27 | Kehilanganmu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepasang iris hitam milik Anissa tidak pernah mengering dari genangan air mata kepedihan. Anissa berdiri di teras rumah dengan tatapan lurus ke arah gerbang yang tak kunjung menampakkan wajah suaminya. Sunyinya angin malam yang berembus kencang menusuk palung hatinya yang dirundung rindu.

"Anissa ... tidurlah, Nak. Ini sudah larut malam, kasihan anakmu. Kau harus banyak istirahat," titah Mustofa lembut.

Anissa menoleh seraya tersenyum sangat manis sebelum berujar, "Tidak, Sido. Aku sedang menunggu suamiku. Tuan Bilal, sudah berjanji akan pulang hari ini. Tapi kenapa lama sekali ya? Apa mungkin pesawatnya delay?"

Mustofa membekap mulut. Hati lelaki tua itu tertohok mendengarnya. Menantunya  pasti sangat terpukul atas kepergian Bilal yang sangat mendadak seperti ini. Namun, inilah takdir kematian yang memang selalu menjadi sebuah misteri dan tidak bisa terbantahkan.

"Aku mengerti perasaanmu, Nak. Kehilangan seseorang yang dicintai memang sangat sakit. Aku pun sangat terpuruk saat Fareeda meninggal dulu. Tapi kau harus ikhlas dan tegar dengan musibah ini. Percayalah, Allah akan mengganti kepedihanmu dengan pahala kebaikan di sisi-Nya. Insyaa Allah, Bilal sudah tenang di sana dan kita pun akan menyusulnya kelak."

Perkataan Mustofa menjatuhkan semua harapannya yang semu. "Anissa ikhlas, Sido. Hanya saja, Anissa merasa kalau, Tuan Bilal masih hidup ...." Anissa menghambur dalam pelukan Mustofa. Air matanya luruh begitu saja dengan sangat deras.

"Menantu kesayangan Sido harus kuat. Sebentar lagi kau akan melahirkan cucuku, jadi kumohon jangan berlarut-larut dalam kesedihan seperti ini. Sebaiknya kita mengirimi doa-doa terbaik untuk Bilal." Mustofa mengusap lembut punggung Anissa.

Anissa mengangguk walaupun sangat sulit baginya untuk ikhlas merelakan kematian Bilal. Kenyataannya, jutaan tetes air mata yang telah ia tumpahkan pun tidak akan pernah bisa mengembalikan orang yang telah berpulang kepada--Nya.

****

BIL'AN resort merupakan resort kedua yang Bilal bangun di Eropa setelah BIL'YAS resort. Pria berdarah Bagdad itu memang sengaja menamai resort miliknya menggunakan gabungan nama Bilal dengan nama Yasmeen dan Anissa. Sebagai bukti cinta, katanya. BIL'AN resort sendiri terletak di kota Praha, Republik Ceko, Eropa bagian timur.

Jum'at malam itu, Bilal tengah mengadakan Gala dinner dalam rangka merayakan resort barunya yang sudah mulai beroperasi. Gala dinner yang berlangsung mewah dan meriah serta diiringi beberapa pertunjukan spektakuler itu diadakan di grand ballroom hotel yang bisa menampung kurang lebih sekitar 500 orang. Selain rekan-rekan sejawatnya, para staff dan tamu hotel, tak sedikit juga warga setempat yang ikut hadir untuk menikmati jamuan makan malam spesial tersebut.

Setelah memberikan sambutan pada para tamu undangan yang hadir, malam itu Bilal berniat untuk melakukan shalat isya di sebuah mushola dalam resortnya. Namun naas, baru saja Bilal selesai berwudhu, pria bersorban itu harus kehilangan kesadarannya akibat pukulan benda keras yang menghantam bagian belakang kepalanya tanpa permisi.

Dalam sebuah jip, Bilal yang setengah sadar sempat mendengar dentuman bom yang begitu nyaring merobek gendang telinganya. Susah payah Bilal menoleh walau dalam cekalan tangan dua orang pria berbadan kekar di samping kanan dan kirinya. Iris cokelat terangnya menatap nanar resort berinterior megah yang tadinya ingin Bilal hadiahkan untuk Anissa. Resort itu baru saja rampung dibangun, namun dalam hitungan menit, ledakan bom berskala besar telah memporak porandakannya. Bencana itu telah meregang puluhan korban nyawa dan ratusan orang cidera. Bilal sempat memberontak, namun hantaman keras kembali menyerang punggungnya hingga membuat pria itu kembali ditelan oleh kegelapan.

"Baby ...."

Suara itu membuat Bilal membuka matanya setelah 48 jam tidak sadarkan diri. Bilal terbelalak saat mendapati dirinya tengah terlentang di atas ranjang dengan kedua tangan dan kaki yang sudah terikat rantai besi.

"Tenangkan dirimu, Baby."

"Perempuan iblis! Apa yang kau lakukan padaku?!" gertak Bilal dengan rahang yang kian mengeras. Dia menggerakkan tubuhnya susah payah, namun sial, ikatan rantai besi itu sangat kuat sekali.

"Ck! Bilal ... Bilal ... kau selalu saja memanggilku iblis eh? Biar kutunjukan padamu bagaimana sosok iblis yang sesungguhnya!" Soraya menyeringai diiringi tawa setan yang menggema dalam sebuah gudang kedap suara tersebut.

Bilal menggeliat saat wanita itu menduduki perutnya tanpa permisi. "Soraya! Turun dari tubuhku!"

"Memohonlah, Baby." Soraya mengeluarkan sebuah pisau runcing yang mengkilat tajam dari saku jaketnya.

Bilal menelan ludah pahit. Soraya benar-benar sudah tidak waras. "Jauhkan pisau itu, Soraya!"

"Kenapa hm ... kau takut, Baby?" Soraya menjilati ujung mata pisau itu dengan gerakan lamban. Membuat lelaki yang berada di bawahnya meringis linu.

"Aku tidak akan melukaimu selama kau menjadi lelaki yang penurut."

"Apa yang kau inginkan?"

"Cintamu! Hanya cintamu!"

Bilal memiringkan senyumnya. "Jadi kau meledakkan resortku dan membunuh banyak orang hanya untuk mendapatkan cintaku?" Bilal berdecih. "Sampai mati pun aku tidak akan pernah mencintai wanita berhati iblis sepertimu, Soraya."

"Dan sampai ke ujung neraka pun aku tidak akan pernah menyerah untuk mengejar cintamu, Bilal!"

"Kau gila."

"Ck! Aku memang sudah gila karenamu. Bahkan, keluargamu sudah menganggap dirimu meninggal, Bilal ...." Soraya terkekeh-kekeh seraya menghunuskan ujung mata pisau itu tepat di jantung Bilal.

"A---apa maksudmu?"

Tangan wanita itu membelai lembut wajah Bilal yang basah karena keringat dingin yang terus menetes dari pelipisnya. "Apa kau lupa, Bilal? Dengan milyaran dinar yang kumiliki, menyewa teroris buronan dunia bukanlah hal yang sulit untuk kulakukan. Aku juga sengaja menyuruh mereka mengirim mayat beridentitas dirimu pada keluargamu, Baby. Agar kau bisa tetap di sini dan menjadi milikku selamanya. Hanya milikku!"

"Bedebah kau, Soraya! Kau gila!" Bilal memasang wajah garang. Pria itu menguatkan gertakkan gerahamnya seraya melempar tatapan tajam pada wanita sinting di atasnya.

"Kau sendiri yang menyebabkanku bermain gila seperti ini, Bilal! Aku sudah terlanjur sakit hati olehmu!" pekik Soraya tak kalah garang.

Kedua mata Bilal melebar sempurna. Rasa gelisah mulai menyergap hati dan pikirannya. Bagaimana dengan keadaan keluarganya? Anissa ... istrinya itu pasti sangat terpukul atas kabar kematian Bilal. Terlebih lagi Anissa tengah hamil tua. Anissa, Habibti ...

"Lepaskan aku, Soraya!"

"Tidak, Bilal. Kali ini aku tidak akan pernah melepaskanmu. Lupakan saja semua masa lalumu karena kita akan segera memulai hidup yang baru." Soraya melempar pisau itu kesembarang arah. Dia menunduk dengan napas yang memburu. Detik berikutnya, bibir Soraya yang sensual itu menjelajahi dada bidang Bilal yang telanjang.

Tubuh pria itu menggelinjang jijik tidak karuan. Bilal susah payah mencoba untuk melepaskan diri dari rantai besi yang mengikatnya, namun tidak bisa. Terlebih lagi, wanita sialan itu terus saja menggerayangi tubuhnya dengan sangat rakus. "Soraya, hentikan! Kau benar-benar sudah tidak waras! Astagfirullah hal'adzim wa'atubu ilaih!"

****

Kepergian Bilal telah seminggu berlalu. Rasa rindu yang menggebu membuat semangat hidup dan senyuman Anissa menghilang ditelan bumi. Namun kini perempuan hamil itu tidak meraung-raung seperti dulu. Sekarang Anissa lebih sering menangis dalam diam. Anissa tidak ingin membuat keluarganya ikut larut dalam kesedihannya. Lagipula, sebentar lagi dia akan menjadi seorang ibu dan dia harus tegar demi anaknya.

Hamparan perkebunan bunga lavender itu membentang luas di antara bukit-bukit tinggi di kanan dan kiri jalan. Anissa dan Bilal menghabiskan senja ditemani angin sejuk yang sangat ramah menyentuh kulit. Mereka berdua duduk di atas tikar yang tergelar sempurna pada rumput hijau yang tidak terlalu panjang.
Keduanya memandang ribuan tangkai bunga berkelopak ungu yang menyembul di antara dedaunan hijau itu.

"Apa makna kata cinta menurutmu, Tuan?" tanya Anissa tiba-tiba.

Bilal berdehem pelan sebelum menjawab, "Cinta itu ... menyatukan dua hati yang berbeda, menyatukan dua karakter yang berbeda, menyatukan dua kepribadian yang berbeda dan cinta mampu menyempurnakan setiap kekurangan apa pun dari pasangan kita."

Anissa tersipu mendengarnya. Hatinya berdesir saat Bilal membawa kedua tangan mungilnya untuk menyentuh rahang tegas Bilal yang ditumbuhi rambut hitam halus.

"Kalau menurutmu ... apa makna cinta itu, Anissa?"

"Cinta itu, sebuah rasa yang mampu membuatku lupa bagaimana caranya untuk bernapas, cinta mampu membuat degup jantungku berdegup gila walau hanya mendengar suaranya. Cinta ... adalah sebuah rasa yang indah yang mampu membuat bibirku selalu ingin tersenyum walau hanya dengan membanyangkan wajahnya."

"Benarkah begitu, hm?" tanya Bilal setelah menarik tubuh istrinya dalam pangkuan.

"Hmm .... Tuan, kenapa kau sangat suka memangkuku seperti ini?"

"Karena tubuhmu yang mungil ini sangat nyaman untuk dipeluk, Habibti."

"Memangnya kau tidak merasa keberatan? Padahal aku sedang hamil."

"Sama sekali tidak, Anissa. Aku sangat senang memelukmu dan aku ingin terus memelukmu seperti ini. Karena dengan memelukmu seperti ini, hatiku merasa hangat dan damai," ujar Bilal seraya mengeratkan pelukannya. Sesekali pria itu mengelus-elus perut Anissa yang kian membuncit.

Anissa tersenyum lebar mendengarnya. Hatinya pun menghangat merasakan setiap getaran cinta yang Bilal berikan. "Aku pun sangat nyaman saat kau peluk seperti ini."

"Dan ... yang paling kusuka adalah, agar aku bisa memakan pipimu seperti ini!" ujar Bilal seraya menciumi pipi Anissa dengan sangat gemas. Bahkan, Bilal juga mengigit-gigit kecil pipi Anissa, menghisapnya, menciumnya tanpa ada rasa bosan. Terus saja seperti itu hingga pipi Anissa merah dan bengkak.

"Hei ... Tuan, hentikan! Itu sakit."
Lalu mereka pun tertawa renyah bersama-sama.

"Teh, cat temboknya mau warna biru semua nih? Gak mau campur merah atau pink gitu?" tanya Azilika menjatuhkan Anissa dari kenangan indahnya dengan Bilal. Saat ini Azilika tengah membantu mendesain kamar untuk calon keponakannya bersama Omar.

Anissa tergagap. "Eh--iya--biru aja. Soalnya kan Teteh belum tau anaknya cowok atah cewek. Jadi warnanya yang netral aja."

"Eleuh ... emang sengaja gak di USG biar kejutan gitu ya, Teh."

"Iya ...." Anissa tersenyum samar menyembunyikan lukanya. Tadinya dia memang ingin membuat kejutan untuk suaminya. Tapi ...

Anissa menahan napas saat anaknya menendang-nendang perutnya dengan cukup kuat. Sepertinya bayi itu sangat sehat dan aktif. Kedua tangan Anissa mengusap lembut perutnya dengan perasaan haru. "Anak ibu, sayang ... anak Ayah ...," ujarnya dengan isak yang tertahan.

Omar yang tengah menempelkan stiker berbentuk bintang di dinding kamar menoleh ke arah Anissa. Pria bertopi itu menghela napas, merasa sangat kasihan pada Anissa. "Pihak kepolisian masih menyelidiki kasus ledakan bom di Praha. Dugaan sementara masih tertuju pada komplotan teroris yang melakukan bom bunuh diri!" ujar Omar membuat Anissa menoleh ke arahnya.

"Semoga pelakunya cepat tertangkap, Tuan Omar!" ujar Anissa penuh harap.

Omar mengangguk pelan. "Kau harus kuat, Anissa. Di atas sana, Bilal pasti tenang jika melihatmu tegar seperti ini. Kau harus tetap semangat!"

Anissa tersenyum pedih lalu mengangguk. "Insyaa Allah. Aku tinggal ke dapur dulu. Apa kau mau kubuatkan kopi?"

"Tidak usah Anissa, mataku masih cukup segar." Ekor mata Omar melirik ke arah Azilika yang sedari tadi mencuri-curi pandang ke arahnya.

Anissa tersenyum manis mendengar perkataan Omar. "Zili, awas jangan macem-macem ya! Teteh tinggal dulu," ujar Anissa sebelum berlalu.

"Asiyaaaap grak! Tetehhh ...."

"Sini, biar aku aja yang ngecat!" ujar Omar seraya memegang gagang kuas yang Azilika genggam.

Dalam hitungan menit kedua pasang bola mata itu akhirnya saling bertemu. Merajut benih-benih cinta yang entah kapan akan berlabuh?

"Lho, Aa bisa ngomong bahasa Indonesia? Fasih banget lagi," tanya Azilika setelah beberapa detik yang lalu menahan napas.

"Google translate."

"Amsyoong ...! Bela-belain nanya Mbah google buat ngomong sama Zili doang gitu? Duh, jadi lumer kan hati Adek ...." Azilika meninju lengan Omar seraya mengulum senyum. "Eh, astagfirullah! Maaf bukan mahrom, Zili khilaf."

Gadis mungil itu segera menangkup kedua pipinya yang terasa panas dan merona. Azilika segera berbalik untuk menyusul Anissa ke dapur. Azilika tidak ingin mati muda, karena berdekatan dengan Omar seperti tadi bisa berpotensi membuatnya terkena serangan jantung.

Omar tersenyum geli seraya menggeleng. Entah apa yang barusan gadis itu katakan? Kata-katanya terlalu panjang dan sulit untuk diingat oleh Mbah google.

"Tunggu!"

Suara Omar menghentikan langkah Azilika yang sudah berada di ambang pintu.
"Apa?" tanyanya setelah berbalik dengan kedua alis yang menaut.

"Kamu cantik." Omar melengkungkan kedua sudut bibirnya ke atas.

Senyuman Azilika merekah dengan sempurna, memamerkan lesung manis di kedua pipinya yang sedikit tebal. "Syukron, Aa ...!" pekiknya kegirangan.

Omar mencium ponsel canggih kesayangannya setelah Azilika menghilang di balik pintu. "Kau sangat bermanfaat."


Bilal ...

Aku sangat merindukan mata indahmu, suaramu, pelukanmu, sentuhanmu dan semuanya tentangmu.

Apakah di sana kau bisa merasakan getaran dari rinduku?
Aku kehilanganmu ...

****

Semoga feel-nya dapet. Entahlah ... hanya itu yang mampu kutulis. 😔😻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro