23 | Senja di Wadi Rum

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jalanan aspal di kota Amman yang Anissa tapaki sangat mulus. Anissa berjalan lamban di bawah kolong langit yang pekat tanpa bintang. Suara bising kendaraan yang hilir mudik meredam isak tangisnya yang sangat memilukan. Anissa memeluk erat perutnya yang buncit. Janinnya pun terus menendang-nendang dinding perut ibunya. Anak itu seolah merasakan kesedihan yang Anissa rasakan.

"Ibu baik-baik saja, Sayang. Ibu tidak apa-apa. Ibu harus kuat demi ka---kamu," gumam Anissa terbata.

Anissa enggan untuk pulang ke rumah Mustofa. Dia tidak ingin bertemu dengan Bilal lagi. Dadanya sudah terlalu sesak. Anissa ingin berlari dari semua kenyataan pahit ini. Anissa ingin menjauh dari pria kejam yang sudah menghianati cintanya di saat hamil begini.

Jip yang mereka tumpangi memebelah padang gurun yang membentang sangat luas. Sepasang iris hitam Anissa berkilat takjub. Bibirnya yang ranum terus melengkung ke atas dengan sempurna, menambah kesan ayu pada paras perempuan asli Sunda tersebut.

"Ini sangat indah, Tuan."

"Apa kau menyukainya?" tanya Bilal.

"Tentu! Aku sangat-sangat ... menyukainya!" seru Anissa riang.

Anissa merentangkan kedua tangannya ketika mereka berdua sudah turun dari jip. Dadanya berdesir saat sepasang tangan besar Bilal melingkar sempurna di atas perutnya yang buncit.

"Tempat ini namanya Wadi Rum, atau bisa disebut Lembah Bulan. Sebentar lagi kita bisa melihat senja yang sangat indah di sini," papar Bilal.

Anissa membalikan badan, lalu memeluk satu lengan kokoh suaminya dengan manja. "Benarkah? Waah aku jadi tidak sabar. Aku sangat menyukai senja, Tuan."

Bilal mengangguk lalu mengelus puncak kepala istrinya dengan lembut.

"Tempat ini juga dijuluki Mars of Earth. Karena saat senja datang, kau akan merasa seperti berada di planet Mars."

Mulut Anissa membulat. Sedangkan sepasang bola matanya semakin berbinar. Dia merasa sangat beruntung dan bersyukur karena Bilal telah mengajaknya ke daerah Teluk Aqaba yang indah ini.

Mereka berdua berdiri di tengah-tengah hamparan gurun pasir yang dikelilingi oleh pegunungan batu berwarna merah kecokelatan. Di salah satu tebing batu terdapat tulisan purba yang sebenarnya bergambar manusia, unta dan kuda. Prasasti kuno itu konon merupakan peninggalan sejarah pada 4000 tahun silam. Terlihat juga beberapa gunung-gunung pasir yang letaknya tidak permanen. Gunung-gunung pasir tersebut bisa berpindah-pindah tempat saat diterpa badai. Lembah bercadas ini juga merupakan salah satu tempat wisata yang sering dikunjungi oleh para turis pecinta olahraga panjat tebing.

"Mari kita berdansa, Anissa?"

Anissa mengangkat satu alisnya ketika Bilal mengulurkan tangannya secara tiba-tiba. Senyum yang mengembang di bibir suaminya membuat Anissa terpana. Anissa memang sangat menggilai Bilal dan tidak akan pernah bosan mengagumi ketampanannya.

"Di sini?" tanya Anissa.

"Bukankah tempat ini sangat romantis?" Bilal mengedipkan satu mata genitnya.

Anissa berdehem pelan. Tingkah Bilal semakin berlebihan dan aneh sekali. Apakah ini sisi lain dari sifat Bilal yang dia sembunyikan di balik wajah garangnya selama ini?

Anissa mengusir rasa bingungnya. Dia mengulum senyum dan segera menyambut uluran tangan suaminya. Tangan kirinya menyentuh lembut dada bidang Bilal yang dilapisi sweater hitam.

"Tapi, Tuan. Di sini tidak ada musik."

"Ada. Kau pejamkan saja matamu, maka kau akan mendengarkan degup jantungku yang selalu berirama merdu saat berada di dekatmu."

Bilal tersenyum hangat. Tangan kirinya mencengkeram pinggul istrinya dengan lembut. Sedangkan tangan kananya terus menggenggam erat tangan Anissa yang mungil.

"Aku mencintaimu, Anissa. Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, aku jatuh cinta padamu di setiap waktu."

Ketika tatapan Anissa dan Bilal saling bertemu, dada mereka menghangat. Rasanya Anissa ingin meleleh karena ucapan Bilal.

"Tuan ...."

"Mungkin ini terdengar naif, tapi tidak pernah ada dusta di setiap kata cinta yang kuucapkan padamu. Aku memang sangat mencintaimu dan tidak akan pernah bosan untuk mengatakannya sampai Allah mengunci mulutku."

Mereka terus berdansa dan saling memandang dengan tatapan dalam. Silir angin yang cukup kencang sore itu membuat suasana terasa semakin romantis. Karena Bilal berkali-kali mendekap tubuh istrinya dalam pelukan hangat. Dunia seolah milik mereka berdua, yang lain hanya numpang lewat.

Sore itu Wadi Rum tampak sepi oleh pengunjung. Hanya terlihat beberapa kurir kuda dan unta saja yang berseliweran di sekitar gurun. Terlihat juga beberapa tenda yang dikelola oleh suku Baduin---penduduk asli Wadi Rum. Tenda itu biasa disewa oleh para turis untuk menginap.

Tidak lama kemudian, senja yang dinanti-nantikan pun menyapa. Kedua mata Anissa tidak berkedip barang sedikit pun. Bola matanya langsung berkelana ke setiap sudut lembah gurun. Matahari mulai membenamkan dirinya di ufuk barat. Sementara hamparan gurun pasir dan gunung-gunung batu tampak sudah berubah warna menjadi merah jambu yang sangat terang. Kini seluruh permukaan langit pun sudah diselimuti oleh semburat jingga yang memesona. Kala senja seperti ini, susana di Lembah Bulan sangat terasa seperti berada di planet Mars. Anissa bertasbih dalam hati.

Maha besar Allah atas segala ciptaan--Nya!

"Tuan ...! MasyaAllah! Ini senja terindah yang pernah kulihat dan sepertinya tidak akan pernah bisa aku lupakan."

Bilal tersentak ketika Anissa mendadak menghambur dalam dekapannya.

"Terima kasih sudah membawaku ke tempat yang sangat indah ini."

Anissa semakin mengeratkan pelukannya. Dia membenamkan wajahnya di balik dada bidang Bilal yang selalu harum dan sangat nyaman.

"Dan terima kasih kau sudah hadir dalam hidupku, Anissa. Kau seperti senja yang selalu membuatku merasa tenang dan damai setiap menatap wajahmu. Kau senja terindah yang selalu menyejukkan hati dan mataku. Kau, istriku."

Sepasang kelopak mata Anissa terkatup sempurna ketika Bilal menempelkan bibirnya di sana.

TIIIINNNNNNN!

Bunyi klakson mobil truk yang sangat nyaring membuat Anissa melompat. Anissa segera menepi sambil mengelus dada. Lamunan indahnya bersama Bilal buyar dalam sekejap mata.

"Anissa! Kamu ngapain di sini? Astagfirullah."

"Kak, Akbar."

Sebagian konten dihapus. Part selanjutnya lengkap 》》》


Bilal ....

Mungkin aku bukan tulang rusuk yang tercipta untukmu.
Buktinya, Alam pun seolah menentang cinta kita.

****

💔 Nyatanya, jalan hidup seseorang itu tidak semulus jalan TOL. 😓

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro