26 | Hati yang Remuk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Senyuman manis mengembang di bibir perempuan hamil itu tanpa jemu. Anissa sangat exited untuk menyambut kelahiran buah cintanya dengan Bilal. Saat ini Anissa sedang berbelanja ditemani oleh Omar dan Azilika. Mereka berada dalam sebuah outlet yang menjual semua perlengkapan bayi---di sebuah Mall besar yang berada di pusat kota Amman.

Kedua bola mata Anissa berkilat senang. Besok Bilal akan pulang dan berjanji untuk mendesain kamar anak mereka bersama-sama. Bahkan katanya, pria itu juga sudah membeli beberapa pernak-pernik kamar bayi yang lucu-lucu dari Eropa. Hati Anissa berdesir, dia sungguh tidak sabar ingin segera menyambut hari esok. Anissa sudah sangat rindu dan ingin memeluk suami tercintanya itu.

"A--apa?!" Omar tersedak dan mengakhiri sambungan telepon itu dengan perasaan hancur. Ponsel yang menempel di telinganya nyaris terjatuh kalau saja Omar tidak segera menagkapnya.

Anissa yang berdiri di sebelah Omar menatap pria itu tidak mengerti. "Tuan, Omar! Apa kau baik-baik saja?" tanya Anissa khawatir lalu tatapannya beralih pada adiknya. "Zili, kamu juga kenapa? Kok nangis?"

Lidah Azilika membelit. Namun tangisan gadis itu malah semakin pecah saat teringat sebuah pesan yang sangat mengejutkan dari Halimah.

"Ada apa dengan kalian? Kenapa kalian menangis seperti ini?" tanya Anissa semakin panik.

Pria bertopi hitam itu mengusap wajahnya gusar. Omar kehilangan kata-kata. Tangannya susah payah mengyeka air mata yang malah luruh semakin deras menuruni pipinya.

"Apa yang terjadi, Tuan Omar?" tanya Anissa semakin bingung.

"Sebaiknya kita pulang sekarang, Anissa," ajak Omar dengan suara parau.

Anissa mengangguk pasrah. Entah kenapa matanya menjadi ikut panas melihat Omar dan Azilika menangis seperti itu? Dia mengajak Azilika untuk segera menuju kasir dan membayar semua belanjaannya.

****

Setelah tigapuluh menit menempuh perjalanan, mobil sport Omar sudah berhenti tepat di depan kediaman Mustofa. Anissa merasa ada yang aneh siang ini, Omar tidak memarkirkan mobilnya dalam bagasi. Padahal pintu gerbang yang menjulang tinggi itu sudah terbuka lebar. Anissa segera turun dari mobil dan langsung membelalak mendapati puluhan mobil mewah yang sudah memenuhi area bagasi rumah mertuanya yang sangat luas itu.

"Apa yang terjadi? Kenapa rumah Sido jadi sangat ramai seperti ini?" tanya Anissa pada Omar. "Tuan, Omar! Jawab aku! Apa yang terjadi?!" tanya Anissa sekali lagi dengan intonasi tinggi.

Omar merapatkan bibirnya. Lidah pria itu semakin membelit. Hatinya masih tersentak dan pikirannya masih belum bisa mempercayai kabar buruk itu.

"Teteh, sabar dan harus tenang. Ayo kita masuk dulu ...," ajak Azilika seraya terisak. Gadis itu segera menggamit lengan Anissa dan menuntunnya untuk berjalan hingga sampai ruang tengah kediaman Mustofa.

Lantunan ayat suci dan isak tangis yang menggema dari dalam ruangan yang sangat luas itu membuat hati Anissa semakin berdebar-debar tidak karuan. Innalillahi! Siapa yang meninggal? Wajah Anissa berubah pucat. Kedua matanya terpejam sempurna. Rasa takut mulai meyergap hati dan pikirannya saat ini.

Sang waktu seolah berhenti bergulir saat langkah kaki Anissa semakin mendekati kerubungan orang-orang yang berpakaian serba hitam. Iiris hitamnya menatap nyalang wajah Mustofa yang tengah menangis dalam pelukan Fatimah. Mustofa bersimpuh di dekat tubuh tinggi seseorang yang terbujur kaku dan ditutupi kain kafan. Mata bundar Anissa semakin melebar saat Mustofa menatap ke arahnya dengan wajah basah dan mata sembab. Lelaki tua itu meraung-raung memanggil nama Bilal.

"TIDDAAKK ...!"

Detik itu juga Anissa berteriak histeris. Dia menggeleng cepat. Seketika kedua tungkai kaki Anissa lunglai tidak berguna. Air panas yang semula bergumul di pelupuk matanya pun luruh menuruni kedua pipinya dengan sangat deras.

"Tidak! Ini pasti ada yang salah. Suamiku masih di Eropa. Dia akan pulang besok!" tegas Anissa dengan sangat payah.

Halimah berjalan gontai menghampiri Anissa untuk menopang tubuh putrinya yang hampir tumbang. "Tenang, Nak. Sabar ya, Sayang. Kamu harus kuat dan ikhlas. Su---suamimu ... sudah pergi ...."

"TIDAK! TIDAK! SUAMIKU BELUM MENINGGAL, BU! INI PASTI SALAH! SUAMIKU SUDAH BERJANJI AKAN PULANG BESOK! BUKAN HARI INI! HIIKKS!"

Halimah dan semua orang yang ada di sana membekap mulut. Wajah Anissa terlihat sangat memelas dan menohok hati siapa pun yang melihatnya. Air mata Anissa terus berjatuhan lebih deras.

Anissa berjalan menghampiri jenazah suaminya dengan tergopoh-gopoh. Anissa menyingkap kain putih yang menutupi wajah jenazah itu dengan tangan yang gemetar. Anissa langsung membekap mulut dan merapatkan matanya. "Tidak! Mayat itu bukan Suamiku! Mayat itu bukan Suamiku!" Anissa kembali histeris. Tangisannya semakin pecah dan emosinya tidak terkendali. Wajah jenazah itu pucat, penyok, penuh luka lebam dan nyaris tidak dikenali. Namun bulu-bulu halus disekitar dagu dan rahangya memang sangat menyerupai sosok Bilal. Anissa berusaha bangun dari duduknya dan kembali meracau.

"Pulang semuanya! Di sini tidak ada yang meninggal! Dia bukan Suamiku! Ini pasti ada yang salah. Kumohon bawa mayat itu dari sini! Dia bukan Suamiku. Bukan! Tuan ...! Pulanglah kumohon ... pulanglah Tuan!"

"Anissa ... Istighfar, Nak. Tenangkan dirimu." Halimah mengelus punggung Anissa dengan air mata yang terus meluruh. Dadanya sesak melihat nasib putri kesanyangannya yang selalu dirundung musibah.

Suasana di kediaman Mustofa siang itu sangat mengharu biru. Hampir semua orang terisak dan menitikkan air matanya. Tatapan iba puluhan pasang mata itu tertuju pada perut Anissa yang besar. Mereka merasa kasihan pada nasib anaknya, bayi itu akan terlahir menjadi anak yatim. Bahkan, anak malang itu tidak diberi kesempatan untuk menatap wajah sang ayah.

Anissa menelan ludah pahit. Tenggorokannya terasa sangat perih dan kering. Dia menyeka air mata dan cairan bening yang terus mengalir dari lubang hidungnya menggunakan ujung kerudung. Dia sudah tidak peduli dengan penampilannya saat ini. Wajahnya sangat kusut, mata bundarnya pun sudah merah dan bengkak. Anissa berjalan dengan susah payah seraya memegangi perut besarnya yang bergolak. Anissa menghampiri Omar yang tengah duduk di anak tangga. Pria itu menunduk dalam dengan bahu yang berguncang hebat.

"Tuan, Omar! Katakan padaku di mana suamiku? Kenapa teleponnya tidak aktif? Tuan jawab!" gertak Anissa tidak sabaran. "Aku sudah menelponnya, tapi tetap tidak aktif. Di mana, Tuan Bilal? Di mana Suamiku?"

Omar mendongak. Mata pria itu juga sudah merah dan bengkak. Dia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Bersabarlah Anissa. Suamimu memang sudah ... tiada. Resort Suamimu di Eropa terkena ledakan bom. Hampir seluruh bangunannya hancur. Banyak korban yang meninggal dan luka-luka. Termasuk ... Bilal," papar Omar meluluh lantakkan hati Anissa.

Anissa menggeleng cepat. "Tidak mungkin ...!" sanggah Anissa seraya terisak.

Anissa menggenggam erat kain sorban putih yang Omar berikan dengan tangan gemetar. Dia sangat ingat, sorban itu memang sorban kesayangan suaminya. Sorban putih itu kini sudah berubah warna menjadi merah kecokelatan oleh bercak darah yang sudah hampir mengering. Anissa ingin menyangkal kenyataan pahit ini. NamunN sebuah kartu identitas milik Bilal yang dibawa bersama jenazah itu menguatkan bahwa dia memang Bilal suaminya.

"ASTAGHFIRULLAH! TIDAK! TIDAK MUNGKIN! SUAMIKU BELUM MENINGGAL! TIDAK! TUAAN ... KUMOHON PULANGLAH! JANGAN TINGGALKAN AKU! HIKKKSS ...."

BRUKK!

Semua orang histeris memanggil nama Anissa. Perempuan hamil yang malang itu ambruk dalam dekapan sang ibu.

****

Anissa terkulai lemah dalam dekapan sang ibu. Iris hitam beningnya memburam, menatap nyalang pada pusara suaminya yang sedang digali oleh beberapa lelaki dari kerabat Mustofa.

"Tuan ... Bilal! Bawa aku bersamamu saja! Aku ingin ikut denganmu! Kau jahat! Kenapa kau tidak mau mengajakku? Tuan ...." Tangan lemah Anissa melambai pada jenazah Bilal yang sedang diturunkan ke bumi.

"IBU ... IZININ ANISSA IKUT SAMA TUAN BILAL, BU! ANISSA TIDAK BISA TANPA DIA, BU! TUAN ... KUMOHON BAWA AKU PERGI BERSAMAMU ...!"

Suara Anissa nyaris hilang. Kata-kata yang terlontar dari mulutnya sangat kacau. Dia terus memberontak dan ingin membongkar kembali pusara Bilal yang sudah ditutupi tanah merah yang basah. Namun Omar dan Halimah segera menahan kedua tangannya. Hati Anissa porak poranda. Hati Anissa remuk bersama harapannya yang hancur berkeping-keping. Separuh dari jiwanya terasa menghilang. "Kenapa begini ya, Allah? Tuan ... aku sangat mencintaimu. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Kenapa kau pergi begitu cepat? Kenapa?" Anissa menahan napas merasakan sesak dan pedih yang menghunjam dadanya.

"Sabar, Teteh ...." Azilika mengusap punggung Anissa untuk memberi ketenangan. Gadis itu juga terus meluruhkan air mata.

Reem, Akbar dan Arshad pun ikut berbaur bersama ratusan pelayat lainnya. Mereka hanya bisa ikut merasakan kepedihan yang Anissa rasakan tanpa bisa berbuat lebih. Hanya doa-doa tulus yang terus mereka panjatkan untuk almarhum Bilal.

"Bahkan anak kita belum lahir ...," racau Anissa sangat payah. "Bukankah kau berjanji untuk menemaniku saat melahirakan, Tuan? Kau bilang akan menggenggam tanganku ... kau bilang, kau akan mengelapi peluhku, meniupi ubun-ubunku seraya berdoa. Kau ... kau bilang, kau akan menciumi keningku agar aku tidak merasakan sakit. Tuan ... kau bilang, kau ingin sekali menggendong anak kita lalu mengadzaninya. Kau sendiri yang akan memberinya nama bukan? Tuan ...." Mata perih Anissa terpejam sempurna. Dia menelan ludah pahit. Hati Anissa tersayat-sayat sangat perih.

Anissa tersenyum sangat manis. Namun luka dalam hatinya semakin meradang. Tangan mungilnya meraih gambar Bilal yang dibingkai pigura dengan hati yang remuk. Bahu Anissa berguncang hebat. Dia membelai lembut foto suaminya dengan perasaan hampa. Wajah tampan inilah yang sudah mencuri hatinya sejak pandangan pertama. Wajah rupawan inilah yang membuatnya tergila-gila. Selama ini ... begitu panjang dan sangat berat cobaan dan godaan Anisaa untuk mendapatkan cinta Bilal.

Di saat Bilal sudah membalas cintanya. Di saat bunga-bunga cinta tengah bermekaran di hati keduanya. Semuanya harus berakhir sampai detik ini. Kini ... cinta itu telah bermuara di atas pusara Bilal---mahluk Adam yang sangat Anissa cintai dengan segenap jiwa.

Anissa mengelus dada. Rasanya Anissa ingin marah, namun pada siapa? Anissa bukan tidak terima dengan takdir Tuhan. Namun dia hanya belum percaya dengan kenyataan pahit yang menyambar hatinya secara tiba-tiba.

"TUAAANNN ...! BAWA AKU MATI BERSAMAMU ...!"

"Astagfirullah! Anisaa ... sabar, Sayang. Inget kamu sedang mengandung. Kamu harus kuat demi anak kamu ...." Halimah merengkuh tubuh Anissa dalam pelukannya seraya terus terisak.

Bilal ...

Bagaimna aku bisa hidup? Sedangkan kau adalah napas dan detak jantungku.

Bagaimana aku bisa tersenyum? Sedangkan kehadirmu itu adalah bahagiaku.

Bagaimana aku bisa pulang?
Sedangkan hatimu adalah Istanaku, Semestaku. Tempatku bernaung dan berbagi segala rasa denganmu.

Lalu ... setelah kepergianmu, ke mana aku harus membawa diri? Bagaimana aku harus menata hati yang telah remuk ini?

Ke mana harus kucari pengobat rindu? Sedangkan kaulah penawar dari rinduku.

Bilal ...

****

TAMAT sekarang boleh? 😆

Hikkksss! Nyesek sendiri. Seandainya aku nulis cerita ini di buku, mungkin lembaran kertas ini sudah basah tak berbentuk. Karena setiap kata yang kuketik, air mata inipun tumpah begitu saja. Ughh ... 😭

Coming soon ...

KUPU-KUPU DI TENGAH GAZA

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro