16 | Fakta Menyayat Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Maafkan aku, Kak Yasmeen. Aku tidak bisa memenuhi janjiku untuk tetap menjaga Tuan. Dia tidak menginginkanku, dia tidak mencintaiku," racau Anissa dengan isak yang tertahan.

Anissa berdiri di tepi jendela kamarnya. Tatapan matanya lurus ke arah hamparan kebun zaitun di bawah sana. Bayang-bayang saat dia dan Bilal bermain salju bersama masih terekam jelas di pelupuk matanya. Anissa tersenyum sangat manis, namun kini kenyataan telah menyayat hatinya tanpa berbelas kasih. Anissa menghela napas sebelum memutar badannya. Seketika, tatapannya langsung terkunci dengan sepasang iris cokelat terang Bilal yang sangat dingin. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan raut wajah yang sulit Anissa baca.

"Cepat kemasi pakaianmu. Ahmeed sudah menunggumu di bawah." Bilal melempar tatapan sinis.

"Aku sudah selesai." Anissa menggigit bibir bawahnya. Dia segera menggeret koper hitam miliknya dengan perasaan hancur.

"Bagus! Aku pun sudah tidak ingin melihat wajah munafikmu  di rumah ini lagi." Bilal mendesis.

Hati Anissa patah. Bilal memang sudah mencabut gugatan hukum yang diajukannya pada Anissa. Namun, Bilal melakukannya hanya demi anak yang dikandung Anissa saja. Anissa sudah dibebaskan, namun hingga detik ini, Bilal masih menganggap bahwa Anissa memang sengaja ingin membunuh Yasmeen waktu itu.

Kedua kaki mungilnya yang pendek mendadak lumpuh di depan Bilal. Tinggi badan Anissa hanya sebatas dada bidang Bilal saja. "Tuan, aku---"

"Setelah kau melahirkan ... aku akan mengirimkan surat gugatan cerai untukmu," interupsi Bilal.  "Kau tenang saja, aku akan tetap mengirimimu uang untuk anakku di setiap bulannya," sambungnya menusuk hati Anissa.

"Tuan ...." Anissa membekap mulut. Sebenci itukah kau padaku?

"Pergilah!" bentak Bilal. Pria itu membuang pandangannya ke arah lukisan abstrak jingga yang menggantung di dinding kamar.

Bilal menyembunyikan mata merahnya yang sudah menggenang air mata. Rasa kecewa dan benci masih setia menyelimuti hatinya yang keras. Bilal mengutuk kekejaman yang dunia lakukan kepadanya. Pusara Yasmeen bahkan masih basah, luka atas kehilangan itu masih menganga dan sangat perih. Kini, perempuan yang sangat dicintainya pun telah menyayat-nyayat hatinya hingga sangat tipis. Sampai kapan pun, Bilal tidak akan pernah melupakan bagaimana kejamnya Anissa saat dia mencoba untuk membunuh Yasmeen.

"Tuan ...."

Bilal terkesiap, satu alis tebalnya terangkat ke atas saat tangan lembut Anissa menarik tangannya.

"Untuk pertama dan terakhir kalinya kumohon ... belailah anakmu ini sekali saja. Dia sangat merindukan kasih sayang ayahnya." Anissa memelas, dia membawa tangan Bilal ke atas perutnya yang sudah sedikit menonjol. Usia kandungannya kini sudah menginjak dua bulan.

Bilal tidak bisa lagi membendung kepedihan hatinya. Air matanya luruh menuruni rambut halus di sekitar rahang tegasnya. Pria itu mengusap lembut perut Anissa dengan tangan yang gemetar. Astagfirullah ... ayah macam apa aku ini? Bahkan anak ini tidak berdosa sama sekali. Namun sedikit pun aku tidak pernah memedulikannya.

Dalam hitungan menit, tatapan mereka pun saling terkunci dalam. Wajah Bilal dan Anissa telah banjir air mata. Detik berikutnya, Bilal segera menarik tangannya dari atas perut Anissa dengan sangat kasar.

"Cepat Pergi!" titah Bilal parau.

"Tapi, Tua---"

"Pergi!" bentak Bilal.

"Tu---"

"Pergi kataku!"

Anissa membekap mulut dengan bahu yang berguncang. Ia menelan ludah perih sebelum berucap, "Jika memang ini yang kau inginkan. Mulai saat ini, aku--aku---akan berusaha untuk melupakanmu."

"Bagus! Memang itu yang kuharapkan, karena secepatnya aku akan menikah lagi," ujar Bilal menjungkir balikan dunia Anissa.

Anissa tersedak. Dia melempar tatapan sendu dengan wajah yang sangat memelas. "Ka---kalau begitu, semoga kau bisa bahagia dengan istri barumu nanti." Anissa tersenyum sangat getir.
"Terima kasih karena kau telah memberikan kehidupan baru dalam rahimku. Aku berjanji akan menjaganya meskipun tanpa dirimu!" tegas Anissa dengan hati yang rapuh. Dia segera menyambar kopernya dan melenggang pergi dengan tergopoh-gopoh.

Anissa tidak menoleh ke belakang. Di setiap jejak langkah yang ia tinggalkan, Anissa akan mencoba untuk melucuti rasa cintanya pada Bilal. Walaupun dia sendiri tidak yakin jika hatinya mampu mengindahkan. Rasa cintanya pada Bilal sudah terpatri sangat dalam di dasar jiwa.

"Pecundang!" Bilal menendang pintu. Kepalan kedua tangannya semakin menguat. Hatinya pedih menatap punggung Anissa yang perlahan menghilang dari pandangan. Kenapa kau memaksaku untuk melakukan semua ini, Anissa? kenapa?

****

"Jaga dirimu dan cucuku baik-baik." Mustofa mengelus lembut puncak kepala Anissa yang dilapisi hijab merah jambu.

Anissa mengangguk dengan wajah yang sangat memelas. "Jaga juga dirimu baik-baik, Sido. Aku akan sangat merindukanmu." Anissa menghambur dalam dekapan Mustofa. "Terima kasih atas semuanya. Ma--afkan---An--issa---" Anissa membekap mulut dengan lidah yang membelit.

"Aku sudah memaafkanmu, Anissa. Sudahlah ...!" Mustofa menghela napas panjang. Hati kecilnya memang masih kecewa pada Anissa. Namun, dia sudah terlanjur sangat menyayangi menantunya. Mustofa  mengantarkan Anissa sampai ke depan gerbang dengan hati yang bergemuruh.

Anissa mematung di depan gerbang kediaman Mustofa yang sangat megah. Perempuan itu tidak pernah menyangka jika semuanya akan berakhir secepat ini. Anissa akan kembali ke kampung halaman membawa anak Bilal. Ia harus bersiap mendengar segala asumsi yang akan tetangganya lemparkan. Anissa hanya mampu menerima takdir yang telah tertulis untuknya.

Kepala Anissa menyembul di balik jendela mobil yang melaju lamban. Hati Anissa pedih melihat Mustofa yang tengah melambaikan tangan kepadanya. Anissa segera menarik kepalanya dan menutup jendela. Perempuan malang itu membakap mulut. Air matanya berjatuhan meluruhkan sejuta rasa. Bahu Anissa berguncang menahan sesak yang menghunjam dada.

Tadinya Anissa ingin berjuang untuk memenangkan cinta Bilal demi anaknya. Namun pada kenyataannya, jerit tangis perempuan lemah itu pun tiada berguna. Seribu cara telah Anissa coba untuk membela diri, namun tiada orang yang percaya. Semua orang masih menganggapanya ingin membunuh Yasmeen. Kini, dia benar-benar harus pergi untuk menata hati. Anissa harus mengubur sejuta kenangan yang pernah tercipta bersama Bilal. Kedua mata Anissa terpejam sempurna. Hatinya menjerit, memohon pada sang Khaliq agar dihapuskan segala rasa.

Ahmeed yang duduk di kursi kemudi hanya mampu menatap iba dari kaca spion. Hati pria paruh baya itu ikut teriris seolah merasakan kepedihan Anissa. Sebenarnya Ahmeed tidak ingin percaya jika Anissa memang bersalah.

"Bersabarlah ... kau harus kuat  demi anakmu," ujar Ahmeed.

Anissa menyeka air matanya sebelum berujar, "Iya, Paman."

****

"Anissa sudah diusir oleh Tuan Bilal, Madam!" seru Maricar di balik ponsel yang menempel di telinganya.

Anissa?

Kedua mata Bilal melebar sempurna mendengarnya. Pria itu baru saja sampai di ambang pintu dapur untuk mengambil minum. Rasa penasaran mengusik hatinya, Bilal bergegas menyembunyikan badannya di balik pintu untuk mencuri obrolan Maricar.

"Iya, Anissa memang sangat bodoh! Bahkan dia tidak menyadari kalau aku menaruh pisau itu ke dalam saku jaketnya." Maricar terkekeh-kekeh.

Bilal tersedak. Sesaat, kedua lututnya pun gemetaran. Perkataan Maricar yang baru saja ia dengar telah meruntuhkan dunianya dalam sekejap mata. Jadi ... selama ini Anissa tidak bersalah?

"Jadi, Nyonya bisa langsung kirimkan saja upah yang dijanjikan ke rekening suamiku di Filipina."

"MA ... RI ... CA ... A ... RRR!"

Erangan Bilal yang mengerikan menggema dalam dapur yang sangat kuas itu.

"Tu--tuan!"

Maricar memebelalak. Ponsel dalam genggamannya menggelinding begitu saja.
Pembantu asal Filipina itu mundur beberapa langkah saat Bilal menghampirinya dengan tatapan berang.

Maricar memekik kesakitan saat
kedua tangan besar Bilal mencekik lehernya dengan sangat kencang. "A--am--pun."

"Bajingan kau, Maricar! Kenapa kau melakukan ini pada, Anissa ha? Kenapa?" Bilal menggertakkan gigi gerahamnya. "Siapa yang menyuruhmu? Katakan!"

Maricar kehilangan kata-kata. Napasnya tersekat di kerongkongan. Dia pikir, Bilal sudah tertidur dalam kamarnya. Bilal Juga tidak biasanya datang ke dapur di pertengahan malam seperti ini.

"KATAKAN MARICAR! ATAS DASAR APA KAU SAMPAI TEGA MEMFITNAH ANISSA SEPERTI ITU HA? JAWAB AKU JAHANAM! JAWAB!"

Desiran darah Bilal mendidih. Jiwa psikopat melompat-lompat dalam dada, menyuruhnya untuk segera menghabisi pembantu kurang ajar itu.

"Kau ... sudah membuatku membenci, Anissa! Kau sudah membuatku menjadi suami dan ayah yang sangat kejam! Keterlaluan kau, Iblis! Kau harus membayar semuanya! Kau harus mati, Maricar! MATI ...!"

Wajah putih Maricar berubah merah. Perempuan berambut bob itu terbatuk-batuk. Kedua bola matanya nyaris saja keluar dari tempatnya. Kedua tangannya yang bebas merayap-rayap menelusuri meja bar dapur untuk mencari sesuatu. Maricar tersenyum miring saat ia berhasil menggenggam gagang pisau yang biasa dia gunakan untuk memotong daging. Tatapan Maricar menggelap, rasa takut membuat akal sehatnya menjadi kalap.

JLEBB!

Kedua mata Bilal melebar sempurna. Degup jantungnya seolah berhenti berdetak saat ujung mata pisau itu menembus bagian perutnya. Bilal mundur satu langkah seraya memegangi perutnya yang berlubang. Cairan kental merah pun perlahan terburai menuruni celana kremnya, hingga memerahi lantai marmer putih dapurnya. Pandangan Bilal menggelap. Bau amis darah segar pun sesaat menusuk indra penciumannya.

Adegan demi adegan saat Bilal menuduh Anissa, memaki dan memukul istrinya yang tengah hamil berputar-putar bagikan sebuah film. Tubuh Bilal tumbang bersimbah darah. Fakta yang baru saja ia ketahui sangat menyayat hati Bilal. Bilal terbatuk memuntahkan darah, sebelum akhirnya dia ditelan oleh kegelapan.

"An---niss--aa---"

Bilal ...

Kini tidak ada gunanya lagi aku berharap, kau sudah mengakhiri semuanya ... kau sudah membuangku!

Nyatanya, kau dan aku hanyalah potongan hati yang sudah retak. Yang tidak akan mungkin bisa disatukan lagi, semesta pun tidak merestuinya.

Kini ... semua tentang dirimu hanya akan tenggelam dalam genangan kenangan yang akan kukubur dalam-dalam.

Percuma, bila aku mengingatmu pun, hanya akan membuat luka hatiku semakin meradang.

****

 
Maaf, kalau semakin ke sini, alurnya jadi semakin aneh.  Aku merasa tidak PD sebenarnya.😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro