18 |Dendam Soraya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Baby, kenapa kau sangat menggoda?" Soraya menggigit bibir bawahnya gemas.

Bilal terlelap di atas sofa ruang tengah dengan posisi terlentang. Sepulang dari resort, Bilal memang sibuk mengemas pakaiannya dan oleh-oleh untuk dia bawa pulang ke Indonesia nanti sore. Siang itu sinar mentari cukup terik. Sehingga Bilal yang kelelahan merasa nyaman untuk memejamkan mata sejenak di atas sofa kesayangannya yang berlapis emas.

Peluh yang membashi sekitar pelipis dan leher Bilal membuatnya semakin terlihat seksi di mata Soraya. Kaos putih ketat yang melekat di badannya mencetak jelas dada bidang Bilal dan perutnya yang berkotak enam. Wanita dengan bibir sensual itu menatapnya dengan penuh gairah. Soraya meramu senyum, lalu berjongkok di sisi Bilal untuk mengelus rambutnya.

"Baby ...."

Bilal bergerak gelisah. Namun kelopak matanya masih terkatup rapat. Dia ingin marah karena merasa terganggu, tapi rasa kantuk masih menggelayuti matanya. Akan tetapi, sesaat kemudian Bilal melompat ketika merasakan sesuatu yang lembab dan basah menyentuh bibirnya.

Soraya mencuri sebuah ciuman di bibir Bilal.

"SORAYA! APA YANG KAU LAKUKAN DI RUMAHKU?"

Mata cokelat terangny berubah berang. Tangannya meraih tisu di atas meja, lalu menyeka bibirnya dengan sangat kasar.

"Ayolah, Bilal. Jangan marah padaku," rajuk Soraya.

"Kau gila!"

"Ketampananmu yang membuatku mabuk dan gila seperti ini, Sayang. Jadi jangan menyalahkanku jika aku akan terus mengejarmu."

Bilal menggeleng. "Sepertinya kau harus segera dibawa ke rumah sakit jiwa."

Soraya berdecak kesal. Kemudiam dia duduk di samping Bilal dan segera memeluk lengan kokohnya agar pujaan cintanya tidak melarikan diri.

"Bilal ..., lihatlah dirimu. Kau sangat tidak terurus. Kau membutuhkan seorang istri, Sayang." Soraya menggerakkan jemarinya menelusuri rahang Bilal yang bulu-bulunya memang sudah terlalu lebat.

Bilal mendesis dengan rahang mengeras. Dia tidak mengerti, bagaimana caranya Soraya bisa keluar masuk rumahnya dengan sesuka hati? Setelah ini Bilal bersumpah akan memecat kedua satpam rumahnya yang tidak berguna sama sekali.

"Ayolah, Bilal. Menikahlah denganku," rajuknya seraya menyandarkan kepalanya di pundak Bilal. "Kau pasti akan sangat bahagia bila menjadi suamiku, karena aku akan memuaskanmu dan memanjakanmu."

"Jangan harap." Bilal berkata mutlak. Ekor matanya melirik wajah Soraya dengan malas. "Pulanglah dan jangan mengangguku lagi!" bentak Bilal.

"Tidak. Kali ini aku tidak akan melepaskanmu. Apa bagusnya anak pembantu itu dibandingkan dengan diriku, Bilal? Ayo kita menikah saja. Aku akan menjadi istri yang lebih baik dari Anissa dan Yasmeen," ucapnya penuh keyakinan. Kuku-kuku berkutek hitam dan tajam miliknya menancap sempurna di kulit lengan Bilal. Soraya bahkan menekankan kukunya kuat-kuat membuat pria itu memekik kesakitan.

"Hey ...! Hentikan!" Bilal menepis kasar tangan nakal Soraya. "Kau mau tahu, apa perbedaanmu dengan Anissa?" tanyanya dengan tatapan sinis.

Soraya menautkan kedua alisnya. "Apa?" tanyanya antusias.

"Di kamar mandi ruang tamuku terdapat cermin yang cukup besar. Pergilah ke sana dan kau akan menemukan jawabannya!" Bilal bangun dari duduknya. Dia mendengus, matanya menatap rendah ke arah Soraya.

Mulut Soraya membulat. Bilal  memang selalu sadis dan keterlaluan padanya. Hati Bilal sangat sulit untuk ditaklukkan. Namun Soraya tidak akan pernah menyerah, dia meramu senyum semanis mungkin dan kembali memeluk lengan pria itu dengan manja.

"Ayo, Bilal. Kita menikah saja besok, aku akan segera menyiapkan semuanya. Bagaimana kalau kita menikah di pantai Teluk Aqaba? Suasananya sangat indah dan romantis," usul Soraya penuh percaya diri.

"Dalam mimpi."

Bilal mendorong tubuh Soraya agar menjauh darinya. Sehingga wanita yang mengenakan dress merah dengan belahan dada rendah itu jatuh tengkurap di atas sofa. Bilal tidak ingin Soraya semakin menggila, dia segera melangkah pergi meninggalkannya.

"BIIILLAALL ...! AWAS KAU! AKU PASTIKAN SEBENTAR LAGI KAU AKAN SEGERA MEMASUKIKU ...!"

Empat tahun bukanlah waktu yang singkat bagi Soraya Mounder untuk mengejar cinta Bilal. Pertama kali mereka bertemu saat Yasmeen---sahabatnya mengenalkan Bilal sebagai calon suaminya. Pada waktu itu mereka bertiga masih kuliah di fakultas yang sama, di Eropa. Pesona Bilal, ketampanannya dan harta yang melimpah membuat Soraya jatuh cinta padanya pada pandangan pertama.

Seribu macam cara telah Soraya lakukan untuk membuat Yasmeen dan Bilal bercerai, tapi sialnya selalu gagal. Cinta Bilal pada Yasmeen begitu besar. Bahkan ... wanita itu tak segan-segan pernah mengakui pada Yasmeen bahwa dia mencintai suaminya. Soraya nyaris gila. Dia sempat menyerah dan pergi ke Eropa selama beberapa tahun. Saat seseorang mengabarinya bahwa Yasmeen menderita penyakit kanker serviks stadium akhir, Soraya  memutuskan untuk kembali lagi ke Yordania dan mengejar cinta Bilal. Tidak sia-sia, puluhan foto mesra dirinya dengan Bilal waktu itu sukses membuat Yasmeen terkena serangan jantung dan akhirnya meninggal. Sebagai sahabatnya, tentu saja Soraya tahu jika Yasmeen memang mempunyai riwayat penyakit jantung.

Soraya memiringkan senyum. Jemarinya yang lentik memainkan rambutnya yang panjang. Dengan milyaran Dinar yang ia miliki, apa pun bisa dia lakukan untuk mendapatkan Bilal. Uang memang merajai segalanya.

****

Dua orang pria berwajah Arab keluar dari pintu masjid yang berada di desa Jatitujuh. Bilal dan Omar baru saja selesai melaksanakan shalat shubuh berjamaah dengan warga setempat. Bermodal secarik kertas alamat rumah Anissa yang dia dapatkan dari berkas-berkas surat kerja Halimah waktu itu, akhirnya Bilal dan Omar bisa datang ke Indonesia.

Supir taksi yang mengantar mereka dari bandara BIJB Kertajati ( Bandara Internasional Jawa Barat ) itu tidak tampak lagi batang hidungnya. Padahal Omar sudah menyuruhnya untuk menunggu di area parkir. Miss comunication---mungkin itu penyebabnya. Ini pertama kalinya bagi Bilal dan Omar datang ke Indonesia apalagi ke tempat perkampungan seperti ini. Masalahnya saat ini adalah, mereka berdua sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia.

Sepasang kaki mereka menapaki jalanan aspal yang berlubang-lubang sambil menggeret koper besar. Hujan yang turun semalam menyisakan genangan air yang membuat jalanan itu menjadi sangat becek. Bau tanah pun masih tercium sangat lembut. Sesekali Bilal menggerutu kesal saat tak sengaja sepatu mahalnya terjebak genangan air yang sangat keruh. Sehingga celana jeans yang dia kenakan pun basah dan kotor.

"Aku tidak menyangka, ternyata Anissa semiskin ini. Rumahnya terletak di perkampungan seperti ini. Astagfirullah!" decak Bilal.

"Dan aku tidak menyangka, ternyata suami Anissa kejam sekali membiarkannya tinggal di tempat seperti ini. Allahhu Akbar!" sarkas Omar.

Bilal mendelik tajam. Sepupunya ini memang sangat pandai membolak-balikan kata. "Setelah ini aku akan membawa Anissa dan anakku kembali ke Yordania." Bilal mempercepat langkah kakinya.

"Baguslah, memang itu yang kuharapkan. Kemana saja kau selama ini, Tuan Abu Nabaa." Omar menggeleng.

Setelah sekitar duapuluh menit berjalan kaki, akhirnya mereka sampai di sebuah pasar Jatitujuh yang tampak ramai. Warna pekat yang semula menutupi langit kini berubah terang. Bibir Bilal merekah melihat suasana pagi di perkampungan.

Bilal mengedarkan pandangnnya ke sekitar. Riuh suara Para pedagang dan pembeli mengudara. Mereka mulai membuka tenda dan menjajakan dagangan mereka masing-masing. Mulai dari pedagang sayur mayur, daging, pakaian, perabotan dapur dan yang lainnya. Bahkan terlihat juga beberapa ekor anak ayam yang ikut berbaur di pasar bersama mereka.

"Kakiku mau patah. Perutku juga lapar. Bagaimana kalau kita makan dulu di sana?" Omar menunjuk ke arah gerobak bertuliskan bubur ayam.

"Yang benar saja? Makan di sana?" tanya Bilal.

"Aku tidak tahu itu makanan apa. Tapi sepertinya sangat lezat." Omar menyecap lidah.

Bilal mendesis. "Aku tidak mau makan sebelum menemukan rumah Anissa!" tegasnya mutlak.

"Kalau aku mati kelaparan bagaimana?"

"Itu bagus."

"Astaga ... aku bahkan belum menikah." Omar membuang napas kasar. Sepupunya memang si raja tega.

Wajah dan penampilan Omar dan Bilal mencuri atensi orang- orang di sekitar pasar. Sudah menjadi ciri khas Bilal yang selalu menutupi puncak kepalanya dengan sorban. Baik saat mengenakan pakaian ala Timur Tengah atau pun berpakaian biasa. Sedangkan Omar, pria itu lebih suka memakai topi dengan pakaian yang sederhana.

Tidak sedikit ibu-ibu berhijab yang mulai mengerubungi Omar dan Bilal. Bahkan tanpa permisi lagi, mereka segera mengambil beberapa gambar bersama kedua pria Arab itu. Tidak tanggung-tanggung, kedua pipi Bilal pun sempat menjadi sasaran cubitan gemas ibu-ibu. Membuat pria itu risih dan hanya mampu tersenyum kaku. Aneh, biasanya emosi Bilal akan naik pitam bila diperlakukan seperti ini. Tapi sekarang, Bilal malah tidak bisa berkutik sedikit pun. Dia merasa segan.

"MasyaAllah, ganteng banget si, Ujang. Aduh kapan lagi dong difoto sama pangeran Arab."

"Kersa henteu lamun jadi minantu abdi? Ibu gaduh anak namina Kokom, geulis pisan."

Bilal mendesah berat seraya melirik ke arah Omar. Dia tidak mengerti apa yang mereka katakan. Bilal meiminta Omar untuk mengusir ibu-ibu yang sedang menggodanya. Tapi Omar tampak senang melihat penderitaan sepupunya. Terlihat dari bibir pria bertopi itu yang sedari tadi meluncurkan tawa.

"Bodoh! Bantu aku, Omar!" seru Bilal mulai frustrasi.

Bilal sudah berusaha berkata lemah lembut untuk mengusir ibu-ibu itu. Tapi tidak berguna, mereka tidak mengerti bahasa Arab. Sial!

****

Kedua lutut Bilal gemetar. Dia menatap lurus ke arah seorang perempuan berhijab dengan daster hamil bermotip bunga. Dia Anissa, istri yang selama ini dia sia-siakan. Istri yang selama ini dia siksa lahir dan batin. Dia peremuan hamil yang hampir saja dia bunuh.

Hati bilal bedenyut nyeri. Rasa sesal membuat dadanya sesak. Bilal tidak bisa menahan air matanya untuk tidak luruh saat itu juga.

Perempuan itu tidak menyadari kehadirannya. Anissa tengah berkutat dengan sapu lidi dan dedauan buah mangga kering yang berserakan di pelataran rumah bibi Tiah. Rumah itu hanya satu lantai, sangat kecil. Tanaman bunga melati putih yang bermekaran berjejer rapi menghiasi rumah sederhana bercat hijau itu.

"Anissa ...!" panggil Bilal parau.

Suara berat itu ...?

Anissa menoleh. Tatapannya beradu dengan sepasang iris cokelat yang selama ini sangat dia rindukan. Dia ... ada di sini. Kedua tangannya melemas, sapu lidi yang semula digenggamnya pun jatuh menyentuh tanah. Anissa membekap mulut. Matanya mulai berkaca-kaca.

Dada Anissa bergemuruh. Kenapa di saat Anissa tengah berusaha untuk melupakan Bilal, pria itu malah datang? Melihat wajah Bilal  membuat luka hatinya kembali meradang.

"Anissa."

Kini Bilal sudah mengikis jarak di antara mereka. Jarak mereka kini sangat dekat. Hanya terpisah satu jengkal tangan saja.

Anissa membeku. Lidahnya membelit. Hanya deraian air matanya yang berbicara.
Hasratnya merayu untuk segera memeluk tubuh Bilal. Namun kedua tangannya tidak bisa digerakkan. Rasa sakit dalam dadanya menyuruhnya untuk diam dan jangan berbicara apa pun pada pria kejam itu.

Kejadian demi kejadian yang telah berlalu kembali berutar-putar di otaknya. Seperti potongan sebuah film yang menusuk-nusuk hatinya.

"Anissa ..., maafkan aku." Wajah Bilal sangat memelas. Lelehan air hangat mengalir deras di pipinya.

"Anissa ...."

"PERGI ...!" bentak Anissa histeris.

"Anisaa, kumohon ma---"

"PERGI, TUAN! PERGI! PERGI ...!"

"Anissa."

Bilal menyentuh pipi Anissa. Namun perempuan itu segera menepisnya dengan kasar. Bilal tersedak. Dia meremas bagian dadanya yang berdenyut nyeri.

Sebenci itukah kau padaku, Anissa?

"JANGAN MENYENTUHKU! PERGI! PERGI!"

"An---"

"PERGI!"

Anissa membalikkan badan. Dia berjalan gontai menuju rumah bibi Tiah, lalu masuk kamar dan menguncinya.

Omar menghampiri Bilal dan menepuk punggung tegap Bilal. "Sabar. Ini ujian."

Bilal hanya mengedipkan mata, lalu mengusap wajah basahnya. Dia segera menghampiri Halimah yang sedari tadi memperhatikannya di ambang pintu.

"Bu Halimah! Ma--maafkan a--aku---" Bilal menjatuhkan lututnya ke lantai. Dia menggenggam tangan Halimah sambil terisak.


( Bilal and Omar )

Bilal ...

Jangan pernah kembali jika kau hanya ingin menyakitiku lagi.

****

Ciyeeee ... Bilal datang ke Indonesia ...😂😂



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro