19 | Gerimis Cinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sekali lagi maafkan aku, Bu Halimah. Aku sangat menyesal." Bilal menunduk malu. Entah sudah berapa kali pria itu mengucapkan kata maaf pada mertuanya. Namun, kata maaf saja rasanya tidak cukup untuk membayar perlakuan buruknya pada Anissa selama ini.

Wanita paruh baya itu menahan napas. Rasa sesak menghunjam dada Halimah jika teringat akan perlakuan Bilal pada Anissa selama ini. Namun setelah mendengar penjelasan dari Omar dan Bilal bahwa semuanya terjadi karena salah paham, Halimah mencoba untuk berlapang dada.

"Aku sudah memaafkanmu, Tuan Bilal. Tapi aku harap setelah ini kau bisa menjadi suami yang lebih baik lagi untuk Anissa." Halimah menyeka air matanya yang mengalir menggunakan sapu tangan.

"InsyaAllah, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi, Bu." Mata Bilal memanas dan mulai berkaca-kaca.

Azilika yang duduk di samping Halimah menguatkan kepalan tangannya. Mulutnya sangat gatal ingin memaki Bilal, namun sayangnya dia tidak bisa berbahasa Arab. "Ibu, udah usir aja pria kejam ini! Kalau dikasih hati dia akan semena-mena pada Teteh Anissa lagi nantinya, Bu."

"Azilika, sudah cukup. Lebih baik kamu pergi ke dapur!" tagas Halimah.

Azilika berdiri dari duduknya dengan perasaan dongkol. "Pokoknya aku enggak akan membiarkan kamu nyakitin, Teteh aku lagi!" pekiknya dengan wajah garang. Azilika melempar tatapan sinis pada Bilal. Lalu tatapannya beralih pada wajah Omar yang sedari tadi mencuri-curi pandang padanya dalam diam. Sesaat, hati Azilika berdesir aneh. Gadis berusia lima belas tahun itu pun segera pergi untuk menyembunyikan wajah merah jambunya.

Bilal menghela napas pasrah. Walaupun dia tidak mengerti apa yang Azilika ucapkan, Bilal bisa membaca ekspresi wajah Azilika yang menunjukan rasa benci kepadanya.

Halimah, bibi Tiah, paman Samsul dan keluarga Anissa yang lainnya memang sudah memaafkan Bilal. Bilal dan omar diperlakukan sangat baik oleh mereka, meskipun dengan jamuan makan seadanya dan harus tidur di ruang tengah beralaskan kasur lantai tipis. Bilal masih bersyukur, paling tidak dia masih diterima dengan baik oleh keluarga Anissa. Walaupun sudah seminggu ini Anissa masih menghindar darinya.

****

Bilal menyingkap gorden bermotif  batik ungu yang menjuntai dari atas tiang pintu kamar kecil itu. Iris matanya langsung menemukan Anissa yang tengah duduk di tepi ranjang. Garis bibir Anissa masih terlihat kaku, menoleh ke arahnya pun sepertinya enggan.

Bilal menghela napas panjang sebelum duduk di samping Anissa. "Anissa ... apakah kau masih belum mau memaafkanku?" Bilal megusap puncak kepala Anissa.

Anissa masih mengunci mulutnya. Jiwanya terguncang. Dia masih trauma dengan sosok tampan berprilaku iblis itu. Kepala Anissa menunduk seraya meremas erat ujung mukena putih yang dikenakannya.

"Anissa, kumohon katakanlah sesuatu. Makilah aku! Bentak aku! Caci aku seperti apa yang aku pernah lakukan padamu dulu. Jangan mendiamkanku seperti ini, Anissa." Bilal mengguncang bahu Anissa. Dia mendesah berat. Diamnya Anissa nyaris membuat Bilal gila. Sejuta kata maaf sudah dia ucapakan, namun dia tetap kehilangan senyum Anissa.

PLAK!

Kedua mata Anissa membulat sempurna. Dia membekap mulut. Iris hitamnya langsung menggenang air mata menatap suaminya tidak mengerti.

"Tuan ...!" pekik Anissa seraya terisak.

PLAK! PLAK!

Tamparan keras yang terdengar mengerikan itu merobek indra pendengaran Anissa. Air matanya pun seketika luruh menuruni kedua pipinya. "Tuan! Kumohon hentikan. Cukup ...! cukup, Tuan ...."

PLAK! PLAK!

"TUAN ...! CUKUP!"

Anissa melucuti mukenanya. Dia segera berlari kecil menghampiri Bilal yang berdiri di sudut kamar dan tengah menyiksa dirinya sendiri.

"TIDAK, ANISSA! TANGAN INI SUDAH BANYAK MEMUKULMU! WAJAH INI SUDAH BANYAK MENGECEWAKANMU! MULUT INI SUDAH TERLALU SERING MEMAKIMU! MENGHINAMU! MENCACIMU! MENYAKITI HATIMU, ANISSA! AKU SANGAT MENYESAL! AKU MENYESAL ANISSA ...! MAAFKAN AKU."

PLAK! PLAK!

Wajah tegas Bilal kian memerah. Dia terus menampari kedua pipinya sendiri secara bolak-balik. Ujung bibirnya pun sampai meneteskan darah.

"Aku kecewa padamu, Tuan!" pekik Anissa mematahkan hati Bilal.

Tubuh Bilal merosot, ia terduduk di pojok kamar. Dia menatap wajah basah Anissa yang sangat memelas.

"Kenapa kau tidak pernah berubah, Tuan? Bahkan dengan semua musibah yang telah menimpamu! Apa kau kira dengan meluapkan emosi pada setiap masalah semuanya akan membaik, Tuan?" Kening Anissa berkerut. Air matanya berjatuhan semakin banyak membuncahkan sesak dalam dada.

"Bahkan sebentar lagi kau akan segera menjadi seorang, Ayah." Anissa tersenyum sangat manis. Tangannya gemetar mengelus perutnya yang besar. "Lalu pantaskah kau bersikap seperti ini, Tuan? Bagaiman jika kelak anakmu meniru semua kelakuan burukmu, ha?"

Hati Bilal seperti dicubit-cubit mendengarnya. Lidahnya membelit. Padahal, dia hanya ingin menghukum dirinya sendiri, itu saja. Tapi semua ini malah membuat Anissa semakin membencinya. Bilal merasa sangat bodoh.

Anissa mendekat dan duduk di hadapan suaminya. Dia membawa tangan besar Bilal untuk mengelus perutnya. "Aku sudah memaafkanmu, Tuan. Bahkan jauh dari sebelum kau meminta maaf kepadaku." Anissa tersenyum getir seraya meluruhkan air mata kepedihan. "Aku diam karena aku butuh waktu. Hatiku terlanjur sakit karenamu, Tuan. Aku butuh waktu untuk menata hatiku, mengobati luka hatiku."

"Kenapa semudah itu kau memaafkanku, Anissa? Bahkan aku hampir saja membunuhmu." Bilal menangkup kedua pipi basah Anissa dengan hati yang bergemuruh.

"Allah saja mengampuni dosa-dosa hamba-Nya, sebesar apa pun dosa itu. Lalu apa hakku untuk tidak memaafkanmu, Tuan ...," ujar Anissa seraya terisak.

Bilal meluruhkan air matanya dengan perlahan. Hatinya pilu. Suami macam apa dia ini? Bahkan Anissa sudah memaafkannya sebelum Bilal meminta maaf.

"Seberapa keras usahaku untuk mencoba membencimu, Tuan. Nyatanya aku tidak pernah bisa membencimu." Anissa mengusap darah yang terus menetes dari ujung bibir Bilal. "Kumohon jangan pernah lagi melukai dirimu sendiri seperti ini, Tuan. Hatiku ikut terluka, aku tidak sanggup melihatnya."

Hati Bilal terenyuh. Dia menelan ludah pahit. Tangan besarnya segera menarik tubuh mungil Anissa ke dalam sebuah pelukan hangat. "Maafkan aku, Anissa. Sekali lagi maafkan aku." Bilal semakin mempererat pelukannya. Air mata pria itu luruh semakin deras, membasahi punggung istrinya.

"Aku mencintaimu, Anissa," ucapnya setelah melepaskan pelukan mereka.

"Entah sejak kapan perasaan ini mulai tumbuh? Tapi sekarang aku ingin mengakuinya padamu. Aku mencintaimu, Anissa. Sangat mencintaimu ...." Bibir dan hati Bilal bergetar saat mengucapkannya.

Anissa tertegun. Tatapan mata mereka saling terkunci satu sama lain. Tatapan hangat dan sangat dalam.

Anissa tersenyum tipis. Hatinya terasa diayun-ayun hingga ke atas awan. Semudah inikah kata cinta meluluhkan hatinya? Sudah sangat lama sekali Anissa ingin mendengar kata-kata manis itu. "Be ... benarkah kau mencintaiku, Tuan?"

"Aku mencintaimu, Anissa. Aku mencitaimu aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu ak---"

Cup.

Tubuh Bilal menegang saat bibir ranum Anissa mennyentuh bibirnya tanpa permisi. "Aku mencintaimu, Tuan Bilal. Aku sangat mencintaimu karena Allah," ujar Anissa dengan pipi semerah tomat. Dia segera menghambur dalam dekapan Bilal, menyembunyikan wajahnya di balik dada bidang Bilal yang hangat dan harum.

"Aku berjanji akan berubah untukmu dan anak kita, Anissa." Bilal menyeka air mata Anissa yang terus mengalir. "Mulai detik ini, aku tidak akan membiarkan air matamu jatuh lagi. Aku hanya akan menciptakan senyuman di bibir manismu ini, Anissa." Bilal mengusap bibir ranum Anissa dengan sepenuh hati.

Malam ini harus menjadi malam yang sangat istimewa untuk mereka. Bilal segera menggendong Anissa dan menidurkannya di atas ranjang. Pria itu berbaring di sampingnya, iris cokelat terangnya sudah berkabut dengan napas memburu. Dia tidak tahan lagi ingin segera mencairkan rasa rindu yang sudah dua bulan lebih membeku.

"Apakah tidak apa-apa jika aku ingin melakukan itu sekarang, hm?" bisik Bilal lembut di telinga Anissa.

Degup jantung Anissa meletup-letup mendengarnya. Deru napas hangat Bilal yang menyapu permukaan wajahnya membuat sekujur tubuh Anissa meremang. "Hmm ...."

Kedua sudut bibir pria itu melengkung ke atas dengan sempurna. Sangat manis dan terlihat semakin tampan di mata Anissa. Bilal sangat bersyukur bisa memiliki istri sebaik dan menggemaskan seperti Anissa. Cahaya kuning yang berpendar dari lilin di atas nakas membuat pipi Anissa terlihat semakin merona. "Demi Allah, aku mencintaimu lebih dari apa pun yang ada di dunia ini, Anissa."

Anissa mengulum senyum malu-malu. Dia segera menutupi wajahnya yang kian memanas dengan kain samping batik merah yang tersampir di sisinya.

Bilal tersenyum geli. Tangannya menyingkap kain yang menutupi wajah Anissa dengan perasaan gemas. "Jangan ditutupi, aku masih betah memandang wajah cantikmu."

Bunga-bunga di taman hati Anissa bermekaran mendengarnya. Anissa membeku saat Bilal merangkul pinggulnya, lalu membawanya agar mendekat hingga tidak ada lagi jarak di antara mereka.

Bilal mengunci tatapan mereka dengan penuh damba. "Aku berjanji, kali ini dan seterusnya aku akan melakukannya dengan lembut."

Anissa tersedak. Dia menggigit bibir bawahnya merasa malu sendiri mendegarnya.

"Lagipula aku takut akan membuat anak kita pusing jika aku mengguncang-guncangya terlalu kuat," racau Bilal yang dihadiahi Anissa puluhan cubitan kepiting andalannya.
"Kumohon berhentilah, Anissa ...." Bilal meringis nyeri.

Kedua mata Anissa terpejam sempurna saat ujung hidung Bilal menempel di ujung bibirnya.

Ranjang besi itu sedikit berderit, mengiringi syahdunya malam mereka. Bilal mengabaikan nyamuk-nyamuk nakal yang mulai menelusup dari celah dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Gatal dan sakit menyentuh kulitnya memang. Nyamuk sialan! gerutunya dalam hati.

Gerimis hujan yang turun di langit pekat menciptakan melody romantis untuk mereka berdua. Seolah mrnjadi saksi dua hati yang tengah menyatukan cinta.

"Aku mencintaimu, Anissa," bisik Bilal parau setelah mengakhiri malam indahnya. Dia mengecup singkat bibir basah Anissa yang sedikit terbuka dengan begitu lembut.

****

"Bodoh! Kau tidak berguna! Percuma aku membayarmu dengan ribuan dinar!" Soraya memasang wajah garang. Dia melempar barang apa pun yang ada di hadapannya.

"Maaf, Nyonya," sesal pria kurus itu.

"Dasar binatang! Kau tidak punya otak! Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Soraya berkata murka. Kedua matanya melebar dengan dada yang naik turun menahan emosi.

"Bagaimana kau bisa tidak tahu kalau Bilal pergi ke Indonesia untuk menyusul anak pembantu sialan itu, ha?" Soraya melempari pria itu dengan remot tv. Sehingga pria itu pun meringis dan memohon ampun.

"Sepertinya Omar sudah mulai curiga, Nyonya. Mereka pergi secara diam-diam. Bahkan mereka pun pergi ke Bandara dengan menggunakan taksi."

Kedua tangan Soraya mengepal kuat. "Omar?" Soraya menyeringai layaknya seorang iblis. "Selanjutnya ... habisi pria sialan itu! Dia sudah berani-beraninya menghalangiku untuk mendapatkan Bilal." Soraya memiringkan senyumnya.

Pria berkumis tipis itu mengangguk antusias. Dia tersenyum simpul. "Akan segera aku lakukan, Nyonya."

"AWAS KAU, ANISSA!! PEREMPUAN MURAHAN!"


Bilal ...

Kenapa kau selalu bisa meluluh lantahkan hati dan jiwaku?
Apakah kau yang memang hebat?
Atau, mungkin aku yang terlalu lemah?

Entahlah ...

Nyatanya, seberapa keras pun usahaku untuk menjauh darimu, Aku akan selalu kalah dan jatuh lagi ke dalam dekapanmu ...

****

Ciyeeewww ... 😃 Abis ngetik part ini aku langsung terserang demam badai stunami. 😂😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro