24 | Ikhlas Mencintaimu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Baby ...."

PLAKK!

"Aww ...! Kau sangat kasar, Bab ... Aww!" Soraya kehilangan kata-kata saat sebuah tangan besar melingkar sempurna di leher jenjangnya.

"Wanita ular!" gertak Bilal seraya mengeraskan otot-otot tangannya untuk mencekik leher Soraya lebih kencang. "Sudah berapa kali kukatakan padamu jangan pernah mengganggu rumah tanggaku lagi!" Bilal melempar tatapan tajam pada iris hijau zambrud Soraya dengan rahang yang mengeras.

"KATAKAN, SORAYA! KENAPA KAU SELALU MENGUSIK HIDUPKU! KATAKAN, IBLIS BETINA!"

Tubuh langsing Soraya terhuyung membentur tembok ruang tamu setelah Bilal membantingnya dengan sangat kasar. Dia terterbatuk-batuk seraya memegangi lehernya yang terasa perih dan sesak.

"Karena aku sangat mencintaimu, Bilal!" Soraya memasang wajah memelas. "Aku tidak tahu lagi harus bagaimana untuk merebut hatimu. Seandainya saja dari dulu kau mau untuk menikahiku, aku juga tidak akan pernah melakukan ini, Baby ... Aww---" Soraya meringis saat Bilal menjambak rambut panjangnya dengan kasar.

"Dengar! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah sudi untuk menikahimu, Soraya!"

"Kenapa?" tanya Soraya parau. Kedua mata wanita itu mulai memanas dan meluruhkan air mata.

"Kenapa ...?" Bilal mendesis. "Karena aku tidak mencintaimu, BODOH!" jawab Bilal mutlak.

"Aku cantik, aku kaya, aku pintar dan aku juga terlahir dari keluarga terpandang." Soraya tersenyum bangga. "Bukankah aku sudah sangat sempurna untuk menjadi istrimu, Bilal?"

Bilal tersenyum miring dengan tatapan berang. "Bagus! Dengan kesempurnaanmu itu kau bisa menikah dengan lelaki mana pun, Soraya! Tapi bukan denganku!"

"Tapi aku hanya ingin menikah denganmu, Baby. Ayolah, Bilal ... apa susahnya menikah denganku? Kita akan bahagia. Kita akan bercinta, bercinta dan bercinta setiap waktu."

"KAU SUDAH GILA, SORAYA!"

"Ya, Habibi ...."

"Tutup mulutmu!"

Soraya bersusah payah meraih tangan Bilal. Namun dengan sigap Bilal menendang tubuh wanita itu hingga Soraya terjungkal ke lantai dengan posisi terlentang. "Sakit, Baby ...."

"Bagus!" Bilal tersenyum puas. Jiwa psikopat terus membisikinya agar segera melenyapkan wanita jalang itu. Namun dia sudah berjanji pada Anissa untuk belajar mengendalikan emosinya. Kepalan tangan Bilal semakin menguat. Tadi pagi di kantor, Bilal mendesak Raqad untuk mengatakan siapa yang menyuruhnya menaruh obat perangsang dalam minuman itu. Bilal tidak habis pikir, ternyata dalang di balik kegilaan ini adalah orang yang sama. Orang yang dulu mencoba ingin merusak rumah tangganya dengan Yasmeen. Soraya benar-benar sudah gila.

"Jangan membuatku khilaf dan sampai membunuhmu, Soraya! Jadi mulai detik ini, kau jangan pernah menampakkan wajah menjijikkanmu di hadapanku lagi! Mengerti?" Bilal melempar bantal sofa tepat pada wajah Soraya dengan sangat kasar.

Soraya tersedak. Tangannya segera menyingkirkan bantal yang menutupi wajahnya dengan perasaan hancur. Wanita itu menjambaki rambutnya merasa frustrasi. Semua usahanya selama ini sia-sia. Sang pujaan cintanya tetap angkuh. Soraya gagal lagi, lagi dan lagi.

"AWAS KAU, BILAL ...! SAMPAI MATI PUN, AKU TIDAK AKAN PERNAH MENYERAH UNTUK MENDAPATKAN CINTAMU!"

"Kalau begitu kau bunuh diri saja! Karena aku tidak akan pernah mencintaimu!"

"BILAAAALLL ...!"

****

Bilal duduk di samping Anissa yang tengah berbaring di atas ranjang dengan tatapan kosong menatap langit-langit kamarnya. Hati Bilal seperti dicubit-cubit karena sudah seminggu ini Anissa masih menyembunyikan senyum dan suaranya.

"Besok aku akan ke Eropa. Aku harus memantau perkembangan proyek pembangunan resort baruku di sana," ujar Bilal seraya menaruh susu cokelat hangat untuk Anissa di atas nakas.

Anissa tetap bungkam dan hanya mengedipkan matanya.

"Jika kau masih mendiamkanku seperti ini, mungkin aku akan tinggal di sana untuk selamanya."

Anissa mendelik tajam menatap wajah suaminya tidak mengerti.

"Apa kau tidak akan merindukanku, hm?"

Bilal mendesah kecewa saat
Anissa mengigit bibir bawahnya lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Aku mengerti, pasti tidak mudah bagimu untuk percaya pada penjelasanku, Anissa." Bilal mengelus pipi Anissa dengan lembut. "Aku benar-benar dijebak, Habibti. Maafkan aku yang tidak bisa mengendalikan diriku." Bilal menghela napas berat. Entah bagaimana lagi caranya untuk meyakinkan Anissa?

"Aku tahu kau masih marah padaku, Anissa. Tapi kumohon, jangan mendiamkanku seperti ini, Habibti." Bilal memegangi kedua bahu Anissa, berharap hati perempuan itu bisa luluh dan membuka suara. Namun mulut Anissa tetap membisu membuat Bilal mengusap wajahnya merasa frustrasi.

Anissa mengedipkan mata. Dia membuang pandangannya ke arah jendela, menatap nanar dedaunan buah zaitun yang meliuk-liuk diterpa angin malam.

"Aku tidak peduli seberapa banyak kau melukai hatiku. Aku akan tetap bertahan di sini dengan perasaan yang sama, Tuan," tegas Anissa tiba-tiba.

Bilal menelan ludah pahit sebelum berucap, "Anissa ...."

Anissa melempar tatapan sendu pada iris cokelat suaminya yang sudah menggenang air mata. Wajah Anissa terlihat sangat pucat dan memelas. "Ya, aku akan tetap bertahan untuk mencintaimu! Walaupun aku harus tertatih dan terjatuh. Bahkan merangkak sekali pun, Tuan! Aku akan tetap mempertahankan rumah tangga ini demi anakku. Aku tidak ingin anakku lahir tanpa seorang ayah ...." Anissa menelan ludah pahit. Air matanya pun luruh semakin banyak menuruni kedua pipinya. "Jadi lakukan saja sesuka hatimu untuk terus melukai hatiku, Tuan! Karena aku memang akan selalu kalah dan kembali padamu ...." Anissa mengurut dadanya yang terasa sangat sesak.

Bilal menggeleng cepat. "Anissa ... aku sama sekali tidak berniat untuk melukai hatimu, sungguh! Kumohon percayalah padaku." Bilal meraih tangan dingin Anissa dengan gemetaran, lalu Bilal menggenggamnya erat. "Aku sangat tulus mencintaimu, Anissa ... Wallahi!." Bilal menciumi punggung tangan istrinya dengan segenap jiwa. Kemudian Bilal menunduk untuk mengecup perut Anissa yang besar. Usia kandungannya saat ini sudah genap lima bulan.

Hati Anissa bergemuruh saat tangan besar Bilal mengelus-elus perutnya dengan sangat lembut.

"Maafkan Ayah, Sayang. Ayah sudah sering menyakiti hati ibumu. Kelak kau pasti akan merasa sangat bangga bisa terlahir dari wanita hebat sepertinya, Nak. Dia wanita yang sangat baik dan tangguh ... ayah sangat mencintainya. Ayah juga sangat mencintaimu," ujar Bilal setulus hati.

Kedua tangan Anissa meremas seprei sutra berwarna kuning itu saat bibir lembut Bilal menyentuh bibirnya yang terkatup rapat. Getaran cinta itu masih terasa sama. Jantung Anissa masih meletup-letup setiap merasakan sentuhan hangat yang Bilal berikan. Namun, hati Anissa sangat perih jika teringat bahwa bibir manis Bilal pernah berzina dengan wanita yang buhkan mahromnya.

Astagfirullah ...

Kedua mata bundar Anissa terpejam sempurna. Hanya demi anaknya Anissa akan berusaha untuk ikhlas memaafkan suaminya.

"Aku sangat mencintaimu, Habibti," ujar Bilal setulus hati setelah menjauhkan bibirnya dari bibir Anissa.

Anissa mendongak untuk mempertemukan tatapan mata mereka. Tatapan dalam yang menyiratkan rasa cinta. Namun juga tersimpan jutaan luka yang menyelimuti dua pasang mata berbeda warna itu.

"Aku mencintaimu," ucap Bilal sekali lagi. Pria itu sudah berdiri di ambang pintu kamar dengan wajah murung.

Anissa menahan napas menghalau sesak dalam dada. "Aku mencintaimu tapi sekarang aku sangat membencimu, Tuan!" pekiknya dengan isak yang memilukan.

Hati Bilal retak mendengarnya. Dia menelan ludah pahit sebelum berucap, "Aku akan tetap mencintimu, Anissa." Bilal tersenyum getir sebelum menghilang di balik pintu.

****

Anissa berjalan lamban menelusuri lorong kampus YU. Anissa menunduk dalam. Ratusan pasang mata seolah menelanjangi tubuhnya dengan tatapan sinis. Anissa sudah sangat lama cuti kuliah semenjak dia pulang ke Indonesia. Semua mahasiswa dari berbagai negara di Yarmouk University pastinya sudah tahu tentang semua kabar Anissa. Entah asumsi apa yang mereka layangkan pada perempuan berhijab ungu itu. Demi anaknya Anissa harus kuat mendengar cibiran pedas dari siapa pun.

"Anissa, ayo ke kantin. Apa kau tidak rindu dengan chicken sawerma buatan, Paman Abdu?" Reem menarik tangan Anissa.

"Ya, tentu saja aku sangat merindukannya. Sepertinya anakku juga ingin mencobanya." Anissa mengelus perutnya. "Tapi kau duluan saja, Reem. Aku ke perpustakaan dulu untuk mengembalikan buku." Anissa mengacungkan buku Sastra Arab dan kamus bahasa Arab--Indonesia di tangannya.

Reem menggeleng. "Tidak, Anissa. Aku ikut mengantarmu ke perpustakaan." Reem tersenyum manis seraya menggamit lengan Anissa.

"Anissa."

Suara serak itu menghentikan langkah mereka yang baru saja sampai di depan pintu perpustakaan. Anissa menoleh ke arah sumber suara dan tatapannya langsung terkunci dengan iris hitam legam milik Akbar.

"Kak, Akbar."

"Asalamu'alaikum, Anissa.

"Wa'alaikumsalam."

"Semoga kamu, anakmu dan suamimu selalu diberi kesehatan dan kebaikan," ucap Akbar setulus hati.

Sejujurnya, perasaan cinta itu sangat sulit untuk dihilangkan. Apalagi melihat kondisi Anissa yang selalu menderita, membuat Akbar ingin selalu ada untuknya walaupun hanya sebatas sahabat. Akbar ingin selalu menjaga Anissa, walaupun asa itu hanya bisa dia uraikan lewat untaian doa tulus dalam setiap sujudnya. Akbar ingin melihat Anissa bahagia, walaupun bukan drinya yang menjadi alasan Anissa untuk tersenyum.

"Terima kasih, Kak. Semoga Allah juga selalu melindungi, Kakak dan semoga cepat dapet jodoh," ujar Anissa menohok jantung Akbar.

Akbar menahan napas untuk menghalau sesak dalam dada.
"Amiin ...," ucapnya sebelum pamit.

Arshad memainkan kedua alisnya menggoda Reem.
"Reem! Ayo kita membuat anak!"

Gadis Palestina itu mendelik tajam dan segera menyambar buku tebal dari tangan Anissa. "Kau gila! Sepertinya kau sudah keracunan kotoran unta!"

BUGGH!

Pria bertompel di pipi kanan itu meringis sebelum mencebikkan bibirnya. "Padahal aku hanya bergurau."

Anissa dan Akbar menggeleng seraya tersenyum geli melihatnya. Sedangkan Reem berkacak pinggang dengan tatapan horor pada Arahad.

****

"Tuan, Omar." Kening Anissa mengkerut saat melihat Omar yang tengah berdiri di depan gerbang kampus seraya melambaikan tangan ke arahnya.

"Aku baru saja mengantar Bilal ke Bandara dan dia menyuruhku untuk menjemputmu. Sekalian ada yang ingin aku bicarakan juga denganmu." Omar membukakan pintu mobil untuk Anissa dan mempersilahkannya masuk.

"Bilal menitipkan ini untukmu." Omar memberikan sebuah kotak berwarna merah muda yang dihiasi pita di bagian atasnya pada Anissa.

"Apa ini?" tanya Anissa semakin heran.

"Bilal menyuruhmu untuk membukanya setelah kau sampai di rumah nanti."

Anissa menghela napas panjang seraya menatap kotak pemberian Bilal dengan kehampaan hati.

"Bilal sangat mencintaimu, Anissa," ujar Omar. Mata teduh pria itu fokus pada jalanan aspal yang mulus.

"Apakah, Tuan Bilal pergi karena dia ingin meninggalkanku?" Anissa memasang wajah sendu.

"Tidak, Anissa. Dia memang pergi untuk urusan pekerjaan. Waktu itu Bilal benar-benar dijebak. Dia tidak bisa mengendalikan dirinya karena Soraya memberinya obat perangsang berdosis tinggi, Bilal nyaris gila karena overdosis kalau saja Dokter Abla terlambat menanganinya."

"Astagfirullah!" Anissa membekap mulut.

"Bahkan suamimu itu hampir saja memperkosaku, Anissa!" Omar bergidik ngeri mengingat ekspresi wajah Bilal saat sedang horny dan menggerayangi tubuhnya waktu itu.

Kedua mata Anissa membualat sempurna mendengarnya. "Be--- benarkah Tuan Bilal sampai seperti itu?"

"Iya. Jadi kau jangan salah paham lagi, aku tidak berbohong. Kejadian waktu itu diluar kendali akal sehatnya. Bilal bukan tipikal pria yang mudah jatuh cinta, Anissa. Bilal hanya mencintai dua wanita di bumi ini setelah ibunya, yaitu Yasmeen dan dirimu saja. Percayalah padaku."

Anissa tertegun mendengarnya. Sesaat, rasa sesal merundung jiwanya tanpa permisi. Mata Anissa memanas dan tidak bisa lagi membendung genangan air matanya yang ingin tumpah.

"Kenapa Soraya sangat tega melakukan hal keji seperti itu ...?" tanya Anissa seraya terisak.

"Soraya memang sudah gila. Kau tenang saja, Bilal sudah memberinya pelajaran. Kau jangan takut lagi."

****

Anissa duduk di sofa pojok kamar. Tangannya segera membuka kotak itu. Isinya sebuah botol kaca bening berbentuk hati. Anissa tersenyum sangat manis dengan mata yang berkaca-kaca. Ini adalah kerajinan pasir yang sudah sangat dia inginkan dari dulu saat pergi ke Petra. Botol kaca itu diisi penuh oleh pasir berwarna putih dan merah yang bertuliskan nama mereka. Bilal love Anissa. Seketika hati Anissa terenyuh dan berbunga melihatnya.

"Tuan Bilal menulis surat untukku?" gumamnya saat menemukan sepucuk surat berwarna merah muda dalam kotak tersebut. Anissa segera membacanya.

Asalamu'alaikum, Habibti, Anissa ...

Maaf, jika sampai saat ini aku belum bisa menjadi imam yang baik untukmu. Maafkan aku yang masih selalu membuatmu menangis, padahal aku sudah berjanji untuk tidak membuatmu menangis. Maafkan aku, Habibti ...

Aku hanyalah seorang hamba yang jauh dari kata sempurna. Namun percayalah, cintaku sudah sempurna untukmu, Anissa ... hanya untukmu.

Ck! Sepertinya aku sudah gila. Terkadang aku merasa aneh sendiri dengan sikapku yang berubah drastis seperti ini setelah mengenalmu. Ini seperti bukan diriku, namun percayalah ... aku sangat ikhlas mencintaimu, Anissa.
Wallahi! Aku ikhlas mencintaimu karena Allah.

Kau sudah mengalihkan duniaku, mewarnai hidupku.
Jujur, ragaku seperti mati saat kau mendiamkanku. Aku merasa seperti pria terjahat di dunia. Sekali lagi maafkan aku, Anissa.

Berjanjilah padaku jangan menangis lagi, Habibti. Aku akan selalu mencintaimu. Jaga dirimu dan anak kita baik-baik. Doa tulusku selalu menyertai kalian.

Wasalam.

"TUAN ...!" Anissa memeluk kertas surat itu dengan sangat erat. "Tuan, kumohon  kembalilah! Aku tidak marah lagi padamu. Aku sudah memaafkanmu. Tuan ...." Bahu Anissa berguncang hebat menahan sesak dalam dada. Anissa sangat menyesal karena sudah tidak percaya pada suaminya. Seharusnya Anissa tidak egois. Anissa menelan ludah pahit seraya meluruhkan air mata kepedihan.

"Tuan ... pulanglah kumohon! Aku sangat mencintaimu! Kembalilah, Tuan! Aku tidak biasa tanpamu ...."

Bilal ...

Aku pun sangat ikhlas mencintaimu karena Allah ...

                        
                         
  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro