17 | Pohon Kerinduan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anissa tengah menikmati sejuknya angin senja yang menyapa kota Majalengka. Tatapannya tertuju pada hamparan perkebunan jagung milik bibi Tiah yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Halimah, bibi Tiah dan paman Samsul terlihat sibuk memanen jagung-jagung yang menyembul di antara dedaunan hijau yang panjang. Di sana juga terdapat beberapa pohon singkong, pohon cabai, pohon tomat dan pohon pepaya yang buahnya sudah mulai menguning.

Anissa duduk di atas sebuah ranjang rotan bambu kering. Ia berteduh di bawah sebuah pohon kersen yang rindang.
Gumpalan awan putih yang menghiasi cakrawala seolah membentuk siluet wajah Bilal yang tampan, membuat hati Anissa tersayat-sayat melihatnya.

"Tuan, Aku merindukanmu ...," bisik Anissa pada silir angin.

Sudah terhitung dua bulan lamanya Anissa berpisah dengan Bilal. Mustofa memang selalu mengiriminya uang dan menelponya hampir setiap seminggu sekali. Namun suaminya tidak pernah memberi kabar padanya, bahkan untuk menanyakan kabar anaknya pun Bilal tidak pernah.

"Kamu pasti kangen banget pengen dielus Ayah Bilal ya?" Anissa mengusap perutnya yang sudah membesar. Usia kandungannya kini sudah memasuki bulan keempat.

Bibir ranum Anissa tersenyum sangat manis, namun hatinya bergemuruh. "Sabar ya, Sayang. Ayah juga akan menengokmu kok. Ayah akan menggendongmu, memelukmu dan menciumimu dengan penuh kasih sayang."

Anissa menahan napas. Pada kenyataannya Bilal akan menceraikannya setelah ia melahirkan. Ia akan segera menjadi janda. Ya, janda muda yang sebentar lagi akan diperolok oleh para tetangganya. Saat ini saja kata-kata pedas silih berganti mengusik indra pendengarannya, menusuk hatinya yang bahkan sudah dipenuhi oleh jutaan luka yang masih menganga.

Mereka mengatai Anissa seorang wanita murahan yang hina. Anissa pelacur yang pulang dari Arab dengan berbadan dua. Anissa perempuan yang rela menjual keperawanannya hanya demi uang. Ya ... dan lihatlah sekarang, Anissa bahkan benar-benar sudah dibuang, dia dicampakan. Namun ... tidak seharusnya mereka menghakimi Anissa seperti itu tanpa mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi bukan?

"Apa pun jenis kelaminmu? Kamu harus sehat-sehat dalam perut Mamah, ya. Setelah kamu lahir, Ma--mah, ka--mu dan A--yah, kita akan bermain bersama-sama. Kita akan tinggal di Yor--dani--a." Anissa terbata-bata. Air matanya meluruh deras menunpahkan kepedihan yang menggerogoti dada.

Duh, Gusti nu Maha Agung! Kuatkanlah hatiku ya, Robbi ...

Saat ini Anissa hanya mampu memeluk kata ikhlas dan sabar. Hatinya memang lelah dengan semua cobaan ini, namun jerit tangisnya pun tidak akan pernah bisa menentang takdir Tuhan yang telah digariskan untuknya.

"Teteh, kenapa nangis?" tanya Adiba dan Arsyla bersamaan. Mereka adik bungsu Anissa yang kembar.

Anissa buru-buru menyeka wajah basahnya menggunakan ujung kerudungnya yang panjang. "Teteh enggak apa-apa. Cuma kelilipan anginnya kencang banget," ujarnya berdusta.

"Kok kelilipan air matanya sampai banyak kaya gitu?" tanya Arsyila dengan mata yang menyipit.

"Iya, sampai ingusan gitu lagi. Jelek banget!" ejek Adiba diiringi kekehan yang menggemaskan.

Anissa tersenyum samar tanpa menjawab. Ia memaklumi, si kembar memang masih anak-anak. Umur mereka baru tujuh tahun.

Azilika---putri kedua Halimah menggeleng pelan melihat kedua adik kembarnya merecoki Anissa. "Adiba ..., Arsyla! Jangan gangguin, Teteh Icha. Mendingan bantuin Ibu metikin jagung sana!"

"Iya, Teteh Lampir!" seru si kembar serempak seraya terbahak.

Azilika berdecak dan sudah berancang-ancang melepas sandal japitnya. "Dasar, Tuyul!"

Adiba menarik tangan Arsyla seraya menjulurkan lidah meledek kakaknya. Mereka segera berlarian membelah pepohonan jagung yang tingginya jauh melebihi tinggi badan mereka.

Azilika mendesis lalu mengambil duduk di sisi kakaknya. Ia membawakan secangkir teh hangat dan sepiring singkong kukus dengan parutan kelapa gurih di atasnya yang masih mengepul asap untuk Anissa.

"Ayo diminum mumpung masih hangat," titah Azilika lembut.

Anissa menerima secangkir teh dari adiknya seraya tersenyum. "Makasih, Kamu enggak minum?" tanyanya.

"Zili sudah minum di rumah sebelum ke sini."

Anissa mengangguk lalu meminum teh hangat beraroma melati itu secara perlahan. Rasa segar dan manis jambu seketika menjalari tenggorokannya, memberikan sedikit ketenangan pada hatinya.

Azilika melempar tatapan sendu pada Anissa. Apa yang sudah kakak iparnya lakukan sudah sangat keteraluan. Azilika tidak akan pernah memaafkan Bilal. Hatinya seperti dicubit-cubit melihat Anissa tersenyum sangat manis. Ia tahu, Anissa hanya sedang berpura-pura untuk tegar. Azilika tahu, kakanya tengah menyembunyikan sejuta luka di balik senyuman yang selalu ia pamerkan.

****

Pasca koma dan menjalani perawatan intensif selama dua bulan di Jerman, Bilal kini telah kembali ke Yordania. Luka bekas jahitan di perutnya memang sudah kering dan membaik. Namun tidak dengan luka batinnya, rasa penyesalan yang sangat dalam masih selalu menggelayuti hati dan pikirannya.

Kata 'kosong' adalah kesan pertama yang menyambutnya saat Bilal memijakkan kakinya di rumah berdesain ala Eropa milik Mustofa. Sejuta kenangan tentang Anissa dan Yasmeen seolah berputar-putar di depan matanya, menyayat hatinya. Kedua perempuan hebat itu telah pergi meninggalkannya. Mirisnya, semua itu terjadi karena kebodohannya sendiri. Bilal yang terlalu diperbudak oleh emosi dan selalu meninggikan ego dalam setiap menghadapi masalah rumah tangganya. Seandainya dia bisa memutar waktu, Bilal ingin memperbaiki semuanya. Sayangnya sang waktu tidak akan pernah berjalan mundur.

"ANISSA ... MAAFKAN AKU! AKU SUDAH TERLALU BANYAK MEMBUATMU MENANGIS! AKU INI MEMANG SUAMI YANG SANGAT KEJAM! MAAFKAN AKU ANISSA! MAAFKAN AKU, KUMOHON ...!"

Lutut Bilal gemetaran, ia terduduk lemas. "Anissa ..., aku sangat menyesal," desah Bilal parau seraya meluruhkan air mata kepedihan. Bilal menguatkan kepalan tangannya dan menghantam lantai marmer ruang tamu berkali-kali. Ia mengutuk kebodohan dirinya sendiri.

"ANISSA ...! AKU SANGAT MERINDUKANMU!"

Omar menggeleng, ia menghela napas melihat keadaan sepupunya yang sangat memprihatinkan. Pria itu segera membawa Bilal untuk beristirahat di dalam kamarnya. Semenjak siuman dari koma, hanya kata-kata itu yang terlontar dari bibir Bilal. Omar tidak habis pikir, kenapa pembantu sangat tega melakukan semua ini pada Bilal dan Anissa?

Saat malam kejadian itu, di kediaman Mustofa memang hanya ada Bilal, Maricar, Ahmeed, satpam dan tukang kebunnya---Subhi. Mustofa dan Fatimah sedang menginap ke rumah saudaranya di Palestina. Omar sendiri baru mengetahui kejadian tragis itu saat Ahmeed menelponnya. Saat itu Bilal sudah dilarikan ke rumah sakit, Omar bergegas menyusul ke sana. Anehnya, kata Ahmeed, pembantu asal Filipina itu pun ditemukan tewas bersimbah darah di samping tubuh Bilal.

Omar sempat bertanya pada Bilal tentang kematian Maricar, namun pria itu tidak mengetahuinya. Karena setelah tertusuk pisau Bilal memang kehilangan kesadarannya. Ahmeed dan Subhi pun tidak mengetahuinya. Omar sangat menyayangkan, di rumah sebesar itu Mustofa hanya memasang CCTV di ruang tamu, halaman depan dan halaman belakang saja. Omar merasa kesulitan untuk menyelidiki kasus yang sangat ganjil ini.

"Omar, kau harus mengantarku ke Indonesia," pinta Bilal penuh harap.

"Ya, baiklah. Tapi sekarang kau istirhat dulu, tenangkan hati dan ragamu." Omar membantu Bilal untuk berbaring di atas ranjang king size miliknya.

"Kenapa rasa penyesalan selalu datang di akhir waktu?" Tatapan Bilal menerawang kosong. Dia memeluk guling yang dulu dipakai Anissa dengan sangat erat. Sesekali Bilal bahkan menciuminya dengan penuh perasaan. Sehingga Omar pun tersenyum geli melihatnya.

"Jika rasa penyesalan datang di awal waktu, kau tidak akan pernah belajar dari kesalahanmu. Satu lagi, musibah ini mengajarkanmu betapa pentingnya kepercayaan dalam sebuah hububungan. Seharusnya kau tidak bertindak hanya menuruti emosi dan hawa nafsumu saja. Karena itu sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah."

Bilal mengedipkan mata. Dia mendengarkan perkataan seupunya dengan seksama. "Kau benar. Selama ini aku terlalu meninggikan egoku," ujarnya dengan sangat parau. Sesak yang menghunjam dadanya membuat air mata Bilal kembali meluruh deras. Kekejaman demi kekejaman yang pernah ia lakukan pada Anissa seolah menggerogoti palung hatinya sendiri. Hatinya pedih mengingat semua itu.

"Syukurlah jika kau sudah menyadarinya."

"Aku ingin secepatnya menemui Anissa. Aku ingin meminta maaf padanya. Dia pasti sangat membenciku sekarang. Aku ingin mengelus anakku. Aku ingin menebus semua kesalahanku. Aku harus membawanya kembali ke Yordania."

"Ya, bersabarlah, Bilal. Secepatnya akan kuurus tiket pesawat dan semua keperluannya," ujar Omar seraya berkutat dengan ponselnya.

"Aku ingin secepatnya. Kalau bisa harus besok," tegas Bilal mutlak dengan mata yang terpejam sempurna.

Omar mendesis. "Ya, ya, baiklah. Kau sungguh seperti bayi kecil yang minta disusui oleh ibunya saja. Tidak sabaran," cibir Omar. Omar heran, kenapa pria seperti Bilal selalu dipuja oleh banyak kaum wanita? Sedangkan Omar, di usianya yang sudah menginjak kepala tiga pun tidak ada satu wanita yang bersedia untuk menjadi istrinya. Omar merasa semesta tidak adil padanya, padahal ketampanannya pun tidak kalah dari Bilal.


Bilal ...

Pohon kerinduan yang kau tanamkan di dasar hatiku kini telah berbuah duka dalam penantian semu. Hingga aku tidak mampu lagi membendung lautan air mata setiap kali aku teringat padamu. Aku sangat merindukanmu ...

Aku tidak sabar ingin segera melahirkan anak kita, menggenggam tangan mungilnya. Pasti dia akan sangat lucu dan menggemaskan.

Seandainya dia bayi laki-laki, dia pasti akan sangat tampan sepertimu. Tapi, semoga saja sifatnya tidak akan menurunimu.
Jika dia bayi perempuan, kuharap dia akan cantik seperti, Kak Yasmeen. Kau pasti akan sangat menyukainya ...

****

Aku sudah kehilangan kata-kata. Maaf, di part ini hanya begini-begini saja. Di part selanjutnya, aku akan berusaha untuk begitu-begitu, deh. 😃😃

Semoga tetap suka. ❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro