29 | Cinta Anissa Dan Bilal ( ending )

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ini adalah part terakhir yang akan aku up di wp. Tapi ini bukan ending ya. 😂

Bacanya pelan-pelan agar tidak gagal paham. Soalnya part ini panjangnya melebihi rel kereata api.

Lagu di mulmed itu suara hati Anissa dan Bilal. Silahkan didengarkan, lagunya sangat menyayat hati.

Selamat membaca. ^ ^

*

Senda gurau yang terurai dari Azilika, Adiba dan Arsyla menghangatan suasana di kediaman Mustofa yang masih berkabung duka atas kepergian Bilal. Walaupun mereka tidak bisa berbahasa Arab, ketiga gadis kecil itu terlihat begitu akrab bermain monopoli dengan kakek Mustofa. 

"Yaa ...! Azilika kok masuk penjara sih?"

"Haaa! Syukurin. Makanya, Teh Zili jangan curang!"

"Biarin ... awas ya! Teteh bilangin sama Aa Omar jangan beliin kalian ice cream lagi."

"Memangnya kita takut? Om Omar kan baik. Wleee ...." Adiba dan Arsyla menjulurkan lidahnya. Kekehan mereka yang menggemaskan mengundang gelak tawa dari Halimah, Fatimah dan Mustofa.

"Pikasebeleun!" Azilika menekuk wajah.

Gadis itu mengutak-atik ponselnya untuk mengusir rasa kesal. Azilika mengulum senyum saat matanya menemukan gambar Omar yang sedang terlelap di sofa tamu seraya memeluk guling bermotif Doraemon kesayangannya. Foto itu Azilika yang mengambilnya secara diam-diam saat dia bermain ke rumah Fatimah.

Zili gemesss, ya Allah. Jodohkanlah hamba dengan Aa Omar, tapi kalau memang tidak berjodoh, pokonya harus tetap dijodohin.

Secangkir teh hangat dan kacang-kacangan Arab menemani Halimah dan Fatimah yang ikut menyaksikan keceriaan mereka. Sedangkan perempuan berhijab merah marun duduk menyendiri seraya memeluk perutnya yang tampak semakin besar. Saat ini keluarga Mustofa tengah bercengkrama di beranda depan, sambil menikmati sejuknya angin senja yang lembut membelai kulit.

Anissa merasa sendiri di tengah-tengah keramaian seperti ini. Hatinya hampa, sepi dan sunyi.  Kehilangan suami yang sangat ia cintai membuat Anissa lupa bagaimana rasanya bahagia.

Keceriaan mereka hilang dalam sekejap mata. Tiba-tiba saja tiga orang lelaki berpakaian serba hitam datang di tengah-tengah keceriaan keluarga Mustofa.

"Si---siapa kalian?!" Mustofa berdiri dari duduknya dengan dahi yang berkerut.

Semua orang tercengang dan ikut berdiri. Si kembar Adiba dan Arsyla bersembunyi dalam dekapan Halimah. Sedangkan Azilika memeluk lengan Fatimah. Gadis itu menangis dan menjerit ketakutan.

Anissa memekik saat tangannya ditarik secara paksa. "Lepaskan aku! Siapa kalian?"

"Diam! Jangan berontak. Ikut saja dengan kami kalau kau tidak ingin peluru ini menembus kepalamu," gertak salah satu dari mereka. Lelaki itu mencekik leher Anissa lalu menempelkan moncong pistol di pelipisnya.

Napas Anissa tersekat. Air matanya luruh membanjiri kedua pipinya. Tangan mungilnya menyentuh pergelangan tangan penjahat itu. Berharap agar dia melepaskan cekikkannnya. Anissa semakin tidak mengerti, saat sebuah kamera ponsel membidiknya dalam keadaan seperti itu. Tubuh Anissa gemetar. Kelopak mata pun terpejam sempurna.

"Lepaskan menantuku!" Mustofa memukuli kepala penjahat itu menggunakan tongkatnya. Namun penjahat yang lainnya mendorong tubuh kakek renta itu dengan sangat kasar hingga Mustofa terpental jauh.

Napas Mustofa terengah-engah. Lelaki renta itu mencoba untuk kembali berdiri dengan tergopoh-gopoh.  Mustofa harus menyelamatkan menantuya.

DORR!

Lelaki itu tersenyum lebar di balik penutup wajahnya. Timah panas yang melesat dari pistolnya tepat sasaran menembus perut Mustofa. "Mati kau, Kakek tua!"

"KAKEK ...!"

Semua orang histeris menghampiri Mustofa yang terkapar di lantai. Mata Mustofa melebar sempurna. Dia terbatuk memuntahkan darah. Cairan merah segar pun perlahan mengalir dari perutnya yang berlubang. Darahnya sangat banyak memerahi jubah putih yang Mustofa kenakan.

"Sido ...!" Anissa berteriak parau.

Dia memekik kesakitan karena  penjahat itu menyertnya dengan kasar. Anissa kesusahan harus berjalan mundur seraya memegangi perut buncitnya yang bergolak. Janin itu pun seolah merasakan bahwa sang ibu dalam bahaya. Anissa dibawa menjauh dari keluarganya entah ke mana.

"Teteh, Anissa ...!"

"Anakku ...!"

"Men--nan--tu---ku----" Mustofa ditelan oleh kegelapan.

"KAKEK, MUSTOFA ...!"

Semua orang berteriak panik. Air mata kembali membanjiri keluarga Mustofa. Di penghujung senja itu benar-benar kacau.

Fatimah mengambil ponselnya untuk menelepon ambulan dan polisi dengan tubuh gemetar. Wajah basahnya terlihat tegang dan merah. Dia sudah mencoba  menghubungi Omar puluhan kali. Namun sama sekali tidak ada jawaban dari puteranya itu.

****

Anissa terus diseret kasar hingga memasuki sebuah gudang yang sangat luas. Bulu kuduk Anissa seketika meremang karena gudang itu tampak pengap dan gelap. Bekas pijakan kakinya yang tidak beraturan membuat debu-debu pada lantai hitam itu berterbangan. Sehingga membuat Anissa mengerutkan hidung lalu bersin-bersin.

"Apa kita akan membunuh wanita hamil ini sekarang, Subhi?" tanya salah satu dari penjahat itu.

Anissa membelalak. Nama Subhi sangat tidak asing lagi baginya. Dia adalah tukang kebun keluarga Mustofa. "Subhi? Kau ...."

"Kenapa, Nona Anissa? Kau terkejut heh?" Subhi membuka penutup wajahnya. Lelaki berkumis tipis itu menarik sudut bibirnya ke samping.

Anissa menatap Subhi tidak mengerti. Keningnya berkerut dengan peluh yang mulai mengucur dari pelipisnya. "Kenapa kau lakukan ini padaku, Subhi?"

Anissa sangat tidak menyangaka. Wajah Subhi selalu terlihat ramah dan murah senyum selama ini. Kerjanya juga sangat rajin dan apik.

Tapi nyatanya, ekspresi wajah seseorang terkadang memang tidak selalu sesuai dengan isi hati dan pikirannya.

Subhi mengusap rahangya. "Kau akan segera mendapatkan jawabannya, Nona. Bersabarlah."

"Sepertinya bibirnya sangat manis. Aku jadi ingin mencicpinya!" Lelaki berkulit hitam itu bersiul. Ekor matanya melirik Subhi yang mengangguki perkataannya.

"Jangan!"

Anissa menggeleng cepat seraya mundur beberapa langkah untuk menjauh. Dia menarik ujung kerudungnya lalu menutupi wajahnya sampai batas hidung. Sehingga hanya menyisakan sepasang iris hitamnya saja yang terus berair.

"Bagaimana kalau kita bermain-main dulu dengannya?"

"Ide bagus. Sepertinya memperkosa wanita hamil akan sangat menyenangkan!" ucap lelaki gendut diiringi tawa yang sangat mengerikan. Seketika kekehan renyah pun memenuhi gudang tersebut. Seolah wajah ketakutan Anissa adalah sebuah lelucon yang sangat lucu.

"Tidak! Kumohon jangan lakukan itu! Subhi kumohon izinkan aku pulang ...."

Anissa mengedarkan pandanganny ke sekitar. Berharap ada benda apa saja yang bisa dia jadikan senjata untuk melawan. Akan tetapi gudang itu kosong.

"Ya Allah! Kumohon lindungilah aku dan Anakku!"

Subhi besidekap seraya terkekeh-kekeh melihat Anissa yang ketakutan setengah mati. Dia tidak peduli sama sekali, yang penting, ribuan dinar yang Soraya berikan akan terus mengalir memanjakan ketujuh anak dan dua istrinya di kampung.

Seringaian di wajah mereka sangat mengerikan di mata Anissa. Tatapan mereka seperti binatang buas yang ingin memangsa tubuhnya. Tubuh Anissa semakin gemetar.

"TOLONG ...! KUMOHON SIAPA PUN TOLONG AKU!"

Anissa meronta saat kedua tangannya dicekal dengan sangat kasar. Tangan besar Subhi mulai membelai pipi Anissa yang merah dan basah.

"Pantas saja Bilal sangat menggilaimu. Kau memang sangat cantik!"

"JANGAN LAKUKAN INI PADAKU! KUMOHON LEPASKAN AKU!"

Suara Anissa nyaris hilang. Anissa menelan ludah. Wajahnya terlihat sangat memelas dengan air mata yang terus luruh menuruni kedua pipinya. Anissa merapatkan mata seraya terus menggeleng dan berdoa dalam hatinya. Apakah hidupnya akan berakhir mengenaskan seperti ini? Apa salah Anissa? Bahkan perempuan malang itu sedang hamil tua. Tapi kenapa ketiga lelaki jahat ini tidak punya hati nurani sama sekali? Mereka malah terus mengerayangi tubuh Anissa yang lemah tanpa bisa melawan sedikit pun. Anissa terus meronta dan menjerit sekencang-kencangnya.

Bibir Subhi nyaris menyentuh bibir Anissa yang terkatup rapat. Tangan besarnya mencekik leher Anissa dengan sekuat tenaga agar perempuan hamil itu tidak berkutik.

"JANGAN SENTUH ISTRIKU!"

Suara berat yang penuh amarah itu membuat Subhi tersentak dan melepaskan Anissa. Semua orang menoleh ke arah sumber suara yang sama.

"BAJIINGANN KAU, SUBHII!"

Bilal berteriak murka. Pria jangkung itu berdiri di ambang pintu dengan rahang mengeras seraya mengepalkan kedua tangannya. Billa tidak menyangka lelaki yang sudah berkerja denganya selama tujuh tahun itu menghianatinya sekeji ini.

"Aku tidak menyangka, ternyata kau mempunyai banyak musuh dalam selimut, Bilal."

Omar melirik Bilal prihatin. Dia bersusah payah mencoba untuk melepaskan diri dari dua lelaki yang mengekang tangaannya yang sudah terborgol.

Soraya tersenyum puas. Sepertinya ini akan sangat menyenangkan. Wanita itu bergelayut manja dan menyandarkan kepalanya di pundak Bilal.

"Kau sangat licik, Soraya!"

Bilal menarik lengannya kasar. Kemudian dia mendorong Soraya hingga bibir wanita sinting itu mencium lantai. Bilal segera berlari menghampiri Anissa yang tengah mematung menatapnya.

Anissa membelalak. Dunia seolah berhenti berputar. Pria yang sangat dia rindukan kini ada di depan matanya. Anissa membekap mulut.  "Tu--tuan!" panggilnya terbata.

"Anissa, jangan takut. Aku ada di sini. Aku sangat merindukanmu. Aku sangat mencintaimu."

Secepat kilat, Bilal menarik tubuh Anissa dalam dekapannya. Bilal mengusap-usap punggung Anissa dengan lembut, lalu dia berjongkok untuk menciumi perut besar Anissa. Dada Bilal bergemuruh.

"Tuan, apakah aku sedang berhalusinasi? Apakah ini benar dirimu?"

Anissa mendongak, mengunci sepasang iris cokelat terang milik suaminya yang berkaca-kaca. Mata indah itu sudah empat bulan lebih menghilang dari pandangannya.

"Tidak, Anissa. Ini aku, suamimu. Bukankah aku sudah berjanji untuk menemanimu melahirkan anak kita? Aku masih hidup, Habibti."

Bilal yersenyum sangat manis. Lalu dia menempelkan bibirnya pada puncak kepala Anissa. Kini air matanya tidak dapat terbendung lagi.

Hati Anissa menghangat. Ia mengucap ribuan syukur dalam hatinya. Anissa semakin menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Bilal. Bibir Anissa mengembang saat merasakan irama jantung suaminya yang sudah lama tidak ia dengar.

"Akkhh!" Anissa mnjerit ketika ujung kerudungnya ditarik dari belakang.

"Wanita tidak tahu diri! Kau sangat tidak pantas berdampingan dengan Bilal!''

Soraya mendesis. Tangannya menarik kerudung Anissa semakin erat. Kemudian dia membenturkan kepala Anissa ke tembok dengan sangat keras hingga darah segar mengalir dari pelipisnya.

"SORAYAAA ...!"

Dada Bilal sesak melihat semua itu. Bilal beringsut, berusaha menghampiri Anissa. Namun kedua tangannya sudah diborgol oleh Subhi dan temannya. Pria itu justru mendapat hantaman keras pada tengkuknya.

"KUMOHON HENTIKAN, SORAYA ...!"

Bilal histeris melihat Anissa yang tengah diseret oleh Soraya begitu sadis. Sekujur tubuhnya ikut merasakan sakit ketika dilihatnya Anissa ditampar Soraya berkali-kali.

"Akkhh! perutku! Perutku ... sakiiiittt! Haaahh!"

Anissa mengelusi perutnya. Perutnya sangat mulas dan seperti diaduk-aduk. Mulut Anissa terbuka, dia kesulitan untuk benapas. Wajah pucatnya semakin pasi dengan bibir yang membiru. Janin dalam kandungannya sepertinya tengah berkontraksi.

"Aku mohon padamu, Soraya! Jangan sakiti istri dan anakku!"

Soraya mendengus. Iris zambrud miliknya kian berang dengan rahang semakin mengeras.

"Tidak, Bilal! Wanita sialan ini harus mati! Jika aku tidak pernah bisa mendapatkan cintamu, maka dia pun tidak boleh memilikimu!"

"Demi Allah! Jangan bunuh Anissa ...!"

Wajah Bilal tampak memelas. Air matanya berjatuhan tanpa jeda. Bagaimanapun caranya dia harus menyelamatkan Anissa. Bilal tidak ingin kehilangan istrinya lagi. Terlebih lagi Anissa tengah mengandung anaknya, darah dagingnya.

Soraya semakin mengeraskan genggamannya pada pisau tajam di tangannya. Dia berjongkok dan menepuk keras perut buncit Anissa tanpa ada rasa belas kasihan sedikit pun. Hati nuraninya sebagai seorang wanita entah hilang ke mana? Api cemburu yang membakar dadanya telah membutakan hati Soraya. Dia merasa direndahkan. Bilal sangat kejam karena lebih memilih mencintai perempuan miskin ini dibandingkan dirinya yang nyaris sempurna.

"Persetan dengan dosa! Aku memang sudah terlanjur banyak membunuh! Semua hanya karena aku ingin mendapatkan cintamu, Bilal!"

Soraya melempar tatapan tajam pada Bilal yang berdiri tak jauh darinya. Iris zambrudnya menggelap. Seringai di wajahnya pun terlihat semakin mengerikan.

Bilal tersedak. Tenggorokannya terasa kering dan sangat perih. Bagaimana lagi caranya untuk membujuk Soraya? Bilal tahu betul, hati Soraya sekeras apa.

Sekujur tubuh Anissa mengejang saat cairan encer menyembur banyak dari bagian intimnya. Anissa merasa seperti sedang mengompol. Rasa panas menjalar di sekitar punggung dan pinggulnya. Anissa mengangkang, Anissa harus kuat untuk melahirkan anaknya ke dunia dengan selamat. Susah payah Anissa mengatur napasnya. Rasa mulas di perutnya semakin menggila dan sangat sakit hingga ke ulu hati. Bagian bawahnya pun sudah terasa linu dan perih. Bayi itu sudah ingin keluar dari rahimnya. Air ketubannya sudah pecah.

"Waaah! Sepertinya bayimu akan segera lahir, eh? Bagaimana kalau aku membantumu untuk mengeluarkannya?" Soraya menyeringai layaknya seorang iblis. "Biar kubelah perut buncitmu dengan pisau ini."

Soraya menempelkan ujung mata pisau itu tepat di atas perut Anissa. Wanita itu terkekeh-kekeh dengan sangat lantang, hingga dadanya mengembang dan bahunya berguncang.

Anissa membelalak. Seluruh tenaganya sudah hilang. Dia bahkan tidak mampu lagi untuk merintih. Anissa menganga, dia menjerit tanpa suara. Matanya membengkak dengan wajah yang kian memerah. Air matanya tumpah semakin deras membanjiri pipinya.

"SORAYA! ANISSA HARUS SEGERA DIBAWA KE RUMAH SAKIT. KUMOHON JANGAN BUNUH ISTRIKU!!"

Soraya tidak peduli. Dia justru mengangkat pisau tajam dalam genggamannya. Dia sudah sangat siap untuk menancapkannya di perut Anissa.

"Aku berjanji akan menikahimu." Suara Bilal melemah. "Tapi kumohon jangan sakiti Anissa, kumohon." Lutut Bilal ambruk menyentuh lantai. Dia mengangkat kedua tangannya yang terborgol di depan dada, Bilal mngemis. Bahu Bilal berguncang hebat. Demi Allah! Dia sudah tidak sanggup lagi melihat Anisaa tersiksa seperti itu. Hatinya terasa sangat pedih. Bilal melempar tatapan sendu pada Anissa dan Soraya secara bergantian.

Anissa mengeleng lemah. Demi apa pun, Anissa tidak ingin Bilal menikahi wanita jahat seperti Soraya.

Soraya menahan pisaunya di udara. Kata-kata Bilal sedikit menarik perhatiannya. Bukankah ini yang dia inginkan selama ini? Menikah dengan pujaan cintanya? Tapi ... bagaimana kalau Bilal berbohong?

"Tidak! Aku sudah terlanjur sakit hati, Bilal. Aku akan tetap membunuhnya!" tegas Soraya mutlak.

Bilal menelan ludah pahit. Dia tidak bisa berkutik. Sekujur tubuhnya terasa lumpuh tidak berguna. Bagaimana bisa dia hanya bergeming menangisi Anissa yang sedang meregang nyawa seperti itu? Bilal mengutuk dirinya sendiri yang tidak mampu menolong Anissa sedikit pun.

DOORR!

Tubuh Bilal terpental di sisi Anisaa. Timah panas berhasil menembus punggung tegap pria itu. Seseorang telah menembaknya.

"BILAALLLL ...!"

Soraya tercengang dan menjatuhkan pisaunya. Dia berdiri dan menatap satu-persatu wajah teroris yang disewanya. Wajah Soraya membara. Ia bahkan bisa mendengar aliran darahnya yang liar.

"Siapa yang menembaknya?!"

Tangan Soraya mengepal sempurna. Iris zambrudnya semakin menggelap. "Siapa yang menembak Bilal? Jawab!"

"Aku, Sayang!" Pria itu tersenyum lebar. Dia meniupi moncong pistol miliknya dengan begitu santai.

Soraya membelalak. Wanita itu tersedak. "Ka--kareem!"

Kareem terkekeh-kekeh. "Bagaimana, kau terkejut, Soraya?"

Sama seperti Soraya yang telah buta karena cinta. Kareem pun sama gilanya. Lelaki berambut pirang itu adalah mantan suaminya, mereka dijodohkan. Setelah satu bulan menikah, Soraya sudah meminta cerai karena ingin kembali mengejar cinta Bilal.

Kegilaan Soraya dalam memperjuangkan cinta Bilal membuat luka hati Kareem semakin meradang. Patah hati karena cinta bertepuk sebelah tangan membuatnya menyimpan rasa dendam pada Bilal.

Bukan hal yang sulit bagi Kareem untuk menemukan gudang ini. Kareem juga mempunyai banyak mata-mata, termasuk salah satu teroris yang Soraya bayar.

****

"Tu--an ...!"

Anissa menoleh ke samping kirinya. Menatap sendu wajah tampan suaminya yang tengah terbatuk-batuk memuntahkan darah. Darah Bilal bersimbah sangat banyak memerahi lantai hitam yang berdebu.

"Tuaaaannn!"

Tangisan Anissa sangat menyayat hati. Mata Anisaa sudah sangat bengkak dan merah. Air matanya kembali luruh dengan sangat deras. Ulu hatinya sangat sakit dan perih melihat suami yang sangat dicintainya terluka. Lebih sakit dari perutnya yang mulas dan terus melilit. Bahkan saat ini perut Anissa seperti diperas-peras.

Tatapan Bilal semakin meredup. Telinganya berdengung. Bilal memiringkan badannya menghadap Anissa dengan susah payah. Dadanya sesak. Anissa harus segera dibawa ke rumah sakit. Bilal kehilangan suaranya. Pria itu hanya mampu meluruhkan air matanya melihat penderitaan Anissa.

Ya Allah! Selamatkan istri dan anakku!

Apakah ini akhir dari kisah cinta kita, Tuan? Apa kita akan mati bersama seperti ini?

Sungguh, aku mencintaimu karena Allah, Tuan ....

Maafkan aku Anissa, yang selalu membuatmu menangis dan menderita seperti ini. Jika memang aku harus mati sekarang, percayalah ... Habibti! Cinta ini akan tetap hidup bersamamu.

Aku mencintaimu karena Allah, Anissa ....

"Demi Allah! Semoga Allah melaknat kalian semua!" Omar berteriak parau. Pipi pria itu sudah banjir air mata. Dia sudah tidak tahan lagi melihat kekejaman ini. Anissa dan Bilal sedang terkapar, mereka sekarat meregang nyawa. Sedangkan omar tidak bisa berbuat apa-apa.

Bilal tertembak. Anissa sedang mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan dengan keadaan yang sangat lemah seperti itu. Omar histeris. Sumpah serapah terus terlontar dari bibir pria itu.

TAMAT

AKU BUKA Q & A nih, silahkan tulis apa yang ingin ditanyakan tentang novel ini. Di next part insyaAllah aku jawab. 😇

Omar - Bilal - Ahmeed

MaAsalamah ( Sampai jumpa )

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro