmeen pun memejamkan mata untuk selama-lamanya.

Bunyi nyaring menggema di ruangan ICU. Dokter Mazen melirik ke arah monitor di samping kanan pasien. Layar pipih itu menampakan grafis kinerja organ tubuh Yasmeen yang sudah membentuk garis vertikal. Dokter Mazen segera memeriksa denyut urat nadi Yasmeen. Pria paruh baya itu menghela napas panjang. Dia membuka masker yang semula menutupi hidung dan mulutnya.

"Innalillahi wainnailaihi rojiun." ucapnya setulus hati yang diikuti oleh dokter lainnya.

Tidak lama kemudian pintu ruangan ICU terbuka lebar, menampakkan wajah dokter Mazen yang tertunduk dalam.

"Bagaimana keadaan istriku, Dokter?" Bilal mengguncang-guncang bahu dokter Mazen.

"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Tuan. Tetapi Allah berkehendak lain." Dokter Mazen menghela napas. "Nyonya Yasmeen ... tidak bisa kami selamatkan."

"Innalillahi ...!" Semua orang membekap mulut. Dalam hitungan detik isak tangis pun pecah dalam ruangan serba putih itu.

"YASMEEN ...!"

Bilal berlari menghampiri Yasmeen dengan tergopoh-gopoh. Emosinya kian memuncak saat seorang dokter wanita mulai melucuti satu-persatu peralatan medis yang semula menempel di tubuh Yasmeen.

"Jangan lakukan itu pada istriku! Hentikan ...! Dia masih hidup! Kumohon hentikan! Yasmeen buka matamu, Sayang ...! YASMEEN BUKA MATAMU ...!"

Dokter wanita tadi mundur beberapa langkah menjauh dari jenazah Yasmeen. Dia menunduk, hatinya ikut teriris merasakan sedu sedan kelaurga Mustofa yang memilukan.

Bilal berteriak histeris. Kata-kata yang terlontar dari bibirnya sangat kacau. Bilal mengguncang-guncang tubuh Yasmeen yang sudah kaku. Masker oksigen pun sudah tidak terpasang lagi, menampakan wajah pucat dan bibir Yasmeen yang biru. Bilal menelan ludah. Bahunya berguncang seiring isak tangis yang lolos dari bibirnya. Kepergian Yasmeen telah membawa separuh jiwanya menghilang.

"YASMEEN ...!"

****

Di bawah kolong langit yang mulai menyelimuti dirinya dengan warna jingga, silir angin sore berembus sangat kencang. Seolah ikut menebar kepedihan pada hati setiap orang yang mengantarkan Yasmeen pada peristirahatan terakhirnya. Isak tangis dan doa-doa yang saling bersahutan memenuhi tempat pemakaman itu, menambah rasa pilu di hati Bilal semakin menjadi.

Di antara ratusan pelayat yang mengenakan baju serba hitam, wajah tirus Soraya terlihat semringah. Di balik kaca hitam yang bertengger di puncak hidungnya, kedua matanya berkilat senang.

Akhirnya, kedua perempuan sialan itu sudah berhasil aku lenyapkan! Tinggal satu langkah lagi, Bilal Abu Nab'a akan menjadi milikku seutuhnya.

Sepasang mata Omar sempat menangkap sesuatu yang mencurigakan, satu alisnya terangkat ke atas. Soraya dan Maricar saling menatap dan melempar seyum. Mereka berdua berdiri berseberangan. Sedangkan Omar berdiri di tengah-tengah mereka.

Aneh! Sejak kapan pembantu itu kenal dengan Soraya?

Bilal terisak, air matanya tidak berhenti mengalir. Di atas pusara itu terpajang bingkai foto Yasmeen. Dia sedang tersenyum dengan iris hijaunya yang berbinar. Mata itulah yang selalu Bilal puja, mata teduh yang selalu menenangkan hati Bilal. Mata indah yang penuh damba. Kini ... Bilal tidak akan dapat melihatnya lagi, tidak akan dapat merasakan kenyamanan bersamanya lagi.

"Kenapa kau begitu cepat meninggalkanku? Yasmeen ...! Bahkan anak kita belum lahir. Bukankah kita sudah berjanji untuk membesarkan anak itu bersama-sama? Tapi kenapa kau tidak mau menunggu? Kenapa kau pergi? Yasmeen ...!" Bilal mencengkeram tanah merah yang masih basah itu dengan kedua telapak tangannya.

"Yasmeen ...! Bawa aku pergi bersamamu!" Tangisan Bilal sangat payah dan memilukan.

"Ikhlaskanlah, Bilal! Allah sudah memberikan tempat yang terbaik untuk Yasmeen, insyaAllah. Mari kita berdoa agar segala amal ibadahnya diterima di sisi Allah." Mustofa menepuk-nepuk pudak Bilal dengan lembut.

"Mungkin ini yang terbaik untuk Yasmeen. Dia sudah sangat menderita melawan penyakitnya selama ini. Yasmeen sudah beristirahat dengan damai," timpal Omar menenangkan. Omar berusaha untuk mengajak Bilal berdiri, namun tangan lemah pria rapuh itu menepisnya.

Bilal ingin tetap tinggal. Dia tidak ingin beranjak, dia hanya ingin menemani Yasmeen. Wanitanya itu sangat takut sendirian. "Biarkan aku sendiri di sini," pintanya lirih.

Omar dan Mustofa menghela napas pasrah, Bilal memang keras kepala. Satu-persatu para pelayat pun mulai beranjak meninggalkan area pemakaman. Meninggalkan Bilal seorang diri yang masih setia menabur bunga-bunga di atas pusara istri tercintanya sambil terus terisak.

"Sabarlah, Sayang." Suara itu membuat Bilal menoleh. Soraya melempar senyum ke arahnya.

Bilal tetap bergeming. Wajahnya pun berubah masam saat Soraya tiba-tiba duduk di sampingnya.

Soraya mengusap lembut punggung Bilal. "Aku akan selalu ada untuk menemanimu. Biarkan Yasmeen beristirahat di tempatnya sekarang. Ayo kita pulang," ajaknya.

"Pergi!" Bilal melempar tatapan tajam pada Soraya.

"Sayang ...," rajuknya manja.

"PERGILAH SORAYA ...! TINGGALKAN AKU SENDIRI!"

"Sayang, kau---"

"PERGI ATAU KUKIRIM KAU KE NERAKA SEKARANG JUGA, SORAYA!"

"Bilal ...!"

Soraya mengacak rambut panjangnya merasa frustrasi. Dia bedecak kesal dan segera bangkit dari duduknya. Kenapa sangat susah sekali mencairkan hati beku Bilal? Dari dulu, sikapnya selalu kasar dan dingin. Awas saja kau, Bilal!

****

Anissa membeku saat iris hitamnya bertemu dengan mata tajam itu. Perempuan itu tidak menyangka jika seseorang yang sedang menjenguknya adalah dia.

Dua hari setelah kepergian Yasmeen, Bilal sangat terpukul. Dia ingin melampiaskan kesedihannya pada Anissa.

"Puas kau sekarang?" tanya Bilal tiba-tiba.

Anissa menautkan kedua alisnya. "Apa maksudmu, Tuan?"

"Yasmeen sudah meninggal ...!" Bibir Bilal bergetar.

"A---apa? Kak Yasmeen ... meninggal?" Anissa membekap mulut dengan mata yang membulat sempurna. "Innalillahi ...!"

"Puas kau sekarang, ha?"

Anissa menggeleng cepat hingga air matanya berjatuhan. "Astagfirullah ...! Tidak, Tuan! Kenapa kau sangat tega menuduhku seperti itu?"

"Bukankah dari dulu kau memang ingin membunuhnya? Puas kau sekarang? Kau sudah menghianatiku! Menghancurkan hatiku! PUAS KAU, ANISSA ...!"

Bilal menghantam meja kayu yang berada di depannya. Napasnya memburu, dadanya naik turun menahan emosi.

Dari dalam bilik penjara, Anissa mengurut dada. Sekujur tubuhnya bergetar menahan sesak di dadanya.

"Terserah apa katamu, Tuan! Aku lelah meyakinkanmu. Aku menyangkal pun kau tidak pernah percaya padaku. Aku sangat menyayangi Kak Yasmeen. Mana mungkin aku tega untuk membunuhnya?" Hati Anissa semakin perih.

"Jangan mengelak. Sudah jelas pisau itu ada di dalam saku jaketmu, Anissa!" Bilal mendesis. "Oh ..., atau kau memang menginginkan hartaku, iya? Aku tidak heran, kau memang miskin! Itu sebabnya kau ingin membunuh Yasmeen. Benarkah begitu?"

Astagfirullah haladzim wa'atubu ilaih ... Anissa memejamkan matanya yang terasa panas dan perih. Dia tersenyum getir.

"YA, AKU INI ORANG MISKIN! MURAHAN! BAHKAN AKU RELA MENIKAH KONTRAK DENGAMMU HANYA DEMI MELUNASI HUTANG IBU! DAN AKU RELA MENJUAL ANAKKU SENDIRI PADAMU! AKU IKHLAS, TUAN ...! AKU IKHLAS MEMBERIKAN ANAK INI UNTUKMU DAN KAK YASMEEN! TAPI APA? KAU MALAH MENUDUHKU INGIN MEMBUNUH KAK YASMEEN? UNTUK APA AKU MEMBUNUHNYA, TUAN? UNTUK APA? KATAKAN ...!"

Bilal menelan ludah. Tidak pernah dia melihat Anissa sekacau ini. Lidahnya membelit. Begitu terlukakah Anissa dengan semua kata-kata yang dia ucapkan barusan?

Suara Anissa nyaris hilang. Dia menelan ludah. Tenggorokannya kering dan perih. Ia berjalan mendekati kaca pembatas seraya menyeka air matanya.

"Untuk mendapatkan cintamu?Selama ini ... kau bahkan selalu bersikap kasar padaku. Kau tidak pernah memberikan cintamu untukku. Ya, aku tahu. Kau memang hanya mencintai Kak Yasmeen. Dan bodohnya aku, aku tetap diam. Aku tetap diam dan bersabar mempertahankan pernikahan kontrak ini, ya! Semua karena aku sudah terlanjur jatuh cinta padamu, Tuan Bilal Mustofa Abu Nab'a!" Anissa melemparkan tatapan sinis pada Bilal. Matanya sudah merah dan membengkak.

"BAHKAN KAU TEGA MENJEBLOSKANKU KE PENJARA PADAHAL AKU SEDANG MENGANDUNG ANAKMU! DARAH DAGINGMU! AKU DIHUKUM SEBERAT INI ATAS KESALAHAN YANG SAMA SEKALI TIDAK PERNAH KULAKUKAN, TUAN! DI MANA LETAK HATI NURANIMU? KAU SANGAT KEJAM!"

Anissa menahan napas. Dia memukuli bagian dadanya sendiri, dia mengadu. Untuk kali ini saja, biarkan Bilal tahu sisi terburuk dari Anissa. Hatinya sudah sangat rapuh. Dia ingin membuncahkan segala rasa yang selama ini menggerogoti dadanya.

"Aku bertahan karena aku mencintaimu, tidak peduli seberapa kasar sikapmu padaku. Aku mencintaimu, Tuan ...!" Anissa tersenyum manis. Air matanya terus mengalir tanpa jeda. Banyak. Air matanya sangat banyak.

Lidah Bilal mendadak kelu. Air matanya pun perlahan meluruh. Dia membuang pandangan ke arah lain. Sejahat itukah dia selama ini? Tapi pisau itu?

Tatapan mata mereka saling terkunci. Wajah basah Anissa terlihat begitu memelas. Tidak ada lagi yang ingin dia ucapkan. Percuma saja, hati suaminya terlalu keras untuk diluluhkan. Anissa tidak ingin hatinya semakin terkoyak, dia membalikkan badan dan melangkah pergi. Meninggalkan Bilal yang mematung dengan perasaan yang hancur lebur.


Bilal ...

Mungkin ini saatnya aku menutup buku catatan ini. Mengakhiri kisah di antara kita.

Maaf, bukannya aku tak mau lagi memeperjuangkan cintamu. Tapi, hatimu sendiri yang tidak ingin aku perjuangkan.

Aku menyerah, bukan berarti aku pengecut. Hanya saja, hatiku sudah lelah. Ya, lelah akan sikapmu, Bilal.

Lelah karena harus memperjuangkan cinta ini sendirian.

****

Mau ngucapin makasih banyak sama Kak, Astuti. Saran dan kritiknya sangat membangun. Aku hampir menyerah untuk melanjutkan cerita ini, tapi beliau selalu menyemangati.

Buat kalian juga, para readers dan teman feed back yang lain, makasih banget lho ya😂😘. Jangan pernah bosan untuk membaca cerita ini sampai akhir.

Aku tanpa kalian hanyalah butiran debu.

Buat yang suka baca cerita bergendre sad romance. Yuk, intipin work Kak astuti-setiawati. Judulnya SENANDUNG RIANA. Keren banget ceritanya, di sana ada Aa Prmudya yang sifatnya 180 drajat terbalik dengan Aa Bilal yang kejam. 😂


Entah kenapa lihatin foto Babang dua ini, Dedek jadi mules. Gigi ampe hampir kering karena ngakak mulu 😅😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro