Cita-cita Seorang Bocah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari kedua puluh tiga, Bulan Sebelas.

Mengasuh para bocah, begitulah istilah yang paling tepat untuk menggambarkan apa yang kulakukan saat ini. Sebetulnya tugas kami berdua adalah  mengawasi latihan anak-anak anggota keluarga. Namun bersama Si Bayi Besar, sama saja dengan ketambahan satu orang bocah lagi yang harus kuawasi.

Mata bocah-bocah itu langsung terlihat berbinar begitu melihat siapa yang akan mengawasi latihan mereka hari ini. Sepertinya, tanpa sepengetahuanku, para bocah itu sering menemui tamu asing yang ternyata masih kerabat jauh mereka.

"Mereka bertanya hal-hal yang menarik, Lanfan. Seperti: Apakah warna-warna terlihat berbeda, dilihat dengan mata seterang ini ... Bagaimana orang berambut pirang keramas ... Atau ... Apakah penciumanku lebih tajam," jelas Si Bayi Besar ketika kuungkapkan rasa penasaranku.

"Mereka sudah berlatih sejak kecil, mempersiapkan tubuh untuk menggunakan mata rubi dan sulur rubi, membuatku kagum, sekaligus iri," tambahnya lagi.

Aku tidak sempat menanyakan apa yang membuatnya iri pada bocah-bocah malang yang sedari lahir sudah dikekang berbagai peraturan dan latihan. Mereka semua keburu mengerubungi kami dan bertanya dengan antusias. Ah, tidak ... Ternyata tidak semua.

Seorang dari para bocah itu menatap ke arah kami dari jarak aman. Dia yang tertua dan bertubuh paling besar di antara semuanya. Ketika menyadari aku balik memandang ke arahnya, bocah yang paling tua itu buru-buru membuang muka.

"Kan-Kan? Dia memang begitu.  Biarkan saja, Kak Lanfan!" sergah salah satu dari bocah yang lain.

Aku baru akan meminta Si Bayi Besar untuk mengawasi Kan-Kan secara khusus, ketika lelaki itu sudah terlibat percakapan seru dengannya. Lebih tepatnya, Kan-Kan terlihat berseru marah sedangkan Alex menanggapinya dengan santai. Kugunakan saja kesempatan itu untuk meneruskan latihan anak-anak yang lain.

Latihan untuk Kan-Kan diberikan oleh Si Bayi Besar dengan cara tersendiri. Lelaki itu sengaja membuatnya kesal dan marah lalu menantangnya untuk melakukan sesuatu. Kan-Kan yang tersulut, langsung menyanggupi. Cara yang berputar-putar, tetapi cukup efektif.

Sesekali kulihat Alex terlihat tertawa riang di tengah Interaksinya dengan Kan-Kan. Bahkan sembari menghindari tendangan dan beberapa lemparan ke wajah.

"Dia tidak menyukaiku karena akibat kemunculanku, dia kena hukuman dan bola karet mereka disita ... Tapi berkat itu dia juga jadi akrab dengan anak yang bernama Ming-Ming. Dia senang walau tetap marah bila kusinggung soal itu," cerita Alex, riang.

"Karena itu bocah lancang tadi menendangmu?"

"Ah, cuma tendangan main-main. Dia tidak serius, kok... ."

Aku tidak sependapat dengannya. Mana ada tendangan tak serius bisa memecahkan bata?

"Yang bernama Ming-Ming itu punya cita-cita ingin menjadi pembuat mie. Anak tambun di sebelahnya, ingin menjadi petualang. Beberapa dari mereka cerita, kalau nilai mereka cukup bagus akan diizinkan sekolah di kota besar."

Alex bercerita tentang hal lain yang dia dengar dari Kan-Kan. Aku hanya mendengarkan sembari mengunyah makan siangku. Takjub, ternyata bocah bengal itu benar-benar mengobrol dengannya.

"Aku senang. Walau banyak dibatasi, anak-anak itu masih diizinkan untuk berusaha menggapai mimpi masing-masing di sini, Lanfan...," tambah lelaki itu.

"Kalau si Bengal...?" tanyaku penasaran. "Apa cita-citanya?"

Seulas senyum timbul di wajah Alex sebelum menjawab, "Mengubah dunia."

Aku ingin mencemooh mimpi.yang terlalu muluk itu tetapi melihat wajah senang Si Bayi Besar, kuputuskan untuk diam saja.

***ooo000ooo***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro